Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah pandemi Covid-19, pertaruhan besar sedang berlangsung di bursa saham New York. Ibarat pejudi di meja bakarat yang sangat yakin menang, The Federal Reserve mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkan ekonomi dan pasar keuangan. Bank sentral Amerika Serikat itu menggelontor pasar, mencetak dolar untuk membeli segala macam aset, seolah-olah tanpa batas. Harga saham pun beterbangan membentuk kurva V. Habis jatuh sejenak, langsung melonjak tinggi.
Indeks S&P 500, yang sempat terjun dari level 3.400 pada akhir Februari menjadi 2.209 pada 23 Maret lalu, sudah melompat 30 persen dari titik terendah itu menjadi 2.912 pada Senin, 11 Mei lalu. Indeks juga cenderung terus menanjak. Suntikan The Fed kali ini memang sungguh dahsyat. Dalam tempo tak sampai dua bulan, The Fed menyiramkan triliunan dolar ke ekonomi dan pasar. Aset The Fed menggelembung dari sekitar US$ 4,3 triliun sebelum serangan pandemi menjadi US$ 6,62 triliun pada akhir April lalu. Ini rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Itu pun belum akan berhenti. Banyak analis memperkirakan The Fed bakal terus mengguyur pasar hingga neracanya menggelembung sampai US$ 9 triliun. Yang membedakan gerakan agresif The Fed kali ini dengan langkah serupa pada krisis 2008-2009 bukan hanya soal jumlahnya yang sangat luar biasa, tapi juga jenis aset yang menjadi sasaran pembelian. Sementara pada 2008 The Fed hanya membeli obligasi terbitan pemerintah Amerika, kali ini surat utang korporasi dengan peringkat tidak layak investasi pun jadi sasaran.
Singkat kata, The Fed sedang melakukan bailout besar-besaran, membandari ekonomi Amerika supaya tidak kolaps. Agar tingkat pengangguran tidak kian meledak—data terakhir sudah menunjukkan 33 juta orang—The Fed menyuntikkan dana langsung ke korporasi, suatu hal yang selama ini merupakan tabu. The Fed seolah-olah juga sedang berperan sebagai Tuhan, menentukan mana perusahaan yang pantas bangkrut dan mana yang boleh tetap hidup.
Efek kebijakan itu tentu merambat ke seluruh dunia. Suntikan dana sebesar itu pasti merembes juga ke pasar lain, termasuk negara berkembang. Setidaknya ada optimisme bahwa ekonomi dan pasar keuangan tidak akan kolaps karena The Fed mempertaruhkan segalanya. Salah satunya di Jakarta. Indeks harga saham gabungan yang pada akhir Maret lalu terperosok di bawah angka 4.000 kini membal kembali ke atas 4.500. Demikian pula rupiah, yang sempat terbang ke level 16.500 per dolar Amerika, kini relatif tenang dengan nilai tukar di bawah 15 ribu per dolar.
Persoalannya, kini mulai muncul pertanyaan terhadap kredibilitas dolar Amerika. Jika The Fed begitu agresif menggelembungkan asetnya dengan mencetak dolar, apakah dunia masih layak mempercayainya sebagai mata uang transaksi internasional yang juga wahana penyimpan cadangan devisa di seluruh dunia? Dunia memang belum mempunyai alternatif. Belum ada ekonomi dan mata uang lain yang mendapat kepercayaan dunia sekuat Amerika dan dolarnya. Tapi keraguan sudah mulai muncul.
Salah satu indikator yang menunjukkan pasar mulai berjaga-jaga melihat langkah agresif The Fed adalah melonjaknya harga emas. Pergerakan harga logam mulia ini menarik lantaran sempat jatuh juga ketika wabah Covid-19 mulai menghantam dunia, dari US$ 1.680 per troy ounce pada 9 Maret menjadi US$ 1.450 seminggu kemudian. Kala itu, investor lebih suka memegang dolar Amerika sebagai wahana berlindung di masa yang tidak pasti. Tapi, setelah The Fed sangat agresif mencetak dolar, harga emas langsung melonjak tajam. Terakhir, Senin, 11 Mei lalu, harga emas sudah mencapai US$ 1.700.
Apakah ini awal gejala kehidupan baru yang muncul setelah pagebluk Covid-19? Bisa jadi bukan hanya kehidupan sosial yang akan berubah drastis. Pasar finansial dan tatanan ekonomi global pun mungkin terpaksa bermutasi dengan sangat cepat. Jika benar neraca The Fed di akhir tahun ini menggelembung menjadi US$ 9 triliun, terpaksa atau tidak karena tiadanya alternatif, apakah pasar global masih bisa menerima dan mempercayai dolar sebagai mata uang cadangan devisa?
Kalau kepercayaan itu benar runtuh, sungguh ironis. Ekonomi sedigdaya Amerika dan dolarnya terpaksa lengser dari takhta hanya karena SARS-CoV-2 yang tak kasatmata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo