Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Punya Rumah Sendiri meski Harga Tak Terbeli

Generasi milenial melakukan berbagai upaya untuk dapat membeli rumah impian, meski gaji mereka di bawah Rp 10 juta. Ada yang mencari pekerjaan sampingan, menabung emas, hingga memanfaatkan program dari kantor.

17 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Feri bekerja sampingan membuka jasa perbaikan ponsel.

  • Nibras mencari rumah sejak merintis karier sebagai jurnalis.

  • Wildan memperoleh fasilitas KPR khusus karyawan.

Rumah satu lantai di kawasan Keranggan, Tangerang Selatan, itu terlihat sederhana, tapi bernuansa modern. Rumah itu berada di sebuah kluster kecil bernama D’Palm Residence dengan jumlah kurang dari 10 unit. Suasana di sekitarnya tampak tenang di pagi hari. Udaranya pun terbilang sejuk karena pepohonan tinggi dan semak-semak yang berada di ujung kluster. Rumah seluas 68 meter persegi itu hanya berjarak sekitar 3,5 kilometer dari Stasiun Serpong.

Bangunan bercat putih itu ditempati Feri bersama istrinya, Salsabila Qurrata A’yun, dan dua putrinya yang masih berusia di bawah 5 tahun. Feri menghuni rumah tersebut setelah tiga tahun menjelajahi puluhan lokasi perumahan di daerah penyangga Jakarta. “Gue nyari rumah dari 2015 sampai bisa terbeli pada 2017. Nyari-nyari sambil nabung,” kata Feri saat ditemui Tempo di rumah itu, Rabu, 13 Juli 2022.

Pria berusia 31 tahun itu mulai mencari rumah sejak masih bekerja sebagai fotografer di salah satu media online di Jakarta. Dengan gaji tak sampai Rp 5 juta, Feri menyusuri kawasan Parung Panjang, Depok, Jonggol, hingga Pamulang demi mendapatkan rumah sesuai dengan bujet. Tabungannya saat itu hanya ada Rp 6 juta. Agar jumlahnya dapat berlipat ganda, Feri pun mencari pekerjaan sampingan.

Sebagai lulusan teknik elektronika di sekolah menengah kejuruan, Feri pun menggunakan ilmunya untuk menambah penghasilan. Berkat saran dari salah seorang temannya, pria asal Pemalang, Jawa Tengah, ini menawarkan jasa perbaikan ponsel keliling. Ia mempromosikan jasanya itu lewat media sosial. “Dari situ gue bisa menyisihkan gaji dan hasil servis enggak gue apa-apain. Makan dari sisa gaji saja. Gue tabung-tabung, lumayan,” katanya.

Keluarga Feri Setiawan dan Salsabila Qurrata A’yun di kediamannya, kawasan Setu, Tangerang Selatan, Banten, 13 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Setelah tabungannya terisi, Feri mulai bimbang antara membeli rumah dan menikah lebih dulu. Namun akhirnya ia menggunakan uang simpanan itu untuk menikahi Salsa. Selama setahun hidup bersama, keduanya memilih mengontrak sebuah rumah di kawasan Cipadu, Kota Tangerang, sambil terus mencari rumah.

Dalam upaya pencarian tempat tinggal permanen, Feri dan Salsa sempat telanjur membayar booking fee atau tanda jadi sebesar Rp 1 juta untuk sebuah rumah bersubsidi di Parung Panjang. Namun uang tersebut harus direlakan karena keduanya mendapat informasi dari warga sekitar bahwa lokasi perumahan itu sering kebanjiran.

Pada pertengahan 2017, Feri memutuskan mencari rumah komersial. Ia menemukan satu rumah di Parung Panjang dan langsung membayar booking fee sebesar Rp 5 juta. Berselang beberapa waktu, ia dihubungi salah seorang temannya yang menawarkan sebuah rumah komersial di daerah Keranggan. Rumah itu—yang kini dihuninya—dijual lantaran pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) pemilik sebelumnya ditolak.

Setelah mengecek langsung lokasinya, Feri merasa cocok karena tidak jauh dari stasiun kereta rel listrik (KRL) dan hanya sekitar 45 menit-1 jam ke Kota Jakarta. Kendati begitu, ia sempat merasa sedih dan kesal lantaran info tentang rumah itu baru diketahui setelah ia membayar tanda jadi Rp 5 juta di perumahan lainnya, yang akhirnya ia ikhlaskan. “Istri enggak tahu galaunya gue gimana. Sedih banget. Di jalan gue nangis, Rp 5 juta nyarinya setengah mati,” kata dia. 

Rumah itu ia beli seharga Rp 350 juta. Ia menggunakan tabungan dari hasil perbaikan smartphone untuk membayar uang muka sebesar Rp 120 juta, yang dicicil sebanyak empat kali. Sejak awal 2018, ia menempati rumah itu.

Pameran Indonesia Properti Expo di Jakarta Convention Centre, Jakarta, 17 Mei 2022. Tempo/Tony Hartawan

Generasi Muda Kian Sulit Membeli Rumah 

Kemampuan daya beli generasi milenial terhadap rumah menjadi kekhawatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada awal Juli lalu, Sri Mulyani mengatakan generasi muda semakin sulit memiliki rumah karena kenaikan harga properti yang tidak sebanding dengan pendapatan.

Dilansir dari situs web Pinhome, penyedia jasa jual-beli properti, harga rumah satu lantai tipe 60 di Budi Mulya Jaya, Kalideres 1, Jakarta Barat, dibanderol lebih-kurang Rp 400 juta per Desember 2021. Kemudian di Ciracas, Jakarta Timur, ada rumah tipe 53/50 dari T.B. Simatupang Residence dengan kisaran harga Rp 500-900 juta. 

Di area Makasar, Jakarta Timur, juga tersedia kluster perumahan bernama Pinang Ranti Mansion 2 dengan tipe 38-45 meter persegi seharga Rp 800 juta hingga Rp 1,3 miliar. Di Cipayung, Jakarta Timur, terdapat rumah di Adhigriya Terrace yang dibanderol Rp 870 juta hingga Rp 1,2 miliar untuk setiap unit dengan tipe beragam.

Selanjutnya di Cilincing, Jakarta Utara, terdapat kluster Pesona Rorotan yang menawarkan rumah seharga Rp 700 juta hingga Rp 1,3 miliar per unit sesuai dengan tipe yang dipilih, dari luas 40 hingga 103 meter persegi. Kluster Danar Residence di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, menawarkan rumah minimalis dengan berbagai tipe, dari Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar.

Rumah milik Nibras Nada Nailufar di Perumahan Bumi Cengklik Asri di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Tempo/Septhia Ryanthie

Mencari Rumah Sejak Merintis Karier

Rumah bercat putih itu terlihat mungil dan sederhana. Luas bangunannya sekitar 36 meter persegi dan berdiri di lahan seluas kurang-lebih 65 meter persegi. Di bagian depan rumah yang berlokasi di Perumahan Bumi Cengklik Asri di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, itu terdapat taman kecil yang ditumbuhi beberapa jenis tanaman hijau.

Di rumah itulah, seorang jurnalis di salah satu media, Nibras Nada Nailufar, tinggal. Wanita kelahiran 1995 itu menempati rumah pribadinya tersebut sejak Desember 2020. Bisa memiliki rumah sendiri memang sudah lama menjadi salah satu impian Nibras. Cita-cita untuk bisa memiliki rumah itu pulalah yang akhirnya mendorong wanita asli Jakarta ini memutuskan tinggal dan menetap di Solo.

“Meski orang tua saya di Jakarta sudah ada rumah, saya tetap punya keinginan, kalau bisa punya rumah sendiri, yang bisa saya tempati sendiri, lebih privasi, bisa mengatur rumah itu sesuai dengan keinginan saya,” kata Nibras kepada Tempo di rumahnya, Senin, 11 Juli 2022.

Di dalam rumah bergaya minimalis modern itu terdapat ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang makan dan dapur, satu kamar tidur, serta satu kamar mandi. Sebetulnya, kata Nibras, kamar tidurnya ada dua. Tapi, karena luasnya tak seberapa, ia merenovasi dengan desain yang ia buat agar ukuran kamar tidur, dapur, dan kamar mandi menjadi lebih luas. “Sesuai dengan kebutuhan dan keinginan saya,” tutur wanita yang masih melajang ini. 

Perjalanan mencari rumah sudah dimulai Nibras sejak ia baru merintis kariernya sebagai jurnalis di Ibu Kota. Sekitar 2017, Nibras memulai perburuannya untuk mendapatkan rumah impian di wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi).

Perumahan bersubsidi menjadi targetnya dengan mempertimbangkan harga yang terbilang lebih murah dibanding rumah-rumah komersial. Saat melakukan survei, di samping harga, Nibras melihat jarak antara rumah dan kantor tempatnya bekerja.

Bagian kamar mandi di rumah milik Nibras Nada Nailufar. Tempo/Septhia Ryanthie

Namun harga rumah di wilayah Jakarta dan sekitarnya itu tidak terjangkau oleh Nibras yang berpenghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan. Saat itu ia terpaksa mengurungkan niatnya membeli rumah. “Sampai pasrah. Bahkan saat itu saya sampai pada kesimpulan, ya sudahlah tidak jadi punya rumah dan harus indekos atau ngontrak seumur hidup,” tutur dia.

Pada 2019, Nibras ditugaskan di Kota Solo selama setahun, untuk menjalani pendidikan sekaligus promosi jabatan. Di sana Nibras melihat pengalaman beberapa rekannya yang rata-rata memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta bisa memiliki rumah sendiri. Keinginan Nibras untuk bisa membeli rumah pun kembali muncul. Terlebih melihat harga rumah subsidi di daerah Solo lebih murah dibanding harga rumah subsidi di wilayah Jabodetabek.

Meskipun lokasi perumahan bersubsidi rata-rata berada di luar Kota Solo, jaraknya bisa dijangkau dan tidak terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja. Bahkan bisa ditempuh dalam waktu beberapa menit saja.

Keinginan Nibras untuk memiliki rumah sendiri ini pulalah yang akhirnya mendorongnya memutuskan untuk menetap di Solo. Sebelum masa tugasnya di Solo berakhir pada November 2020, Nibras mengajukan permohonan ke perusahaannya agar bisa ditempatkan di kantor Solo. Setelah permohonannya disetujui, Nibras segera memulai lagi perburuannya untuk mendapatkan rumah.  

Sekitar Agustus 2020 itu, ia mulai menyurvei beberapa lokasi, tapi belum ada yang cocok. Sampai akhirnya ia mendapatkan rumah yang kini dihuni seharga Rp 150 juta. “Cocok dan langsung berangkat ke pengembang serta membayar tanda jadi senilai Rp 500 ribu.”

Untuk bisa memiliki dan menempati rumah incarannya itu, perjuangan Nibras tak mudah, terutama saat mengumpulkan uang untuk membayar down payment alias DP atau uang muka pembelian rumah dan biaya administrasinya. Pasalnya, Nibras selama ini tak memiliki tabungan dalam jumlah besar.

Nibras hanya memiliki simpanan uang dari hasil lomba yang pernah ia ikuti, ditambah bonus dari perusahaannya. Uang tersebut sempat ia investasikan dalam bentuk saham. “Akhirnya, ketika membeli rumah, saya cairkan saham itu untuk membayar DP. Tapi memang uang itu hanya cukup untuk DP rumah,” kata dia.

Untuk biaya lain-lain, seperti membeli perlengkapan rumah, termasuk renovasi, Nibras mengajukan pinjaman ke koperasi kantor sekitar Rp 40 juta. Itu pun, kata dia, belum cukup. Jadi, ia, yang tadinya cenderung konsumtif, kini lebih berhemat dalam mengatur keuangan. Misalnya, bujet untuk belanja pakaian dialihkan untuk perlengkapan rumah serta perawatan bangunan. Apalagi sumber penghasilannya saat ini hanya berasal dari gaji bulanan.

Nibras mengaku senang bisa mewujudkan salah satu impiannya selama ini untuk memiliki rumah sendiri. Bahkan dalam pembelian rumah tersebut ia tidak mendapat bantuan dari orang tuanya. Ayahnya hanya membelikan keramik kamar mandi sekitar Rp 500 ribu.

Rumah milik pasangan suami-istri, Putu dan Pita di kawasan Tangerang Selatan. Dok Pribadi

Menabung Emas Sejak Usia 20 Tahun

Kisah pasangan suami istri, Putu dan Pita, lain lagi. Pita termotivasi untuk membeli rumah pada 2017, tepat setahun setelah menikah dan mempunyai anak. Saat itu, ia masih bekerja sebagai pegawai di perusahaan minyak dan gas dengan penghasilan di bawah Rp 10 juta. Atasannya menawarkan sebuah rumah di daerah Pamulang, Tangerang Selatan, dengan tipe 34/60 meter persegi.

Kebetulan, Putu dan Pita memang sedang mencari rumah di daerah itu agar lebih dekat dengan orang tua. Keduanya pun memutuskan mengambil rumah tersebut. “DP-nya dari tabungan emas dari umur 20 tahun dikumpulin. Baik itu bentuknya logam mulia maupun perhiasan,” ujar Pita yang kini menjadi ibu rumah tangga.

Setahun setelah membeli rumah seharga Rp 300-400 juta itu, Pita memutuskan berhenti dari pekerjaannya agar bisa fokus mengurus keluarga. Ia bersama suaminya lantas mengajukan pinjaman ke bank untuk melunasi rumah bercat putih dan pagar hitam itu. Putu mengungkapkan alasannya mengambil pinjaman dibanding KPR, yakni bunganya yang lebih rendah.

Untuk membayar utang ke bank, Pita dan suaminya harus berhemat karena cicilannya mencapai Rp 2 juta per bulan selama delapan tahun. Pita juga bekerja sampingan dengan berjualan online. Uang yang dikumpulkan ia investasikan dengan membeli emas batangan. 

Wildan Nugraha dan keluarganya di rumahnya di kompleks Arcamanik Endah, Bandung. Dok Pribadi

Memperoleh Fasilitas Khusus Karyawan

Sebelum menikah, Wildan Nugraha tidak memikirkan soal rumah tinggal. Alasannya karena gajinya belum mencukupi, sedangkan harga rumah di Kota Bandung tergolong tinggi. “Mimpi saja enggak berani,” katanya.

Setelah menikah pada 2014, pria berusia 34 tahun ini tinggal di rumah mertua di daerah Ujungberung selama  3-4 tahun hingga lahir anak pertama yang kini berusia 6 tahun. Mimpi punya rumah terwujud setelah ia memperoleh fasilitas KPR khusus karyawan dari kantor istrinya di Bank Jabar Banten atau BJB. Sementara itu Wildan bekerja di BJB Syariah sebagai account specialist. Tenor hingga 15 tahun dan bunga 6 persen. 

Selama hampir setahun, mereka berkeliling di wilayah Kota Bandung, seperti di Jatihandap, Ciwastra, dan Buah Batu, tapi tidak ada yang sesuai. Mereka ingin punya rumah yang tidak terlalu jauh dari rumah kedua orang tua mereka. Pertimbangan lain adalah model hunian, keamanan perumahan, kemudahan akses, dan tidak banjir, serta di sekitarnya ada sekolah buat anak-anak nantinya. 

Pada 2018, Wildan membeli dan menempati sebuah rumah di kompleks Arcamanik Endah, di sisi timur Kota Bandung. Rumah seluas hampir 90 meter itu berdiri di lahan seluas 105 meter persegi. Hunian itu merupakan  pengembangan tipe 45 yang dibangun menjadi dua lantai dengan empat kamar tidur. Keluarganya betah tinggal di kompleks berjumlah 250 unit rumah itu karena lingkungannya tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. 

Namun air tanah dari sumur submersible sedalam 45 meter di lingkungan perumahan itu berwarna agak kekuningan. Jadi, air sumur hanya dipakai untuk mandi setelah melalui proses penyaringan. Adapun untuk kebutuhan air minum, mereka membeli air galon. 

Mereka menargetkan sudah bisa memiliki sertifikat rumah sebelum anak-anak besar. “Targetnya bisa lunas pada tahun ketujuh atau kedelapan,” katanya. Mengaku sumber penghasilannya hanya dari kantor, percepatan angsuran itu diproyeksikan Wildan berasal dari bonus atau tunjangan lainnya. 

Bagi rekan segenerasi atau di bawahnya, yaitu generasi Z yang kini sudah mulai bekerja, Wildan menyarankan agar mencari rumah yang harganya terjangkau. Lalu hitung harga rumah dan pendapatan. “Kalau bisa jangan sampai lebih dari 40 persen untuk cicilannya,” ujar Wildan. Sebab, keluarga juga membutuhkan biaya hidup yang lain. 

Jika harga rumah di wilayah kota tidak terjangkau, kata Wildan, mereka bisa mencari di daerah pinggiran kota. Baik itu rumah bersubsidi maupun perumahan non-subsidi. “Jangan terlalu maksain ingin punya rumah yang langsung besar. Asal ada saja dulu,” ujar dia. Nantinya rumah bisa dikembangkan sepanjang pemasukan ataupun gaji naik.

FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | SEPTHIA RYANTHIE (SOLO) 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus