Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOKO buku Edward Sitompul terlihat tak jauh berbeda dengan toko buku lain yang berada di kawasan Terminal Pasar Senen, Jakarta Pusat. Ruangan berukuran 2 x 3 meter itu disesaki buku-buku, yang kebanyakan buku bekas. Ia salah seorang pedagang buku lawas yang masih bertahan di Senen, tatkala banyak rekannya pindah ke lantai dasar pasar Blok M Square, yang kini menjadi sentra penjualan buku bekas di Jakarta.
Tapi, di lapak Edward ini, Jose Rizal Manua, sutradara teater anak-anak, "penggila buku" yang juga dikenal memiliki kios buku di teras Taman Ismail Marzuki, pernah terkejut menemukan puluhan buku koleksi seorang budayawan Indonesia.
"Pas saya ke situ beberapa tahun lalu, saya kaget ada ratusan buku koleksi Pak Wiratmo Soekito. Kok, bisa dijual di tukang loak. Ya, sudah, saya kasih uang lebih supaya si penjual enggak nawar macam-macam lagi. Langsung saya ambil semua," kata Jose.
Wiratmo Soekito adalah pengamat budaya, teater, dan politik luar negeri ternama. Ia konseptor Manifes Kebudayaan. Ia penulis aktif sejak 1950-an di mingguan Siasat, Star Weekly, dan Indonesia Raya. Ia meninggal pada 2001. Wiratmo dikenal sebagai kutu buku. Tulisannya selalu mengutip banyak pendapat tokoh. Pada 1960-an, intelektual seperti Arief Budiman konon sering mengunjungi Wiratmo untuk bisa membaca-baca buku filsafat atau psikologi yang susah didapatkan. Rumahnya di Jalan Setia Budi, Jakarta, penuh dengan tumpukan buku.
Dan siang itu, Jose Rizal ingat ia menemukan sekitar 300 judul buku koleksi pribadi Wiratmo di tempat loakan. "Semua masih dalam kondisi bagus. Saya membelinya dengan harga Rp 20-25 ribu. Saya beli borongan, tidak satuan. Saya enggak pilih-pilih lagi karena buku koleksi Pak Wiratmo pasti buku istimewa," ucapnya.
Menurut Jose, penjual buku itu bercerita kepadanya bahwa buku-buku Wiratmo tersebut diperoleh langsung dari pihak yang mengaku anggota keluarga Wiratmo. Entah benar entah tidak. Koleksi buku Wiratmo sesungguhnya pernah hendak dirawat Institut Kesenian Jakarta karena ia adalah dosen teater di IKJ. Menurut Hambali, petugas Perpustakaan Institut Kesenian Jakarta, pihaknya pernah mengirimkan surat yang intinya meminta secara resmi agar keluarga Wiratmo bersedia menghibahkan buku yang jumlahnya ribuan itu. "Kami pernah meminta, tapi keluarga menolak memberikannya," ujar Hambali.
Pernah ditemukannya buku Wiratmo di tempat loakan menjadikan kita bertanya: bagaimana nasib buku-buku intelektual lain yang juga telah almarhum? Banyak intelektual kita yang memiliki koleksi ribuan buku. Mohammad Hatta, misalnya. Koleksi bukunya kemudian "diselamatkan" Perpustakaan Hatta di Yogyakarta. Di Surabaya, ada Suripan Sadi Hutomo. Penulis disertasi tentang dalang kentrung itu juga memiliki ribuan buku. Ia dikenal mendedikasikan hidupnya untuk mendokumentasikan sastra Jawa. Di Malang, ada Hazim Amir, teaterwan dan dosen sastra Inggris yang memiliki ribuan buku dan ratusan topeng langka. Keduanya sudah meninggal. Di mana buku-buku mereka? Apakah terawat?
Di Jakarta, contoh yang paling mengenaskan adalah koleksi buku dan keramik Adam Malik. Bekas wakil presiden ini wafat pada 1984. Ia memiliki ribuan buku dan koleksi keramik yang disimpan di rumahnya di Jalan Diponegoro, yang juga dijadikan museum. Adam Malik sampai menerbitkan dua buku katalog luks yang berisi foto-foto dan sejarah koleksi keramik miliknya. Yang membuat buku itu adalah Sumarah Adhyatman dari The Ceramic Society of Indonesia.
Tapi, ketika Museum Adam Malik ditutup pada 2005, semua keramik itu hilang. Banyak kabar, beberapa di antaranya singgah di tempat loakan barang antik di Jalan Surabaya. Para arkeolog Indonesia juga menyayangkan raibnya sebuah prasasti langka yang menjadi koleksi Adam Malik. Prasasti bernama Shankara tersebut menjelaskan bahwa di zaman Borobudur hanya ada satu dinasti, yaitu Syailendra. Para arkeolog Belanda rata-rata menyebutkan, pada abad ke-8, terdapat dua dinasti: Sanjaya dan Syailendra. Prasasti Shankara menyebutkan Sanjaya sebagai keturunan Syailendra. Prasasti yang demikian penting untuk memahami sejarah Indonesia itu oleh keluarga Adam Malik dijual ke tukang loak yang lewat di depan rumah mereka.
Salah satu tokoh budaya di Jakarta yang juga dikenal memiliki koleksi ribuan buku adalah Rudjito. Ia penata panggung atau skenografer ternama. Ia membuat konsep panggung hampir semua teater besar Indonesia, dari Teater Kecil sampai Teater Mandiri.
Rudjito wafat pada September 2003. Selama hidupnya, ia tinggal di Jalan Cilosari 14-A, Jakarta Pusat. Di situ, ia menyimpan ribuan buku miliknya. Rumah di Jalan Cilosari itu sesungguhnya rumah milik koreografer Sardono W. Kusumo. Rudjito bisa tinggal di sana karena memang rumah itu kosong dan Sardono mempersilakannya. Untuk menuju rumah itu, kita harus menyusuri gang selebar 1,5 meter dan memanjang lebih-kurang 30 meter.
Rumah di jalan tersebut rata-rata berlantai dua dengan ukuran bangunan tak lebih luas dari 24 meter persegi. "Sudah lama sekali, sejak beliau meninggal, rumah ini selalu tertutup," ucap Ibu Tetelepa, yang tinggal di dekat rumah kontrakan itu, pekan lalu. Sardono mengakui rumah di Jalan Cilosari itu memang rumahnya. "Empat atau lima bulan lalu saya ke sana dan buku-buku itu masih ada di dalam. Menumpuk begitu saja, memang belum sempat dibereskan," kata Sardono.
Menurut Sardono, ia akan segera menyelamatkan buku-buku peninggalan Rudjito tersebut dalam waktu dekat. Namun, hingga kini, Sardono belum sempat mendata atau menginventarisasi buku-buku itu. Berapa jumlah pastinya pun belum diketahui. Ia berharap buku-buku itu nantinya bisa disimpan di Institut Kesenian Jakarta sehingga dapat diakses dengan mudah dan dimanfaatkan mahasiswa di sana. "Itu sesuai dengan transaksi yang kami sepakati saat beliau menempati rumah itu," ucap Sardono.
Sony Sumarsono, penata lampu yang pernah menjadi asisten Rudjito, membenarkan kabar bahwa Rudjito merupakan pencinta buku yang mengoleksi banyak buku dengan beragam topik, seperti kebudayaan, kesenian, seni rupa, filsafat, film, dan teater. "Mungkin ada 6.000-7.000 buku," katanya. Menurut Sony, menjelang hari-hari terakhirnya, Rudjito lebih banyak membaca buku tentang Islam. Sony sendiri sudah mendata buku Islam milik Rudjito. "Ada sekitar 2.500 buku," ujarnya. Rudjito, menurut Sony, menjelang akhir hayatnya juga suka memburu buku-buku berbahasa Jawa dari Solo. Seorang teman di Solo mencarikan buku-buku kebudayaan atau rohani berbahasa Jawa atau serat-serat Jawa untuk Rudjito. "Dari seorang teman di Taman Budaya Jawa Tengah, Rudjito mendapat kiriman buku Jawa secara teratur," kata Sony.
Buku-buku itu memenuhi beberapa lemari. Pada 2007, Sony pernah berniat mengurus dan merawat koleksi buku Rudjito. Namun upaya mendata dan mengurus buku-buku itu tak berlanjut lantaran ia belum sempat berkomunikasi dengan putra Rudjito. "Sudah lama kami tak berkomunikasi dan sekarang ia susah dihubungi," katanya. Menurut Sony, kalau tak terawat, buku-buku di Jalan Cilosari itu lambat-laun akan rusak. Seingat Sony, Rudjito pernah mengatakan tak mau bukunya dihibahkan ke IKJ. "Karena orang IKJ tak suka membaca," ujar Sony menirukan ucapan Rudjito. Menurut Sony, penyair Nirwan Dewanto pernah mengusulkan ribuan buku itu disumbangkan ke perpustakaan Freedom milik keluarga Bakrie. Hanya, usul itu pun tak jelas kelanjutannya.
Menurut Edward Sitompul, terkadang keluarga ahli waris tak mengerti pentingnya buku. Mereka menyangka buku yang kusam dan lama sudah tak berguna. "Mereka asal jual. Ada juga yang ngerti, tapi itu jarang."
Pernah suatu ketika Edward bertemu dengan salah satu anggota keluarga ahli waris tokoh nasional-tanpa mau menyebutkan namanya-di Depok, Jawa Barat. Keluarga itu mewarisi ribuan buku. "Dia hanya mau menjual semua buku seharga Rp 600 juta, enggak mau jual satu-satu," ujarnya. Lantaran nilainya supertinggi, Edward lantas mengontak seorang pencinta buku. Transaksi pun terjadi. Edward sendiri ingat pernah menjual buku Amboina karangan Franciscus Valentino seharga Rp 23 juta dan buku Krakatau yang ditulis geolog Belanda terbitan 1885 seharga Rp 2,5 juta.
Selain memperoleh koleksi Wiratmo Soekito, Jose Rizal pernah mendapat satu lemari berisi buku dari seorang kenalannya. Semua buku itu dalam bahasa Yunani. Isinya antara lain soal sejarah Yunani, sastra, sosial, politik, Plato, Socrates, dan Aristoteles. "Saya bingung, siapa yang mau beli buku itu. Sahabat saya yang mengerti bahasa Yunani cuma satu, Remy Sylado. Jadi saya kasihkan ke dia semua. Dia gembira sekali," katanya. Sampai sekarang, buku-buku itu masih tersimpan dengan baik di rumah Remy. "Dan itu bermanfaat untuk dia karena dia mengerti bahasa Yunani."
Bukan hanya buku koleksi Wiratmo yang dibelinya di pasar loak. Buku-buku koleksi Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia kedelapan, juga ia dapatkan. Di Pasar Senen, Jose Rizal juga sempat memborong satu bajaj penuh buku koleksi pribadi Sandy Tyas, sutradara yang cukup terkenal di TVRI. Sandy pernah menjabat ketua direktur program di TVRI sewaktu masih belum ada stasiun televisi lain.
"Saya juga khawatir. Buku saya jumlahnya puluhan ribu. Kalau nanti saya wafat, bisa-bisa koleksi itu jatuh ke pedagang loak juga. Anak-anak saya enggak ada yang suka buku," ujar Jose Rizal.
Firman Atmakusuma, Dian Yuliastuti, Dini Teja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo