Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokter Tri Maharani mendapat stigma dari masyarakat setelah tertular Covid-19.
Dia tidak tinggal diam dan melawan stigma negatif masyarakat.
Dokter Tri kini membuat gerakan peduli warga untuk menolong pasien Covid-19.
Dunia serasa runtuh kala Tri Maharani divonis tertular Covid-19. Yang paling berat, saat warga tempat dia tinggal tahu kondisi kesehatannya, Tri dan keluarganya mendapat stigma negatif. Ada yang memarahinya lantaran terinfeksi Covid-19. "Stigma masyarakat Indonesia itu berat,” ujar Tri, yang bekerja sebagai dokter spesialis emergensi dengan subspesialis toksinologi, kepada Tempo, Ahad lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri, 49 tahun, yang tinggal di Kediri, Jawa Timur, tidak tinggal diam. Dia melawan stigma tersebut dengan membela diri. Ia menuliskan pembelaannya di laman Facebook. Tulisan itu dia kirimkan ke sejumlah media massa dan Wali Kota Kediri. Tri bermaksud meluruskan informasi yang menyebutkan dirinya tertular Covid-19 dari orang Belanda. "Itu tidak benar. Saya tertular dari transmisi lokal. Ada upaya menutupi hal ini,” ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tri, dirinya tertular Covid-19 dari laki-laki yang bekerja di bagian laundry (cuci pakaian) di rumah sakit tempatnya bekerja, yaitu Rumah Sakit Daha Kediri. Menurut Tri, pegawai tersebut sudah menunjukkan gejala Covid-19, seperti demam, batuk, sesak napas, dan mual. Namun RS Daha pada Juni lalu belum memiliki perangkat tes antigen. Sedangkan uji swab PCR harus dilakukan di rumah sakit rujukan.
Tri kemudian menelepon dokter kenalannya di Tulungagung yang memiliki fasilitas swab PCR. Dia membawa pegawai laundry itu ke Tulungagung menggunakan mobil pribadinya dengan mengenakan alat pelindung diri lengkap bersama sopir dan asistennya. Istri dan anak pegawai laundry itu juga dibawa.
Dokter spesialis toksikologi, Tri Maharani, di Puslitbangkes, Jakarta, 1 Maret 2021. TEMPO/Nurdiansah.
Hasil rapid test pegawai laundry itu, kata Tri, menunjukkan non-reaktif. Tapi hasil rontgen menunjukkan kondisi 90 persen mengalami gejala Covid-19 dan dinyatakan suspect. Tri sadar bahwa dirinya berinteraksi dengan suspect dan dia kemudian menjalani swab.
Berselang lima hari kemudian, Tri, satu-satunya dokter di Indonesia yang ahli dalam penanganan gigitan ular berbisa, mendapat kabar dari dokter di Tulungagung bahwa dirinya positif Covid-19. Keluarganya juga segera dites dan hasilnya negatif. Meski begitu, semua orang panik. Keluarga Tri menerima banyak telepon dari orang lain dan para tetangga, beberapa di antaranya bernada negatif. Para pasiennya juga menghubunginya lantaran takut tertular.
Tri kemudian diisolasi di RS Gambiran Kediri. Dua hari pertama di ruang isolasi, ia hanya bisa menangis dan berdoa kepada Tuhan. Kondisi mentalnya berada di titik terendah lantaran niatnya menolong orang lain, tapi justru ia yang tertular. Belum lagi stigma yang diterimanya dan keluarganya. “Prosedur di ruang isolasi dikunci dari luar. Saya sendiri saja. Enggak ada yang bisa disambati selain Tuhan,” ujar dia.
Ketika membaca Alkitab, Tri mendapatkan kekuatan dan kepercayaan dirinya kembali. Pada malam kedua di ruang isolasi, ia memantapkan diri bangkit dari kesedihannya. Pagi keesokan harinya, ia mulai mengikuti kegiatan berjemur di rumah sakit bagi pasien Covid-19. Kegiatan yang diadakan pada pukul 09.00-10.00 WIB itu justru menjadi obat mujarab baginya.
Di sana, Tri bertemu dengan 15 pasien lain dari kluster sebuah pabrik rokok. “Mereka pikir, aku ini pekerja pabrik juga. Pas tahu aku ini dokter spesialis, mereka bilang, ‘kalau dokter saja kena, apalagi kita’. Kala itu kami merasa senasib,” ucap dia. Dalam sesi berjemur itu, Tri mengajak para pasien lain agar tidak murung dengan bernyanyi bersama.
Ia juga membagikan anggur, jeruk, roti, dan masker kepada mereka lantaran mendapat banyak kiriman dari rekan sejawat, sahabat, dan keluarganya. Menurut dia, hati yang berbahagia mempercepat pemulihan. Terbukti, ia hanya 10 hari di ruang isolasi dan akhirnya dinyatakan sembuh.
Kesenangannya berbagi berlanjut ketika ia dinyatakan pulih. Ia membuat sejumlah gerakan, seperti Rabu Peduli yang membagikan extra fooding atawa makanan tambahan, semacam roti, buah, dan susu, bagi tenaga kesehatan di wilayah Kediri dan saat ini mulai merambah ke Jakarta. Pekan ini, ia ingin mengirimkan barang-barang itu ke RS Angkatan Laut Mintohardjo.
Tri juga membuat gerakan peduli warga untuk menolong pasien atau keluarga pasien yang sulit mendapatkan ruang perawatan. Dia mengklaim memiliki banyak relasi di Indonesia. “Aku bisa bantu carikan rumah sakit yang ada ruang ICU (kosong),” tutur dia.
Salah seorang yang dibantu dicarikan rumah sakit adalah Andris Fajar Bachtiar, 37 tahun, pegawai swasta. Andris, yang tinggal seorang diri di Jakarta, menghabiskan waktu selama tujuh hari mencari rumah sakit yang memiliki ruang rawat inap kosong. Awalnya, ia melakukan isolasi mandiri di rumahnya, di daerah Pademangan, Jakarta Utara. Kondisi yang memburuk membuatnya ingin mendapatkan perawatan lebih intensif di rumah sakit.
Andris menghubungi puluhan rumah sakit sampai akhirnya mendapatkan kontak dokter Tri, tepat di hari ketujuh ia isolasi mandiri. “Saya enggak pernah ketemu. Enggak kenal. Tapi, dia mau bantu saya. Dalam 2-3 jam, ia berhasil menemukan rumah sakit untuk saya,” kata Andris, kemarin.
Dokter spesialis toksikologi, Tri Maharani (kiri), memberikan bantuan masker, APD, dan makanan kepada tenaga kesehatan, 2020. Dok. Pribadi.
Begitu mendapatkan kepastian rumah sakit, Andris melajukan mobilnya ke Rumah Sakit Firdaus di Cakung, Jakarta Utara, dengan kondisi sakit parah. Andris telanjur gembira mendapatkan kabar dari Tri, meski sebenarnya diharuskan dijemput dengan ambulans. “Saya enggak mau menunggu. Tak masalah badan lemas, saya menyetir sendirian. Seharusnya cuma 30 menit, namun ini 45 menit baru sampai,” ujar Andris.
Andris dirawat selama 10 hari. Selama dirawat, Tri kerap menanyakan kondisinya. Bahkan ketika Andris bercerita belum mendapatkan obat batuk dari para suster, Tri juga yang kemudian turun tangan membantunya dari jauh.
Gerakan lain yang dibuat Tri adalah membagikan APD kepada sejumlah rumah sakit. Salah satu yang tergerak membantu Tri adalah Deden Sunandar, 37 tahun. Keluarganya merupakan kerabat Tri. Ketika melihat kabar bahwa tenaga kesehatan kekurangan APD, Deden mengajak rekan sekantornya menyumbangkan rezekinya kepada gerakan yang dibuat Tri. “Tenaga kesehatan itu garda terdepan. Kalau mereka tidak dijaga, bagaimana mau mengobati orang lain?” ujar Deden.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, Tri didapuk sebagai panelis di ajang Women Champions Leading the Fight Against Snakebite yang diadakan WHO-Health Action International (HAI) pada September lalu. Kendati masih memiliki keluhan kesehatan, seperti mudah lelah, dia tak pantang menyerah. Tri semakin rajin berolahraga dan rutin memeriksakan kesehatannya, termasuk dua pekan sekali tes swab. “Ini hidupku yang kedua. Aku tidak mati, toh, karena Covid-19. Enggak ada yang aku takutkan lagi untuk perjuangkan orang lain,” ucap dia.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo