Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Ribuan Koleksi Suripan Dan Hazim

14 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASTUTI Hazim Amir mengeluarkan buku-buku yang rusak dari empat rak di ruangan seluas 12 meter persegi itu. "Ada sekitar 100 buku yang rusak terkena air saat atap rumah bocor," kata istri kedua Hazim Amir itu ketika ditemui di rumahnya di Buring, Kedungkandang, Malang, Jawa Timur, pekan lalu. Buku yang rusak itu antara lain buku pedalangan, wayang, dan materi kongres.

Di rumah itu, Astuti seorang diri merawat buku peninggalan Hazim, tokoh teater Jawa Timur dan dosen sastra Inggris di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Malang, yang meninggal pada 1997. Anak tunggal Hazim, Rene Sariwulan, memilih tinggal di Yogyakarta sehingga tak terlalu terlibat dalam urusan buku.

Buku di Kedungkandang itu sebelumnya tersimpan di perumahan dinas dosen IKIP Malang. Tatkala Hazim Amir masih hidup, banyak budayawan dan seniman Indonesia sering berdiskusi, menginap, dan membaca puisi di rumah dinas itu. Di antaranya Zawawi Imron, Kasim Ahmad, Suprapto Suryodarmo, Halim H.D., Budi Darma, Emha Ainun Nadjib, dan mendiang Nurcholish Madjid. Mereka juga sering menginap dan berdiskusi bersama. Pernah Zawawi membacakan puisi semalaman, Hazim hanya mendengarkan, lalu mereka berdiskusi tentang puisi tersebut.

Empat tahun lalu, pihak kampus berniat membongkar perumahan itu. Astuti pun terpaksa memboyong semua buku tersebut ke rumahnya.Sebelum meninggal, Hazim, yang mendirikan Teater Melarat, sempat berpikir untuk memindahkan buku-bukunya itu ke tempat yang lebih luas. Ia lantas membeli lahan di Purworejo, Pasuruan, untuk dijadikan perpustakaan sekaligus sanggar. "Tapi, sampai beliau meninggal, sanggar itu tak pernah terwujud," kata bekas mahasiswa Hazim, Djoko Saryono, saat ditemui pekan lalu.

Hazim dikenal sangat menyukai buku. Ia memiliki ribuan buku. Buku itu antara lain diperoleh Hazim saat kuliah teater di East West Center, Hawaii, Amerika Serikat. Saat mengetahui beberapa koleksi buku Hazim rusak, Djoko merasa prihatin. Ia menyarankan agar keluarga Hazim mau mendirikan perpustakaan untuk umum, menyumbangkan buku-buku tersebut ke perpustakaan, atau mencari pihak yang mau mendanai pembuatan perpustakaan. "Agar orang lain bisa ikut membaca dan menikmati buku koleksi Pak Hazim," katanya.

Beberapa pihak, menurut Astuti, memang pernah menawarkan membuka perpustakaan Hazim, tapi Astuti menolak. Alasannya, "Tak ada yang sejalan dengan cita-cita almarhum," ujarnya. Ia melihat mereka tak memiliki komitmen untuk merawat dan memanfaatkan buku tersebut.

****

Di dalam sebuah rumah sederhana di Jalan Bendul Merisi, Gang Besar Selatan, Surabaya, juga tersimpan ribuan buku kuno. Rumah ini pernah dijadikan pusat kegiatan dan tempat berkumpulnya sastrawan berbakat di Surabaya. Di rumah yang untuk mencapainya harus melewati gang sempit itulah budayawan Suripan Sadi Hutomo, penulis disertasi tentang dalang kentrung, pernah tinggal.

Semasa hidup, Suripan dikenal memiliki dedikasi tinggi untuk mendokumentasikan sastra Jawa. Bahkan ada yang menyamakannya dengan H.B. Jassin untuk dokumentasi sastra Jawa. "Dulu saya bersama Pak Suripan mendirikan Paguyuban Pengarang Sastra Surabaya. Beliau ketuanya dan saya sekretaris," ucap Suharmono Kasiyun, bekas mahasiswa Suripan.

Setelah Suripan meninggal pada 2001, rumah itu ditempati putra pertamanya, Arif Sudrajat. Arif kini merawat dan menjaga buku-buku kuno peninggalan ayahnya itu. Menurut Suharmono, ada 10 ribu lebih buku yang dikumpulkan Suripan. Tapi, ketika dikonfirmasi kepada Arif, ia tak tahu pasti berapa jumlahnya. "Saya kurang tahu pasti, banyak sekali dan tidak pernah dihitung," katanya.

Ketika Tempo mendatangi rumah itu, terlihat empat ruangan kecil yang di setiap sisinya terdapat rak tinggi penuh buku. Sebagian disimpan dalam kontainer agar tidak dimakan rayap. Bukan hanya buku, juga terdapat kaset hasil rekaman dialog Suripan dengan sastrawan lain. Kaset tersebut tersimpan rapi dalam satu almari. Untuk merawat dan menjaga koleksi buku ayahnya, menurut Arif, dibutuhkan biaya tak sedikit. "Kami tak bermaksud menelantarkan, tapi memang membutuhkan penanganan khusus dan cukup memakan biaya," kata Arif. Apalagi buku-buku tersebut tergolong kuno dan langka, yang dikumpulkan sejak 1940.

M. Shoim Anwar, sastrawan bekas mahasiswa Suripan, menyarankan agar perawatan buku dilakukan pemerintah. "Tapi pengelolaannya diserahkan penuh kepada keluarga sehingga tidak menghilangkan kepemilikan keluarga," katanya.

Eko Widianto (malang), Jihan Fauziah (surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus