Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Taipan Penganan Khas Indonesia

Memulai dari menjual kacang Shanghai buatan sendiri, lebih dari 100 produk makanan Go Tan terjual di 17 negara Eropa. Kini roda bisnis dipimpin generasi ketiga keluarga Go.

30 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENCARI waktu luang di agenda Swan Han Go, 46 tahun, tak mudah. Kurang dari sehari sebelum jadwal wawancara yang sudah disepakati, ia terpaksa memundurkan janjinya sekitar dua jam. Tapi, begitu duduk di kantornya, Han terkesan santai walau suara telepon selulernya tak pernah berhenti.

"Bekerja bukan beban buat saya. Apa pun yang kita lakukan harus dikerjakan dengan senang hati," kata anak bungsu Frans Go, pendiri Go Tan, itu, dua pekan lalu. Go Tan adalah perusahaan dengan sekitar 60 pegawai beromzet tahunan kurang-lebih 25 juta euro dan pangsa pasar sedikit di bawah 10 persen.

Go Tan harus bersaing dengan pemain utama di sektor makanan Asia di Belanda, terutama keluaran Unilever. Meski begitu, hampir semua orang Belanda mengenal produk Go Tan, seperti sambal, kerupuk, dan berbagai bumbu wok. Semua itu tersedia di supermarket besar, seperti Albert Heijn dan Jumbo.

"Bayangkan, pesaing utama kami adalah Conimex kepunyaan Unilever. Tapi kami tidak gentar. Yang penting adalah bahwa kami tetap keluar dengan produk berkualitas tinggi dan enak," ucap Han. Produk terbaru mereka antara lain emping balado dan bumbu sambal goreng buncis khas Indonesia.

Kakek Han, Go Kwie Siong, beserta istri dan tujuh anaknya berangsur pindah dari Bandung ke Belanda pada 1948-1955. Tujuan ke Belanda awalnya adalah belajar. Untuk menutupi biaya kuliah, Go Kwie Siong dan istrinya membuka restoran Cina-Indonesia bernama Hokkie di pusat Kota Amsterdam.

Ketika putra sulung mereka, Frans, beranjak dewasa, ia berjualan kacang Shanghai yang dibuat sendiri. Kacang ini laku keras dan menjadi cikal-bakal berdirinya perusahaan Go Tan pada 1954. Frans juga mulai mengembangkan asortimen mereka dengan produk seperti bawang goreng dan kecap.

Usaha Frans menanjak. Ia akhirnya memutuskan pindah dari pusat Kota Amsterdam. "Ayah saya membuka peta Belanda. Dengan penggaris, ia mencari titik tengah di peta, karena menurut dia itulah yang paling efisien untuk distribusi. Titik itu jatuh di kawasan pabrik dan kantor kami berada sekarang," ujar Han, yang lahir di Rhenen, kota dekat Kesteren, lokasi kantor dan pabrik Go Tan.

Frans pintar memasak. "Tapi ia lebih dari itu. Ayah saya adalah connoisseur sejati. Dia pencinta makanan dan minuman," kata Han. Ia bercerita bagaimana mereka pulang liburan dari Italia pada 1974. "Sepanjang jalan pulang, saya harus memangku mesin besar pembuat espresso. Bayangkan, saat itu hampir tidak ada orang di luar Italia yang tahu apa itu espresso," kata Han sambil tertawa. "Mungkin saya barista pertama di Belanda. Dari kecil saya bertugas membuat kopi dari mesin itu."

Han melewati masa kecil dengan orang tua dan dua kakak lelakinya di lingkungan yang "amat Belanda". Kesteren adalah desa di tengah daerah pertanian Betuwe, yang terkenal dengan perkebunan buah. "Tak banyak migran tinggal di sini, apalagi ketika saya masih kecil." Meski begitu, Han tidak pernah merasa terkucil atau didiskriminasi. "Semua orang di sini kenal keluarga kami karena semua orang tahu apa itu Go Tan," katanya.

Han baru berusia 14 tahun ketika ayahnya meninggal. Kakaknya, Swan Bing Go, yang baru mulai kuliah di Universitas Teknik Delft, mulai terlibat dalam perusahaan sambil meneruskan studinya. Pada akhir 1990-an, Han dan Swan Bing masuk direksi perusahaan. Kakak tertua mereka, Cliff, memilih pindah ke Singapura dan bekerja di sana sebagai bankir. "Tapi dia tetap duduk dalam dewan komisaris perusahaan dan secara teratur berkunjung ke sini." Han kini menjabat creative director, setelah mengelola bagian keuangan dan teknologi informasi.

"Kebanyakan dari sanak keluarga kami pernah bekerja di perusahaan ini. Om saya duduk di dewan komisaris dan hampir semua tante saya pernah membantu dalam produksi. Kalau kami meluncurkan produk baru, keluarga pasti mencicipi dan memberi masukan," ucap Han. Berbasis penilaian keluarga itulah kemudian muncul slogan a very foodloving family untuk produk Go Tan.

Tawanya kembali menggema ketika ditanya tentang masalah identitas. "Mungkin orang Belanda yang unik. Saya lahir dan besar di sini. Ketika kuliah, saya dan kakak saya juga bergabung dengan klub mahasiswa Belanda. Tapi, bagaimanapun, Asia tetap menjadi bagian dari saya, apalagi mengingat lingkup kerja saya," kata Han, yang beristrikan orang Belanda.

Linawati Sidarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus