Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korban kekerasan seksual di dunia digital mengalami trauma yang sama beratnya dengan korban kekerasan seksual di dunia nyata.
Kejahatan ini memicu berbagai macam gangguan mental, seperti rasa ingin bunuh diri.
Pelaporan dan pemeriksaan di kepolisian kerap memperburuk kondisi mental korban.
SEORANG psikolog memvonis Fanny Maulana—bukan nama asli—mengalami gangguan stres akut pada November 2020. Waktu itu, Fanny kesulitan beraktivitas karena pikirannya tak pernah bisa berkonsentrasi. Insomnia menghampirinya nyaris saban malam. “Ia mengalami depresi karena menjadi korban kekerasan seksual,” kata Poppy R. Dihardjo, pendamping Fanny dari Komunitas Perempuan Tanpa Stigma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keadaan Fanny, 26 tahun, baik-baik saja hingga Maret tahun lalu. Bulan itu, ia berkenalan dengan seorang pria lewat salah satu aplikasi pencari teman kencan. Mereka sepakat bertemu di salah satu hotel di Jakarta Selatan. Rencananya di sana mereka hanya sebentar, lalu bergeser ke kafe di kawasan lain. Fanny mengira kenalannya bekerja di hotel tersebut. Diajak basa-basi, ia kemudian dicekoki minuman keras. Pria itu kemudian memerkosanya di salah satu kamar hotel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Poppy, kekerasan seksual yang berawal dari aktivitas di Internet seperti yang menimpa Fanny makin marak akhir-akhir ini. Sejak Januari 2021, ia sudah menerima 90 laporan kekerasan seksual dengan beragam modus. Di antara para korban, ada yang diperas untuk melakukan hubungan seksual dengan ancaman video sensualnya disebarkan.
Kekerasan model ini menghantam mental dan pikiran korban. Zoya Amirin, seorang psikolog, mengatakan salah satu masalah kesehatan mental yang banyak dialami korban kekerasan seksual, termasuk di Internet, adalah gangguan kejiwaan pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Korban akan merasakan kepedihan yang sama setiap kali mengingat tragedi yang menimpanya. Tak jarang peristiwa yang terekam kuat di memori itu muncul berkali-kali di alam mimpi.
Menurut Zoya, inilah yang memicu korban takut untuk tidur sehingga mereka mengalami insomnia berkepanjangan. “Alam bawah sadar diteror oleh ketakutan sendiri. Misalnya ketakutan foto telanjangnya akan disebarkan atau tidak tahan dengan berbagai penghinaan di media sosial,” ucap Zoya.
Ketakutan ini mengakibatkan gangguan kesehatan mental meningkat, lalu berujung pada depresi. “Manifestasi ketakutan tersebut bisa menjadi gangguan makan dan gangguan hubungan sosial. Bahkan korban takut melakukan hubungan seksual,” ujar Zoya.
Korban yang dihantui perasaan tertekan dan malu secara terus-menerus bisa melukai diri sendiri hingga bunuh diri. Perasaan itu pula yang dialami Anggraini—bukan nama sebenarnya. Ia menjadi korban kekerasan seksual online karena video intimnya disebar tanpa persetujuannya di situs judi pada 2016. Selama dua tahun, sejak 2016 hingga 2018, ia dihantui perasaan malu dan merasa dirinya tak berharga. “Rasanya sorrow banget,” katanya.
Anggraini berkali-kali menyilet tangannya dengan pecahan beling. Ia pun pernah dirawat sepekan di rumah sakit karena dianggap mengancam keselamatan dirinya sendiri jika dibiarkan tanpa pengawasan.
Untuk meredakan “badai” di kepala Anggraini, keluarga dan temannya mencari pertolongan profesional di sebuah klinik psikologi yang berlokasi di Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Dia sempat menjalani terapi hipnosis, tapi tak mempan. Peristiwa tersebut telanjur menyebabkan ia hidup dengan PTSD dan gangguan bipolar. Anggraini harus menelan berbagai macam obat untuk membantunya melawan depresi.
Metode lain adalah eye movement desensitization and reprocessing. Ini salah satu teknik psikoterapi interaktif yang bertujuan meredakan stres. Namun, menurut Zoya, perjalanan untuk pulih sangat bergantung pada kondisi tiap korban.
Seksolog Zoya Amirin saat ditemui di Jakarta, Rabu 28 April 2021./Tempo/STR/Nurdiansah
Zoya mengatakan, dalam beberapa kasus, tingkat trauma yang dialami korban berhubungan dengan sifat pelaku. Ketika pelaku memiliki sifat narsistik, korban akan cenderung merasa sangat malu dan bodoh. “Pelaku biasanya akan memamerkan perbuatannya di media sosial sehingga menambah berat trauma korban,” tutur Zoya.
Dalam kasus kekerasan seksual lewat Internet, ada pelaku yang membutuhkan waktu lama untuk bisa menjerat korbannya. “Mereka bisa saja melakukan pendekatan sampai berbulan-bulan sampai korban runtuh kewaspadaannya dan percaya sepenuhnya kepada pelaku,” kata Zoya. Menurut dia, korban yang terjerat pelaku jenis ini memerlukan pemulihan yang lebih lama. Korban akan cenderung marah kepada diri sendiri ketimbang kepada pelaku.
Metode pemulihan bisa menjadi sia-sia jika korban kerap terpicu kenangan buruk. Proses pemulihan Fanny, misalnya, mandek karena dia tak berhasil melupakan kenangan buruk itu. Fanny melaporkan kasusnya ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada Maret 2020. Ia berulang kali diperiksa penyidik sehingga terpaksa mengingat lagi peristiwa jahanam tersebut.
Kondisi Fanny tak makin baik karena dia tak pernah mendapat kabar baik dari penyelidik. Padahal ia dan pendampingnya sudah menyerahkan semua barang bukti, seperti hasil visum dan rekaman percakapan. Polisi justru menghentikan penyelidikan kasusnya pada Februari 2021.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan polisi harus menanyakan detail peristiwa yang dialami korban sebagai bagian dari penyelidikan. Pertanyaan itu diharapkan membantu pengungkapan kasus meski akhirnya dihentikan karena dianggap minim bukti. “Kami harus mengejar unsur kejahatannya. Ada protokol sendiri menangani laporan kekerasan seksual,” ujarnya.
Pengalaman tak mengenakkan berurusan dengan polisi juga dialami Lisa—nama samaran. Perempuan 25 tahun itu melaporkan kasus kekerasan seksual online kepada polisi setelah tetangga kosnya mengklaim diam-diam merekam hubungan intim dia dengan pacarnya. Tetangga kos itu menggunakan video tersebut untuk memeras Lisa lewat media sosial dan surat. Pengacara Lisa, Andika Edwin, mengatakan polisi malah menganggap remeh kasusnya. “Mereka bilang ‘sudah blokir saja pelakunya’ atau ‘kan, tinggal pindah kosan saja’,” kata Andika menirukan pernyataan penyelidik saat memeriksa Lisa.
Menurut Poppy R. Dihardjo, pengalaman buruk saat diperiksa polisi membuat korban yang lain enggan melapor. “Mereka juga takut menjadi tersangka kalau melaporkan kasus video intim,” ucapnya.
Itu sebabnya Poppy menggagas “No Recruit List”, gerakan untuk menyebarkan daftar orang-orang yang diduga pelaku kekerasan seksual ke kantor-kantor swasta dan pemerintah. Ia berharap setidaknya orang-orang di sekitar pelaku bisa waspada.
Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan memang ada fenomena korban kekerasan seksual online takut melapor kepada instansi pemerintah atau polisi. Ia menganggap penegak hukum kerap tak berhati-hati saat menangani kasus semacam ini. “Penanganan korban di kasus ini harus lebih delicate, jangan sampai korban malah menjadi tersangka,” katanya.
Namun nasi sudah menjadi bubur dalam kasus Anggraini dan Fanny. Keduanya sudah tak berharap lagi kepada polisi. Mereka berfokus memulihkan kesehatan mental. Hingga kini, keduanya masih dibayang-bayangi ketakutan. Anggraini, misalnya, selalu mengalami ketakutan ketika melihat iklan pop-up di Internet. Dia cemas video intimnya mendadak muncul di situs yang sedang ia buka.
MITRA TARIGAN, DIKO OKTARA, DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo