Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANG membuat ThƩ Tjong-Khing terkesan muda bukan hanya keriputnya yang jarang atau rambut ikalnya yang masih lebat, melainkan terutama gerak langkahnya yang ringan dan pasti. Ketika ditanya tentang jadwal kerjanya, dia menghela napas. "Saya tidak bisa lagi menggambar pada malam hari. Mata saya sudah kurang awas dengan warna tanpa sinar alami," kata Khing, 82 tahun, ketika ditemui di rumahnya di Haarlem, Belanda, awal bulan lalu.
Khing lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1933 dan melewati masa kecil di Cirebon dan Bandung. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Bapaknya pengelola gedung bioskop. Sejak kecil, Khing punya dua hobi: menggambar dan menonton film. Ketika dia masuk Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, ayahnya tak setuju. "Menggambar itu hobi, bukan untuk mencari nafkah," kata Khing menirukan ucapan sang ayah.
Untuk memperdalam ilmu menggambarnya, pada 1956 Khing meninggalkan Jakarta dan berlayar ke Amsterdam. Dia kuliah di Akademi Seni Rupa di Belanda. "Tapi saya hanya tahan kuliah beberapa bulan. Satu hal yang saya mau: menggambar. Hanya, pada saat itu, saya belum tahu persis dalam bentuk apa."
Masa awal sebagai migran, menurut Khing, terasa sangat berat. "Semua lain di sini dan untuk pertama kalinya saya benar-benar sendiri," katanya. Beruntung dia mengetuk pintu studio kartunis ternama Belanda, Marten Toonder. "Pertama-tama saya tidak diterima, tapi saya menawarkan untuk kerja gratis. Saya hanya minta kursi dan meja."
Berkat kegigihan Khing, akhirnya Toonder membuka pintu. Keputusan Toonder ternyata tak keliru. Khing pada akhirnya menjadi salah satu ilustrator terkenal di Belanda. Dia mulai dengan cerita komik di koran dan majalah. Pada awal 1970-an, dia berganti haluan sebagai ilustrator buku anak. Karyanya mencakup spektrum yang lebar, dari seri Rubah dan Kelinci (Vos en Haas) dan Kue Taart, dongeng-dongeng klasik, sampai cerita anak dikombinasi dengan CD musik opera. Bukunya diterjemahkan ke selusin bahasa, termasuk Mandarin dan Yahudi.
Khing telah menerima berbagai penghargaan, baik dari segi komersial maupun estetik. Pada 2010, dia menerima penghargaan utama Max Velthuijs. Karyanya dianggap dinamis dan anggun serta banyak emosi dan vitalitas yang tecermin dalam ekspresi karakter-karakternya, dari mengantuk sampai ketakutan, kesepian sampai mabuk cinta.
Sukses dan pujian beruntun dari kalangan seni Belanda kelihatannya tidak mengubah Khing yang terkenal rendah hati dan apa adanya. "Banyak orang menyebut saya seniman, tapi saya lebih senang disebut ilustrator. Seniman adalah orang yang bisa membuat karya sendiri. Saya menerjemahkan cerita orang lain dalam gambar."
Hubungan Khing dengan Indonesia terkesan pelik. Hanya satu kali, yaitu pada 1972, dia kembali ke Indonesia untuk menghadiri ulang tahun perkawinan emas orang tuanya. Ketika ditanya tentang kenangannya di Indonesia, dia menjawab pendek, "Saya tidak pernah mengenang masa lalu." Walau enggan memberi alasan, ia menyinggung bahwa orang tuanya pindah ke Singapura pada 1970-an, "Untuk menghindari iklim anti-Cina di Indonesia."
Ditanya soal identitas dirinya, Khing menggeleng sambil tersenyum. "Saya sungguh tidak tahu. Bukankah itu lumrah untuk kaum peranakan? Di Indonesia saya tidak merasa di rumah sendiri, di sini juga tidak. Saya berkunjung ke Cina lima tahun lalu dan orang bertanya mengapa saya sebagai orang Cina tidak bisa sepatah kata pun bahasa mereka."
Indonesia dicoba dilupakan oleh Khing, tapi tidak bagi Patricia Liem Giok Kiauw Nio. Banyak kenangan manis masa kecilnya di Indonesia yang masih melekat di ingatan Patricia, 76 tahun. Satu di antaranya bila keluarga besarnya berkumpul di rumah kakeknya di Jalan Peloran, Semarang.
"Suara 'klik-klak' dari permainan mahyong terdengar di sela-sela musik gamelan dari radio," tulis Patricia dalam bukunya, Sih Hay Khie: Perusahaan dan Keluarga, yang mengisahkan sejarah keluarga ibunya. Tidak ketinggalan penjaja bakso, buah, dan kue jajan pasar yang selalu mampir.
Patricia, anak kedua dari empat bersaudara, melewati masa kecil di Cirebon, Semarang, dan Jakarta, dan lulus dari Hoogere Burgerschoolāsekolah menengahādi Bandung. Umurnya 17 tahun ketika ia terbang seorang diri ke Amsterdam untuk mulai kuliah farmasi di Universiteit van Amsterdam. "Untungnya, ada sanak keluarga di Belanda," katanya saat ditemui di apartemennya di Amstelveen, Belanda, dua pekan lalu.
Kuliah Patricia terputus tiga tahun lantaran menikah dengan Tjiook Tiauw Han, dokter anak kelahiran Yogyakarta. Selama 30 tahun, waktunya diisi dengan mengerjakan administrasi praktek suaminya di Amsterdam sembari mengurus rumah tangga dan tiga anak mereka. "Saya sempat kursus pada malam hari untuk memperoleh diploma bahasa Inggris, tapi ijazah itu tidak pernah saya pakai."
Kini, ketika ketiga anaknya sudah ke luar rumah, Patricia memutuskan kembali ke universitas yang dia tinggalkan puluhan tahun silam. Umurnya sudah setengah abad ketika dia mulai kuliah paruh waktu di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam. "Banyak teman yang mendukung keputusan saya, tapi ada juga yang bertanya, 'Bukannya kamu harus mengurus suami?'."
Ketika skripsinya hampir selesai, Patricia mulai bertanya-tanya apa yang bisa dia lakukan dengan gelar hukumnya di usia yang hampir mencapai 60. "Untungnya pembimbing skripsi saya menyarankan untuk meneruskan penelitian saya ke jenjang S-3." Ia lalu pindah ke Universitas Leiden untuk mengerjakan disertasinya, "Posisi Hukum Warga Cina di Hindia-Belanda 1848-1942", yang dia selesaikan pada 2009.
Dalam masa kuliahnya, yang sejalan dengan topik penelitiannya, Patricia mulai lebih mendalami asal-usulnya. "Sebelum itu, saya jarang memikirkan latar belakang saya," katanya. "Mungkin usia juga berpengaruh. Semakin bertambah umur, kita mulai retrospeksi: Siapa saya? Di mana akar saya?"
Sesuai dengan disertasinya, Patricia sebetulnya bermaksud memulai proyek berikutnya: menulis sejarah keluarga ibunya, yang bermula dengan kedatangan kakek buyutnya, Sih Khay Hie, dari Fujian ke Semarang. Tapi proyek ini tertunda oleh gagasan Profesor Henk Schulte Nordholt dari KITLV, pusat ilmu pengetahuan Asia Tenggara di Leiden. "Saya berbincang-bincang dengan Henk mengenai tidak adanya penelitian tentang kelompok Cina peranakan di sini. Dialah yang akhirnya meyakinkan saya untuk bersama-sama membentuk Chinese Indonesian Heritage Center (CIHC) pada 2011."
Pada awalnya Patricia ragu apakah dia telah mengambil keputusan yang tepat, tapi tawaran CIHC terlalu menarik untuk ditolak. Walau sibuk dengan CIHC dalam empat tahun terakhir, berkat disiplin dan kerja keras, Patricia berhasil menulis buku sejarah keluarga ibunya, yang diterbitkan tahun lalu.
Apartemennya di Amstelveen, kota kecil di luar Amsterdam, kini menjadi markas informal CIHC. Rumah Patricia yang anggun mencerminkan penghuninya: Barat dan Timur terpadu serasi dengan perabot modern dan batik Obin sebagai penghias dinding. Rapat kerja di rumah Patricia selalu dilengkapi dengan jajan pasar atau sup buatan sendiri.
Patricia harus berpikir sejenak ketika ditanya tentang identitas dirinya. "Ketika pertama kali sampai di Belanda, saya langsung betah. Saya baru kembali ke Indonesia untuk berlibur 14 tahun kemudian, dan anehnya pada saat itu saya terhanyut emosi: mengapa saya pergi dari Indonesia? Beberapa tahun sesudah kunjungan itu, saya terkadang rindu kampung halaman."
Tapi sekarang, tutur Patricia, "Kalau naik pesawat dari Jakarta menuju Amsterdam, saya tahu bahwa saya akan pulang. Belanda adalah rumah saya."
Linawati Sidarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo