Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKA Kuntari Robo selalu melakukan medical check-up saban tahun. Mamografi danĀ pap smearĀ untuk memeriksa kemungkinan adanya kanker di payudara dan leher rahim pun dilakukan. Tapi, apa daya, ternyata ia tetap mendapat serangan kanker. "Akhir tahun lalu saya menderita kanker ovarium," kata perempuan 46 tahun ini, Selasa dua pekan lalu.
Vonis ini cukup mengejutkan Eka. Ibu dua anak ini sebelumnya memang merasa ada masalah serius di badannya. Dia merasa gampang capek dan sering buang air kecil. Tapi hal itu dianggapnya persoalan biasa saja. Selain itu, perutnya yang sedikit membesar disangkanya sebagai masalah kegemukan belaka.
Masih ada satu lagi, yakni jadwal menstruasi yang tak teratur. Ini pun dia kira karena sudah saatnya masuk masa menopause. Jika ada yang dirasanya ganjil adalah munculnya bagian yang keras di dekat tulang selangkangan.
Pertama kali diperiksa, Eka didiagnosis dokter mengalami penebalan rahim dan masalah hormon. Oleh dokter lain, dia didiagnosis memiliki kista di ovarium kanannya. Saat diperiksa lebih lanjut, rupanya ada dinding-dinding di rongga kistanya yang membahayakan. "Ternyata di dalam kista tumbuh kanker," ujar Eka.
Setelah Eka menjalani operasi pengangkatan dan kemoterapi berkali-kali, dokter meyakinkannya bahwa kista dan tumornya lenyap. Tapi Eka belum bisa tenang. "Saya stres, takut kambuh," katanya.
Masalah kekambuhan memang kerap dialami penderita kanker ovarium. Lebih dari separuh penderita tercatat mengalaminya. Inilah yang menjadi perhatian dokter Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, Bambang Dwipoyono, dan dia angkat dalam disertasinya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Bambang meneliti kekambuhan pada pasien kanker ovarium epitelial stadium II-IV. Kanker epitelial adalah jenis kanker yang menyerang jaringan pembungkus ovarium. Perlu dicatat, sembilan dari sepuluh kasus kanker ovarium adalah jenis ini.
Menurut Bambang, meski sudah ada prosedur penanganan, angka kematian yang disebabkan oleh kanker ovarium epitelial masih tinggi. Angka harapan hidup lima tahun hanya terdapat pada 30-50 persen penderita. Ini lantaran hampir 75 persen penderita baru datang saat kankernya sudah dalam stadium lanjut. "Mereka datang sudah di stadium II-IV," ujarnya.
Keterlambatan ini terjadi karena tak ada gejala spesifik yang menunjukkan adanya pertumbuhan kanker di ovarium. Biasanya keluhan yang dirasakan pasien lebih mirip masalah pencernaan seperti kembung dan nyeri perut, gangguan pada saluran kemih, cepat lelah, serta lemah. Penyebab lain adalah belum ada cara menemukan kanker ini pada stadium awal. Lesi pra-kanker atau munculnya jaringan abnormal yang menjadi penanda bakal munculnya penyakit ini, seperti pada kanker serviks, juga belum ditemukan. Repot, memang!
Tapi dokter tentu akan selalu berusaha semampu mungkin menyikat kanker tersebut. Misalnya mengangkat tumor dan memberikan kemoterapi untuk mematikan sel-sel kanker tersisa. Awalnya kebanyakan tubuh pasien menunjukkan respons yang baik. Tapi, dalam kurun tiga tahun, 60-70 persen biasanya kambuh lagi.
Bambang berasumsi kekambuhan ini berhubungan dengan ukuran tumor yang masih tersisa setelah operasi. Idealnya, saat mengangkat kanker, dokter tak meninggalkan sisa tumor. Kalaupun terpaksa, ya, residunya maksimal 1 sentimeter saja.
Tapi, karena kebanyakan kasus kanker ovarium baru ditemukan pada stadium lanjut, proses pembersihannya memang sulit. Terkadang kanker sudah telanjur menempel pada organ tubuh lain, seperti usus dan hati. "Jadi masih ada sisa tumor yang tak bisa dibersihkan," ujar Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Kanker Dharmais ini.
Untuk mengetahui ihwal pengaruh residu tumor, Bambang mengamati 65 pasien kanker ovarium yang dirawat di Rumah Sakit Kanker Dharmais selama 2008-2012. Rekam medisnya dianalisis dan perkembangan tiap pasien diamatinya selama dua tahun. Sisa atau residu tumor dibagi dalam tiga kelompok: 0,5 sentimeter, 1 sentimeter, dan 2 sentimeter. Hasilnya, 23 dari 65 pasien (35,4 persen) kanker akan kambuh dalam dua tahun. Kebanyakan dari mereka adalah pasien yang memiliki sisa tumor lebih dari 1 sentimeter. Median waktu tak kambuhnya cuma 9 bulan.
Hal itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang mempunyai residu tumor kurang dari 1 sentimeter. Mereka memiliki waktu bebas kambuh lebih dari dua tahun. "Makin besar sisa tumor makin cepat waktu kambuhnya," katanya.Ā
Ada lagi faktor lain yang menyebabkan kekambuhan, yakni perangai pembuluh darah yang menyuplai makanan dan oksigen dari tubuh ke sel-sel ganas tersebut. Sudah diketahui bahwa sel tumor yang memiliki massa lebih dari 1 milimeter butuh pembuluh darah baru untuk memasok oksigen. Pembentukan pembuluh darah baru ini membutuhkan vascular endothelial growth factorĀ atau VEGF.
Pasokan dari pembuluh darah inilah yang menjadi energi buat kanker untuk bertambah besar dan lebih cepat kambuh. Ekspresi VEGF diteliti dengan fokus pada gen VEGF-A dan VEGFR-2, dua reseptor penerima sinyal permintaan pembentukan pembuluh darah.Ā Untuk melihat responsnya, dia meneliti karakteristik sampel molekuler yang didapat dari 20 pasien.
Tumor hasil bedah kemudian dibawa ke laboratorium untuk diketahui ekspresi VEGF-A dan VEGFR-2 di level mRNA dan protein. Hasilnya, kelompok yang mengekspresikan VEGF-A memiliki waktu tak kambuh selama 18 bulan. Sedangkan yang tak mengekspresikan bisa lebih dari dua tahun. Risiko kambuh bagi yang gennya mengekspresikan VEGF-A pun dua kali lebih besar dibanding yang tidak mengekspresikan.
Hal yang sama terjadi pada pasien yang mengekspresikan VEGFR-2. Mereka yang mengekspresikan memiliki waktu tak kambuh 10 bulan. Ini jauh lebih cepat ketimbang yang tak mengekspresikan, bisa lebih dari dua tahun.Ā
Salah satu dosen penguji Bambang, Nugroho Kampono, mengatakan hasil penelitian ini bisa menjadi dasar bagi pengobatan kanker ovarium. Kata dia, VEGF-A dan VEGFR-2 merupakan genetik tak normal yang membuat pembuluh darah baru berkembang. Jika pasien kedapatan memiliki gen tak normal ini, dia memerlukan pengobatan khusus untuk membasmi kanker yang masih tersisa, misalnya dengan pengobatan anti-angiogenesis. Jika tidak, kanker akan cepat tumbuh dan menyebar.Ā
Karena itu, perlu ada penanganan khusus untuk menggempur pertumbuhan sel-sel bandel tersebut.Ā "Meskipun stadium awal, jika memiliki gen ini, kanker bisa cepat berkembang," ucap guru besarĀ tetap ilmu obstetri ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Maka dokter bisa merencanakan pengobatan dengan lebih tepat.
Penelitian Bambang ini, menurut Nugroho, merupakan penelitian dasar. Ini bisa menjadi pijakan bagi peneliti lain untuk meneliti soal pengobatan kanker. "Masih perlu penelitian lanjutan," ujarnya.
Nur Alfiyah
Di antara kanker lain, penderita kanker ovarium berada di peringkat kelima di dunia. Angka kematiannya cukup tinggi, 125 ribu kasus per tahun.Ā
Tingkat kesembuhan kanker ovarium:
Rata-rata waktu tak kambuh setelah pengobatan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo