Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan-lukisan Albrecht Dürer itu digambar ulang. Semuanya digambar dengan menggunakan aksara Hanacaraka Jawa. Demikian telaten. Demikian rapi. Demikian terampil. Setelah kita perhatikan kanvas dari jarak dekat, kita baru "ngeh" bahwa semua gambar kastil, orang tua, kesatria, perempuan, kuda, malaikat, dan panorama sungai itu disusun dari huruf Jawa kecil-kecil. Lukisan itu dipasang bersanding dengan sebuah kanvas lain yang semuanya menampilkan syair beraksara Jawa. Cuplikan bait serat Nagarakretagama, Centhini, sampai serat Kalatidha.?
Sangat menarik gagasan Eddy Susanto untuk menjukstaposisikan dunia lukisan Dürer dengan aksara Jawa. Ada 12 karya demikian dengan format besar-besar disajikan pelukis yang menamatkan pendidikan di Institut Seni Indonesia ini. Selain karya Dürer, di situ ia membuat replika lukisan Eropa kuno lain yang juga disandingkan dengan petilan sastra Jawa yang seabad. Dalam tiap lukisan itu Eddy menaruh earphone. Bila alat ini dipasang di kuping, kita bisa mendengarkan seorang sinden selama tiga-lima menit menembangkan bait-bait syair Jawa yang ada dalam kanvas. Mendengarkan tembang itu, imajinasi kita melayang membayangkan hubungan antah berantah cakrawala Eropa Abad Pertengahan dan alam Jawa kuno.
Albrecht Dürer adalah seniman Jerman yang hidup pada 1471-1528. Ia membuat lukisan, print, dan cukil kayu dengan tema eskatologis. Tentang penderitaan para santo, tentang para orang suci yang melawan bermacam godaan kejahatan, tentang cobaan-cobaan malapetaka ilahi, tentang perang sakral. Bagi kaum Kristen Eropa, pada masa itu, hidup di dunia adalah penderitaan yang harus dijalani untuk mendapat kebahagiaan surgawi. Sedangkan di Jawa, masa-masa Dürer hidup adalah masa-masa "golden age" sastra Jawa. Sejak abad ke-11 di masa Kediri sampai masa Majapahit di abad ke-15, muncul banyak pujangga Hindu dan Buddha yang melahirkan kakawin spiritual yang isinya juga penuh dengan nubuat profetik dan visi esoteris. Mereka antara lain Mpu Kanwa, Mpu Sedah, Mpu Dharmadja, Mpu Monaguna, Mpu Tantular, Mpu Panuluh, dan Mpu Tanakung. Karya mereka tetap menjadi rujukan bagi munculnya serat-serat kebatinan Jawa dari Yasadipura atau Ranggawarsita, tatkala Jawa telah dirasuki dunia sufisme Islam.
Ide Eddy menyandingkan estetika Dürer dan teks-teks Jawa mulanya berasal dari ketertarikannya pada nama bahasa pemrograman JavaScript. Dinamakan demikian karena konon penciptanya menyukai kopi Jawa. Eddy sendiri berspekulasi bahwa aksara Jawa memiliki potensi menjadi bahasa pemrograman seandainya budaya ini lestari. "Logika kode dalam bahasa pemrograman, yang dikenal sebagai HTML, menggunakan logika yang sama dengan aksara Jawa," katanya.
Tentu ini sebuah spekulasi yang secara ilmiah dan teknologi harus diuji. Tapi, sebagai seniman, Eddy membuat sebuah karya berjudul Illuminations of JavaScript. Ia menulis ulang bahasa pemrograman 13 situs paling populer dunia versi Alexa dengan aksara Hanacaraka timbul yang dihiasi iluminasi layaknya halaman manuskrip tua Eropa. "Dekorasi iluminasinya sendiri dikembangkan dari dekorasi khas Indonesia dengan tali rami yang seolah-olah membatasi halaman," katanya.
Dari situ kemudian Eddy masuk ke dunia visual Albrecht Dürer. Seri Dürer itu memang melentikkan fantasi kita. Aneh, memang secara visual gambar-gambar Albrecht Dürer itu entah mengapa terasa cocok dan sejiwa saat disandingkan dengan teks Jawa, bukan teks bahasa Latin kuno. Seolah-olah gambar dan aksara itu berasal dari sumber arkaik yang sama. Eddy mengatakan, untuk pencomotan teks itu, ia menampilkan bukan sembarang syair Jawa. Ia mencari keserasian tema. Misalnya saat ia menampilkan replika lukisan Dürer berjudul The Four Horsemen of the Apocalypse, lukisan itu didampingi aksara Jawa yang dinukil dari kakawin Bharatayudha. Lirik perang besar antara Pandawa dan Kurawa di padang Kuruksetra disandingkan dengan gambar Dürer mengisahkan kehancuran dan ketiadaan.
Adapun untuk replika lukisan Dürer The Promenade, yang berkisah tentang pasangan muda dalam bayangan kematian, yang memiliki pesan bahwa kehidupan fana tak boleh semata-mata ditujukan untuk kesenangan dan kemewahan, Eddy memasang kakawin Arjunawiwaha-kisah pertapaan Arjuna yang tidak tergoda oleh rayuan bidadari nirwana demi mendapatkan kekuatan sakti mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Eddy juga menggambar ulang lukisan Dürer yang paling terkenal, Melancholia I, dan disandingkan dengan syair-syair dari Babad Tanah Jawi. Menurut Eddy, Melancholia I merupakan karya Dürer saat bumi Eropa di bawah kekuasaan Maximilian I, yang kekuasaannya terpecah-pecah. Hal yang sama terjadi di Jawa pada abad ke-16, saat Babad Tanah Jawi dibuat. Saat itu Jawa dikuasai sejumlah penguasa, seperti Pangeran Trenggano dan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor).
Tak hanya dalam bentuk lukisan, Eddy juga ingin mewujudkan dunia Dürer dalam bentuk instalasi. Dürer, misalnya, populer karena dalam lukisan Melancholia I menampilkan gambar Kotak Yupiter. Kotak Yupiter adalah kotak yang berisi 16 kotak kecil yang memiliki angka Yupiter, yaitu 34, di semua baris horizontal, vertikal, dan diagonal. Eddy melihat kultur Jawa juga memiliki angka-angka bermakna yang terkadang disembunyikan dalam dua model sengkalan (kronogram). Ia membuat instalasi Kotak Yupiter dalam ukuran besar yang menghubungkan sengkalan memet Jawa dengan angka Yupiter dan benda-benda ikon yang ada dalam Melancholia I. Pameran yang berlangsung hingga 12 September ini juga dilengkapi dengan karya Javanese Calendar of Lifetime, yaitu kalender Jawa klasik dari kayu jati yang bisa digunakan untuk menghitung weton.
Di samping kedua instalasi itu, Eddy tertarik pada kultur sains Eropa yang memiliki tradisi pengawetan binatang yang dipajang dalam kotak-kotak Cabinets of Curiosities. Menurut dia, Cabinets of Curiosities merupakan upaya manusia mengawetkan gairah akan kehidupan selama ribuan tahun. Ini bagi Eddy mengingatkan pada klangenan orang Jawa, yang suka memelihara burung. Penafsiran ini membuat Eddy merekonstruksi tulang-belulang hewan menjadi binatang imajiner sebagai simbol kukila. Binatang imajiner itu disimpan dalam 20 sangkar yang mewakili jumlah aksara Jawa, berbentuk puncak joglo. Karya ini ia beri judul Javanese Cabinets of Curiosities.
Sepanjang kita berkeliling di Gedung A Galeri Nasional menikmati eksperimen Eddy, akan terdengar suara tembang mengurung ruang. Itu suara sinden bernama Mbak Yati dari Taman Sari Yogya. Suara pesinden ini yang juga kita dengar di earphone seri replika Dürer. Mbak Yati merekam suaranya dengan telepon seluler jadul bermerek Samsung. "Dia merekamnya di rumah, tak mau ke studio," kata Eddy. Eddy juga membuat patung Mbak Yati dari bahan batu andesit Merapi. Mbak Yati batu ini mengenakan jarik dan kemben, bersimpuh. Patung yang diberi judul Hymns of Dystopia itu dipasang tepat di depan pintu masuk, seolah-olah Mbak Yati menyambut tamu.
Dalam beberapa tahun ini, banyak perupa kita menciptakan karya yang bertolak dari metode apropriasi, mengambil atau merepro lukisan terkenal dunia untuk tujuan parodi atau kritik. Eddy juga melakukan itu. Tapi yang dilakukan Eddy lain daripada yang lain. Harus diakui kandungan risetnya menarik. Pada titik ini, yang kurang mungkin adalah tulisan dari filolog, peneliti sastra Jawa kuno, di katalog yang menganalisis interteks yang dilakukan Eddy, yang mampu menerangkan perbandingan antara dunia batin Eropa Abad Pertengahan dan dunia mistis serat-serat atau prasasti Jawa kuno.
Seyogianya, sejak awal proses, Eddy banyak berdialog dengan para filolog yang menekuni sastra Jawa, agar komparasinya antara visual Dürer dan teks Jawa tak terpeleset atau mengada-ada. Sebab, kurator Asmudjo Jono Irianto dan Suwarno Wisetrotomo tentu hanya bisa membantu dari sisi visual. Keduanya sama sekali tak mendalami teks klasik Jawa. Bila ada filolog atau epigraf yang membantu Eddy mengeksplorasi minatnya untuk sastra dan prasasti Jawa kuno, tentu pameran ini semakin berbobot.
Amandra Mustika Megarani, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo