Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Foto Kelingking Pembawa Bencana

Kasus kekerasan seksual di dunia maya yang menimpa anak-anak marak terjadi di Korea Selatan, Filipina, dan Hong Kong. Hukuman bagi para pelaku dianggap belum maksimal.

29 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cho Joo-bin (tengah), diduga sebagai pemimpin jaringan pemerasan seksual online Korea Selatan, saat akan dipindahkan ke kantor kejaksaan di Seoul, 25 Maret 2020./REUTERS/Kim Hong-Ji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anak-anak di Asia rentan menjadi korban kekerasan seksual online.

  • Di Filipina, orang tua korban bahkan menjadi pelaku eksploitasi seksual di dunia maya.

  • Motif utama kekerasan seksual online umumnya demi meraup uang.

SEBAIT pesan masuk ke akun Twitter Hana—bukan nama sebenarnya—pada 2018. Pengirim pesan menggunakan nama Baksa, yang berarti dokter dalam bahasa Korea. Hana tak mengenalnya. Remaja perempuan ini tinggal di Distrik Guro, Seoul, Korea Selatan. Kini Hana berstatus pelajar kelas X, setara dengan kelas I sekolah menengah atas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baksa menawari Hana ikut program acara kencan berbayar dengan upah 5 juta won, atau setara dengan Rp 64 juta dalam kurs saat ini, nilai yang cukup besar bagi seorang pelajar. Ia tertarik. Komunikasi keduanya berlanjut di aplikasi percakapan Telegram. Hana diminta mengirimkan foto mengacungkan jari kelingking. “Dari situ semua tragedi dimulai,” kata Hana pada Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Omongan Baksa mulai menjurus cabul. Ia meminta Hana mengirimkan foto-foto sensual. Misalnya foto Hana yang menggunakan pakaian terbuka. Sang “dokter” juga meminta Hana mengirimkan video sedang menari telanjang, saat menggunakan toilet, dan aktivitas lain. Selama keduanya aktif berkomunikasi, total video yang dikirimkan Hana kepada Baksa mencapai 200 gigabita. Hana meladeni Baksa karena tergiur uang.

Pada suatu malam, Baksa meminta Hana keluar dari rumah. “Dia mengirim seseorang untuk menjemput saya,” ucap Hana. Ada seorang pria bertubuh kekar menunggu di luar rumahnya. Baksa memerintahkan Hana menemui pria asing itu. Keduanya berkendara menggunakan mobil. Hana dicabuli di dalam mobil. Tiba di salah satu pekarangan sekolah, pria itu memaksa Hana berhubungan intim dan merekamnya.

Hana tak mengetahui identitas Baksa ataupun pria kekar yang menemuinya. Ia masih terbuai janji manis Baksa yang mengatakan video itu bagian dari seleksi acara kencan.

Itu sebabnya Hana menyanggupi permintaan Baksa untuk menemui pria lain. Ia kembali diminta melakukan adegan intim dan direkam. Hana lagi-lagi mematuhinya karena masih berharap mendapatkan uang. “Dia meminta saya menunggu sembari mengambil uang untuk pembayaran saya,” ujar Hana.

Belakangan, Hana mulai menyadari ada yang janggal. Baksa mulai mengancamnya. Hana kemudian melapor ke Kantor Kepolisian Distrik Guro, Seoul. Alih-alih melindungi, polisi malah meminta Hana membuntuti orang suruhan Baksa. Ia menolak. “Saya kemudian hanya diminta mendapatkan nomor orang itu,” katanya.

Polisi lalu menangani kasus ini dan menggeledah kediaman yang diduga milik Baksa. Saat diperiksa menjadi saksi, Hana lagi-lagi mengalami kejadian tak menyenangkan. Berurusan dengan polisi justru membuatnya makin tertekan.

Polisi memang menemukan beragam video porno yang menampilkan Hana di kediaman Baksa. Tapi polisi malah menuding Hana sebagai pembohong, bukan korban. “Yang lebih buruk ketika mereka memberi tahu saya bahwa saya ikut bertanggung jawab atas semuanya,” ujar Hana.

Ia akhirnya putus asa dan mengalami depresi. Seusai proses interogasi, Hana menghapus akun Telegram, Twitter, dan akun media sosial lain. Ia bahkan sempat mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai lima apartemen di dekat rumahnya. Akibatnya, Hana menjalani perawatan di rumah sakit selama tiga bulan.

Selain Hana, ada beberapa korban Baksa yang mengalami nasib serupa. Modusnya sama: Baksa memancing remaja perempuan dengan iming-iming mengikuti seleksi program acara kencan berbayar. Para korban itu juga diminta mengirimkan foto sensual. “Dia juga meminta saya selfie dengan mengacungkan jari kelingking sambil membuat wajah lucu,” tutur Areum—juga bukan nama sebenarnya.

Areum juga diancam. Jika tak mematuhi keinginan Baksa, “Dia bilang akan mengunjungi rumah saya dan membunuh saya pada suatu kesempatan.” Perempuan yang kini berusia 20-an tahun itu percaya terhadap ancaman tersebut. Ia tetap mengirimkan foto dan video. Apalagi Areum terus dijanjikan diberi uang. “Saya sangat membutuhkan uang saat itu.”

Skandal ini menghebohkan publik Korea Selatan pada Maret 2020. Ada 74 korban, 16 di antaranya anak-anak. Foto dan video Hana, Areum, dan korban lain ternyata diperdagangkan channel Telegram bernama NTH Room pada awal 2018.

Polisi akhirnya menangkap Cho Joo-bin, pria di balik “Doctor Room”, salah satu grup obrolan yang ada di NTH Room. “Doctor Room” hanya tersedia bagi mereka yang membayar US$ 200-1.200 dalam mata uang kripto. NTH Room memiliki lebih dari 260 ribu anggota grup. NTH Room bahkan menyediakan saluran khusus bernama “Female Child Room” dan “Slave Room”. Keberadaan NTH Room kian menggemparkan setelah tersiar kabar bahwa data pribadi personel grup perempuan K-pop juga disebarkan di grup cabul ini.

Tapi kasus berujung getir: pelaku hanya dihukum tiga setengah tahun penjara. Aktor utama skandal ini pun belum terungkap hingga kini.

•••

KASUS pornografi online menjadi momok bagi anak-anak di Filipina. Data Pusat Nasional Anak Hilang dan Tereksploitasi (NCMC) periode 1-24 Maret 2020 menyebutkan ada 279.166 konten gambar eksploitasi seksual anak yang muncul di Facebook. Angka ini naik 264,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Mengacu pada data penegak hukum Filipina periode 2011 hingga Mei 2021, terdapat 793 anak yang menjadi obyek perdagangan seks online yang bisa diselamatkan. Sekitar 50 persen dari korban berumur 12 tahun ke bawah. Sebanyak 57 persen dari mereka diperdagangkan oleh orang tua mereka sendiri atau keluarga.

Contohnya perbuatan bejat Carmen Lirio, 31 tahun, pada masa pandemi Covid-19 ini. Ia menjual anak-anaknya secara online untuk dieksploitasi seksual. Dia ditangkap pada Januari lalu atas tuduhan menayangkan siaran langsung adegan tak senonoh putrinya yang berusia 8 tahun dan putranya yang berumur 11 tahun. “Gaji suami saya hanya 1.600 peso (sekitar Rp 490 ribu dengan kurs saat ini) setiap bulan. Bayi saya masih membutuhkan susu formula,” Carmen berdalih soal perbuatan biadabnya.

Carmen punya lima anak. Suami Carmen seorang barangay tanod atau penjaga keamanan desa. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari, Carmen biasanya berjualan kue di depan sekolah kawasan Baliwag, Provinsi Bulacan. Ia tak berjualan lagi sejak musim pagebluk virus corona.

Kekerasan seksual secara online juga dilakukan orang dekat, seperti pacar. Kasus semacam ini terungkap di Hong Kong beberapa waktu lalu. Pelajar berumur 20 tahun, Crystal—nama samaran—satu dari puluhan perempuan yang pernah menjadi korban penyebaran foto intim oleh bekas kekasih. Sang mantan bahkan mengancam akan membuat folder online berisi foto-foto intim Crystal.

Crystal melaporkan perbuatan bekas pacarnya kepada polisi. Namun polisi tidak bisa meringkus lelaki itu dengan alasan minim bukti. “Saya merasakan pandangan buruk orang-orang di ruang publik tertuju kepada saya karena foto-foto tersebut,” kata Crystal. Seperti Hana di Korea, Crystal sempat berpikir untuk bunuh diri karena tertekan oleh kasus yang tak ia kehendaki.

LINDA TRIANITA, THE KOREA TIMES (KOREA SELATAN), PHILLIPINE CENTER FOR INVESTIGATIVE JOURNALISM (FILIPINA), SOUTH CHINA MORNING POST (HONG KONG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus