Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Kisah Peranakan Cina Indonesia di Belanda

Tak banyak data tentang keberadaan kelompok Cina peranakan dari Indonesia di Belanda. Diperkirakan eksistensi mereka sudah semenjak seratus tahun lalu. Mereka hidup, berkarya, dan berbisnis di Negeri Kincir Angin. Pada 2011, terbentuk Chinese Indonesian Heritage Center di Belanda, yang berusaha meneliti warga Cina peranakan Indonesia.

Hasilnya, sebuah pameran "Verbinding van Culturen: Chinezen uit Indonesiƫ in Nederland" (Pertautan Budaya: Komunitas Cina asal Indonesia di Belanda), yang digelar di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda. Kontributor Tempo di Belanda meliput pameran itu dan menemui beberapa warga Cina peranakan asal Indonesia yang sudah lama menetap di sana dan meraih sukses dalam berbisnis ataupun berkarya.

30 November 2015 | 00.00 WIB

Kisah Peranakan Cina Indonesia di Belanda
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SUARA gamelan terdengar lamat-lamat di Museum Volkenkunde Leiden. Begitu memasuki ruangan Indonesia, pengunjung dapat menyaksikan lemari-lemari kaca berisi berbagai obyek yang berharga untuk setiap keluarga Cina peranakan: kebaya encim sampai kain batik tulis dengan motif campuran Jawa-Cina-Eropa.

Tapi, di mana pun pengunjung berdiri, niscaya mata akan terpaku pada sebuah gaun pengantin sutra merah keemasan. Gaun itu semarak berhias sulaman naga, burung garuda, dan awan: simbol kebahagiaan dan kesuburan dalam budaya Cina.

Inilah suasana pameran "Verbinding van Culturen: Chinezen uit Indonesiƫ in Nederland" (Pertautan Budaya: Komunitas Cina asal Indonesia di Belanda), yang dimulai pada April lalu dan berlangsung sampai Mei 2016. "Baju pengantin ini memang sentral dalam pameran kami," kata Francine Brinkgreve, kurator Museum Volkenkunde.

Pameran ini terselenggara berkat kerja sama Museum Volkenkunde dengan Chinese Indonesian Heritage Center (CIHC), sebuah lembaga yang didirikan Patricia Tjiook-Liem di Belanda pada 2011 dengan dukungan Profesor Henk Schulte Nordholt dari KITLV, pusat ilmu pengetahuan Asia Tenggara di Leiden. "Ini adalah pertama kali dalam sejarah bahwa sebuah museum di Belanda mengadakan pameran tentang kelompok Cina peranakan dari Indonesia," kata Johanna Leijfeldt, anggota staf ahli museum.

Gaun pengantin berwarna khas kuning pinang masak itu adalah pemberian Sioe Yao Kan, seorang bapak berusia 67 tahun. Ia hadir saat open day perdana CIHC pada Juni 2012 di Universitas Leiden. Namun baju itu baru diserahkan dua tahun kemudian.

Ibu Sioe Yao Kan lahir pada 1948 di Scheveningen, dekat Den Haag, tapi menghabiskan sebagian masa kecil dan remaja di Jakarta. Baju itu pertama dikenakan neneknya, Han Tek Nio, ketika sang nenek menikah pada 1901 di Bogor, Jawa Barat. Sesudah itu, tiga bibi Sioe Yao Kan juga memakai kostum tersebut pada hari besar mereka. Dalam pameran itu terpampang foto hitam-putih baju pengantin tersebut saat pernikahan bibi Sioe Yao Kan pada 1928.

"Baju pengantin nenek saya itu dibawa ke Belanda di dalam kotak kayu tempat gaun itu selalu disimpan, dilengkapi dengan rempah-rempah bahan pengawet. Karena itu, warna aslinya masih tetap secerah dahulu," kata Sioe Yao Kan.

Selain baju pengantin, tampak kebaya encim warna putih berenda bunga aster dan kain batik Pekalongan khas peranakan milik nenek Sioe Yao Kan.

* * *

Menurut Patricia Tjiook-Liem, 76 tahun, pendiri CIHC, belum banyak riset tentang kelompok Cina peranakan Indonesia yang pindah ke Belanda. Adapun Patricia datang ke Belanda pada 1956.

Selagi menempuh studi S-3 hukum di Universitas Leiden, Patricia mulai kerap mengikuti seminar akademis tentang warga migran di Belanda. "Ada penelitian tentang kelompok Indo, Maluku, Suriname, Maroko, Turki, dan bahkan tentang migran dari Cina. Tapi saya tidak menemukan apa pun tentang migran Cina peranakan dari Indonesia. Padahal begitu banyak dari kami bermukim di sini."

Dua puluh persen penduduk Belanda atau sekitar 17 juta orang berasal dari negeri lain atau punya orang tua yang lahir di luar Belanda. Dan, menurut perkiraan badan pusat statistik Belanda, CBS, sekitar 400 ribu orang berasal dari Indonesia. Kelompok terbesar adalah orang-orang Belanda dan Indo (yang berdarah campuran Eropa dan Indonesia) yang meninggalkan Nusantara setelah Indonesia merdeka. Kemudian ada orang-orang Maluku dan warga Cina peranakan, yang diperkirakan mencapai belasan atau puluhan ribu orang.

Menurut Patricia, kedatangan warga Cina peranakan Indonesia ke Belanda bisa dibagi dalam tiga tahap. Pertama adalah mereka yang pergi ke Belanda untuk menimba ilmu sebelum Perang Dunia II. "Catatan pertama mahasiswa Cina dari Indonesia yang belajar di Belanda adalah tahun 1886," tutur Patricia.

Gelombang kedua adalah mereka yang datang selama era perang kemerdekaan pada 1945-1949. Warga Cina saat itu sering menjadi sasaran kekerasan. Sesudah itu, masih ada yang meninggalkan Indonesia dari akhir 1950-an sampai pertengahan 1960-an, terutama pada tahun-tahun sekitar G-30-S.

Juul de Moel-Nitisusanta, misalnya. Ia pindah ke Belanda pada 1968. "Kami tidak merasa aman di Indonesia," kata Juul, yang lahir pada 1951 di Bondowoso, Jawa Timur. Ayah Juul adalah ketua setempat Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi sosial-politik yang dianggap bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Sesudah G-30-S 1965, Baperki dilarang dan banyak anggotanya dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru. Setelah peristiwa September 1965, keluarga Juul lari dan bersembunyi di Surabaya, dan akhirnya berhasil pergi ke Belanda.

CIHC kini banyak mewawancarai mereka yang sudah lanjut usia tentang jalan hidup mereka. CIHC bukan perkumpulan peranakan Cina pertama yang dibentuk di Belanda. Pada 1977, misalnya, ada perkumpulan Inisiatip, disusul beberapa yang lain, seperti De Vriendschap (persahabatan) dan Lian Yi Hui. Perkumpulan ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari bermain mahyong dan golf sampai menggelar ceramah dan berwisata ke luar negeri.

"Tujuan utama dari perkumpulan ini adalah memelihara kontak sosial di antara warga peranakan," kata Juul de Moel-Nitisusanta, yang kerap menemani ibunya ke acara De Vriendschap. Tapi Juul tidak yakin berapa lama perkumpulan seperti De Vriendschap akan bertahan, karena kebanyakan anggotanya sudah berusia lanjut.

* * *

Selain gaun pengantin nan elok itu, dalam koleksi Museum sendiri terpajang satu set gambang kromong, yang merupakan campuran dari alat musik Cina, Eropa, dan Jawa Barat. Instrumen tersebut bercat merah emas dan berhias ukiran naga.

Di sela-sela obyek pameran juga terpampang teks dan foto-foto yang memaparkan sejarah Cina peranakan di Indonesia, sebagian besar lewat uraian seputar upacara dan tradisi pernikahan. Foto yang terpajang antara lain memperlihatkan ritual cio tao di rumah masing-masing pengantin perempuan dan lelaki dengan keluarga mereka sebelum upacara pernikahan. "Foto-foto ini menyentuh bagi saya karena mereka memperlihatkan betapa banyak perhatian dan tradisi yang terangkum dalam ritual pernikahan ini," kata Johanna.

Beberapa foto juga jelas menunjukkan perbauran budaya, dengan satu foto pengantin berbaju lengkap Cina, diapit dengan orang tua mereka yang memakai jas dan sarung kebaya.

Yang menarik, permadani sepanjang lorong pameran didesain bermotif ubin klasik Hindia Belanda, yang sering ada di rumah Cina peranakan zaman kolonial. "Setelah kami meneliti album foto keluarga Bapak Sioe, ternyata corak lantai tersebut juga terlihat di rumah keluarga mereka," kata Francine Brinkgreve, kurator museum.

Pameran ini dilengkapi rekaman video yang menampilkan tiga perempuan peranakan Cina yang bermukim di Belanda. Mereka, termasuk Patricia Tjiook-Liem, bercerita tentang hari pernikahan mereka. Patricia menikah dengan Tjiook Tiauw Han pada 1959 di Belanda. "Walau orang tua saya tidak bisa hadir di Belanda, merekalah yang mencari 'hari baik' dan menetapkan tanggal pernikahan kami," kata Patricia.

Giam Kwee, perempuan sekitar 40 tahun yang lahir di Belanda, menuturkan dalam rekaman video bahwa meskipun dibesarkan di tengah budaya Barat, dia tetap merasa bagian dari tiga budaya. "Kalau saya harus memilih apakah saya Cina, Indonesia, atau Belanda, saya tidak akan bisa. Saya tiga-tiganya: saya peranakan," kata Giam Kwee.

Akan halnya Maya Liem ingat tentang karnaval pertama di Belanda yang diikutinya. Pada 1967, tatkala berusia 10 tahun, ia dan keluarganya pindah dari Surabaya ke Vught. Di sana ia diperkenalkan dengan karnaval, tradisi Belanda. Semua orang memakai kostum istimewa dan berpesta di luar. Sebagai anak berumur 10 tahun, Maya cukup bingung akan semua itu.

"Teman-teman saya berkata, 'Pakailah kostum tradisional petani Belanda dan bergayalah yang eksentrik'."

Dan Maya ingat, betapapun mengenakan kostum petani Belanda, ia saat itu juga memakai mahkota Jawa, yang pernah dia pakai menarikan serimpi. "Saya tidak tahu apakah itu asimilasi atau kerancuan budaya," tutur Maya, yang kini penerjemah terkemuka karya sastra Indonesia ke bahasa Belanda.

Linawati Sidarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus