Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Luar Negeri Retno Marsudi berjanji menuntaskan penelusuran eksploitasi warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal ikan Long Xing 629. Kapal berbendera Cina itu diduga memperlakukan pekerja Indonesia dengan tak manusiawi. “Pemerintah berkomitmen sangat tinggi untuk menyelesaikan kasus ini,” kata Retno lewat telekonferensi pada Ahad, 10 Mei lalu, setelah mengunjungi 14 awak kapal Long Xing di Rumah Perlindungan Trauma Center, Bambu Apus, Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Retno, para anak buah kapal menyampaikan kerap bekerja lebih dari 18 jam per hari. Bahkan mereka pernah tak menerima gaji. Retno menilai perlakuan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eksploitasi ini terungkap setelah media di Korea Selatan menayangkan video pelarungan jenazah awal kapal asal Indonesia dari atas kapal ikan. Ada tiga jenazah pekerja Indonesia yang dilarung pada Desember 2019 dan Maret 2020. Para pekerja di Long Xing sempat memprotes pelarungan itu, tapi diabaikan oleh kapten kapal. Pekerja lain, Effendi Pasaribu, meninggal di salah satu rumah sakit di Busan, Korea Selatan, karena pneumonia.
Tak hanya bekerja di Long Xing, 18 pekerja Indonesia sempat dipindahkan ke tiga kapal lain milik Dalian Ocean Fishing Co Ltd. Mereka yang selamat tiba di Tanah Air pada Jumat, 8 Mei lalu. Setelah mewawancarai mereka, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menemukan dugaan perdagangan manusia di kapal tersebut. “Keterangan mereka digunakan sebagai bukti awal mengembangkan kasus ini,” kata Kepala Sub-Direktorat Tindak Pidana Umum Polri Komisaris Besar John W. Hutagalung.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo menganggap pemerintah lambat merespons kematian pekerja Indonesia. Indikasinya, kabar itu baru diketahui pada Mei 2020. “Ini tentu saja mengecewakan karena bisa menumbuhkan citra yang negatif bagi pemerintah,” ujarnya.
Diskriminasi di Atas Laut
BERNIAT mencari duit, anak buah kapal asal Indonesia di Long Xing 629 malah mengalami perlakuan buruk. Kapten kapal diduga menganiaya fisik dan mental mereka.
- Jam kerja lebih dari 18 jam per hari. Mereka bahkan harus bekerja 48 jam tanpa istirahat jika ikan sedang melimpah.
- Pekerja asal Indonesia mengalami diskriminasi. Mereka minum air hasil penyulingan, sedangkan awak lain menikmati air mineral dalam kemasan.
- Pemotongan gaji pada tiga bulan pertama bekerja.
- Hanya menerima gaji US$ 120, padahal kontrak mencantumkan upah US$ 300 per bulan.
- Kontrak menyebutkan mereka bekerja di kapal Korea Selatan, nyatanya milik perusahaan asal Cina.
- Mengalami berbagai penyakit akibat mengkonsumsi ikan yang digunakan untuk umpan.
- Awak kapal lain memakan sayuran segar, sedangkan pekerja asal Indonesia makan sayur dan ayam yang dibekukan 13 bulan sebelumnya.
- Kontrak kerja melemahkan posisi pekerja Indonesia, seperti harus mematuhi perintah kapten, jam kerja tak terbatas, tak boleh mengeluh, dan harus menerima makanan yang disajikan.
Dua Skenario Ibadah Haji
KEMENTERIAN Agama menyiapkan dua skenario mengantisipasi ibadah haji 2020 pada Juli mendatang. “Skenario ini disusun sebagai langkah antisipasi di masa pandemi corona,” kata Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid dalam rapat kerja bersama Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 11 Mei lalu.
Skenario pertama, pemerintah akan membatasi kuota hingga 50 persen calon jemaah haji. Langkah ini disiapkan jika pemerintah Arab Saudi menyelenggarakan ibadah haji dengan protokol kesehatan yang ketat. Dengan skenario ini, pemerintah akan menyeleksi ketat para calon anggota jemaah.
Kemungkinan lain, tak ada penyelenggaraan ibadah haji tahun ini jika pemerintah Saudi menutup pintu bagi jemaah haji Indonesia dan negara lain. Pemerintah menetapkan 20 Mei 2020 sebagai batas waktu menunggu keputusan Saudi soal pelaksanaan ibadah haji.
Terdakwa mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar,di Pegadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 2 April 2020. TEMPO/Imam Sukamto
Eks Bos Garuda Divonis 8 Tahun
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta memvonis bekas Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, delapan tahun penjara, Jumat, 8 Mei lalu. Ia terbukti menerima suap pengadaan pesawat Airbus SAS dan mesin pesawat Rolls-Royce. “Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama,” ujar ketua majelis hakim, Rosmina.
Emir juga diminta mengembalikan uang sebesar Sin$ 2,1 juta dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan bui. Ia disebut menerima suap Rp 46 miliar dari pendiri PT Mukri Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo, dan menerima fasilitas berupa penginapan di Bali senilai Rp 69 juta serta penyewaan jet pribadi senilai US$ 4.200. Adapun Soetikno divonis enam tahun bui dan denda Rp 1 miliar.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara. Jaksa ataupun Emir belum menyatakan sikap untuk mengajukan permohonan banding.
Aturan TNI Berantas Terorisme Ditolak
KOALISI Masyarakat Sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat menolak rancangan peraturan presiden tentang pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam isu terorisme di dalam dan luar negeri. Peneliti Imparsial, Husein Ahmad, menilai aturan tersebut membahayakan penegakan hukum dan bertentangan dengan fungsi utama TNI. “Mekanisme pertanggungjawabannya tak jelas,” ujarnya pada Ahad, 10 Mei lalu.
Menurut Husein, aturan itu memberikan mandat luas kepada TNI untuk mencegah terorisme, tapi tak merinci peran tersebut. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin menilai ketidakjelasan itu bisa mengaburkan peran lembaga lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan kepolisian.
Koalisi menilai pelibatan TNI hanya ideal untuk penanganan terorisme di luar negeri, seperti pembebasan warga negara Indonesia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. dan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi tak menjawab saat dimintai tanggapan soal penolakan tersebut.
Tim medis mengambil sampel darah saat Rapid Test Drive Thru di Kemenhub, Jakarta, 20 April 2020. TEMPO/Tony Hartawan
Doni Monardo Akui Kelemahan Rapid Test
KETUA Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengakui kelemahan alat rapid test yang selama ini dipakai untuk mendeteksi infeksi virus corona. Penjelasan Doni memperkuat liputan investigasi Tempo bersama Organized Crime and Corruption Reporting Project. “Akurasi rapid test memang masih rendah,” ujar Doni, Senin, 11 Mei lalu.
Pemerintah menggunakan alat ini secara masif setelah corona mewabah. Kimia Farma mengimpor 300 ribu alat bermerek Biozek dari Inzek Internasional Trading BV di Belanda. Belakangan, diketahui, alat tersebut diduga diproduksi di Cina oleh Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd. Hasil penelitian sejumlah lembaga menemukan akurasi alat tersebut rendah.
Menurut Doni, petunjuk yang paling akurat memang menggunakan alat swab test. Inzek dalam rilisnya pada 10 Mei lalu membantah jika alat tesnya disebut tak akurat. Mereka mengklaim akurasi Biozek lebih dari 95 persen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo