Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURSI goyang itu berada persis di balik pintu masuk sebuah rumah di kawasan Bausasran, Yogyakarta. Di atasnya tergantung foto besar bergambar wajah Umar Kayam. "Silakan kalau mau duduk di sini," ucap Kusen Ali ketika ditemui di rumah itu tiga pekan lalu. Di atas kursi goyang inilah Umar Kayam biasa duduk menerima mahasiswanya dan berdiskusi dengan mereka.
Rumah itu telah disulap menjadi kantor Yayasan Umar Kayam. Kusen ketuanya. Selain kursi goyang dan foto, ada meja-kerja dan kursi bersandaran panjang yang biasa digunakan Kayam untuk bersantai. Dari semua benda yang ada di rumah tersebut, ribuan buku peninggalan sosiolog, novelis, penulis cerita pendek, budayawan, dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu yang paling mencolok.
Kusen, bersama tiga rekannya, selain menjalankan Yayasan, bertanggung jawab untuk merawat dan mengelola buku-buku itu. Buku koleksi Kayam ini ditempatkan di rak terbuka tanpa penutup dengan maksud supaya para pengunjung yang datang dan ingin meminjam buku-buku itu bisa secara leluasa mengambil dan membacanya. Tapi yang dilakukan Kusen itu pernah menuai kritik dari sejumlah murid Kayam. Mereka memprotes cara Yayasan memperlakukan buku. Mereka khawatir, dengan penyimpanan di tempat terbuka seperti itu, buku akan cepat rusak, bahkan hilang dicuri pengunjung. Namun Kusen menjamin hal itu tak bakal terjadi. "Kami terus mengawasi," katanya.
Sejak didirikan enam tahun lalu, yayasan itu telah menerima hibah sekitar 1.500 buku serta sejumlah benda pribadi milik Kayam dari keluarga mendiang. Untuk seorang sastrawan sekaliber Kayam, jumlah itu terbilang kecil. Kusen memperkirakan masih banyak buku koleksi Kayam yang tercecer saat ia bertugas di luar Yogyakarta. "Pak Kayam, misalnya, pernah tinggal di Makassar," ujarnya.
Di awal berdirinya, yayasan itu mendapat dukungan dana dari Ford Foundation untuk biaya membeli rak dan menyusun kepustakaan buku. Namun sokongan dana itu telah dihentikan dan selanjutnya pengurus Yayasan harus mencari dana sendiri untuk biaya operasional dan perawatan buku. Dana didapatkan antara lain dari keuntungan mengerjakan proyek seni dan budaya.
Berbeda dengan buku koleksi Kayam yang sebagian dihibahkan keluarganya, buku koleksi warisan Kuntowijoyo, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, justru tetap dibiarkan berada di tempatnya. "Tak banyak berubah. Kondisinya sama seperti sebelum suami saya meninggal pada 2005," kata Susilaningsih saat ditemui di rumahnya di kawasan Ampel Gading, Desa Condong Catur, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tiga pekan lalu.
Susilaningsih tak tahu persis berapa jumlah buku warisan suaminya itu. Ia tak pernah mendatanya. Suatu hari, ada tawaran dari Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tempat ia mengajar sebelum pensiun, untuk mendata buku-buku tersebut. Namun Susilaningsih tak pernah mengiyakan tawaran itu.
Buku koleksi Kuntowijoyo sangat beragam, dari ilmu sosial, sastra, budaya, hingga agama, dari yang bertema serius hingga yang ringan. "Buku klenik juga ada," ucap Susilaningsih. Ia menambahkan, buku apa saja yang dianggap menarik oleh suaminya bakal masuk ruang perpustakaan pribadinya itu. Kebanyakan berbahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa. Sisanya dalam bahasa Arab dan Jerman. Meski tampak berjajar rapi, sesungguhnya peletakan buku itu tak beraturan. Pengelompokannya sangat acak. Toh, menurut Susilaningsih, suaminya tak pernah lupa letak buku-buku tersebut. Buku-buku itu seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidup sejarawan kelahiran Bantul, 18 September 1943, ini. Apalagi sebagian besar buku tersebut ia beli sendiri, terutama ketika ia berdinas ke luar negeri.
"Saya tak tahu berapa banyak uang yang dia habiskan setiap kali memborong buku," ujar Susilaningsih. Selain didapat dari membeli, koleksi buku Kuntowijoyo terus bertambah lantaran banyak penerbit yang mengirimkan buku terbarunya. Sekali kirim bisa sampai lima judul buku. "Paling banyak kiriman datang dari penerbit Mizan," katanya.
Upaya pemeliharaan juga dilakukan pada buku-buku koleksi pribadi sejarawan Aloysius Sartono Kartodirdjo, pakar linguistik Johannes Wilhelmus Maria Verhaar, dan pastor ahli sastra Jawa, Petrus Josephus Zoetmulder. Di Ruang Koleksi Khusus Pustaka, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, buku-buku itu tersimpan rapi. Jumlahnya mencapai belasan ribu.
Koleksi Sartono saja, misalnya, berjumlah 3.800 buku, yang berjajar rapi di enam rak dengan rangka dan papan pelapis dari besi berkelir putih. Bahkan masih ada ribuan buku lain yang tersimpan di gudang. "Pendataannya belum selesai. Koleksi Pak Sartono di sini total mencapai lebih dari 5.000 buku," kata Widodo, anggota staf penjaga Ruang Koleksi Khusus Pustaka.
Buku koleksi Verhaar tak kalah banyak. Begitu juga buku koleksi Zoetmulder, yang jumlahnya mencapai ribuan. Selain itu, ada beberapa naskah kuno dalam koleksi Zoetmulder, termasuk naskah daun lontar dan replikanya yang memuat "komik" bergambar kisah percumbuan berbahasa Jawa kuno dan ditulis dengan aksara Bali.
Buku koleksi Sartono paling akhir masuk Ruang Koleksi Khusus Pustaka. Buku-buku tersebut baru ada setelah secara resmi dihibahkan keluarga Sartono pada 1 September 2010. Peresmiannya berlangsung bersamaan dengan peringatan seribu hari kematian Sartono yang digelar di kampus Universitas Sanata Dharma. Menurut kepala perpustakaan universitas itu, Paulus Suparmo, hibah tersebut merupakan wasiat dari Sartono sebelum meninggal pada 7 Desember 2007. Sartono, penulis buku Pemberontakan Petani Banten 1888, pernah menyatakan ingin koleksi pustakanya dikelola secara baik dan bermanfaat bagi publik. "Begitu kata istrinya dan alasan itu tertulis di naskah penyerahan hibah," ujar Suparmo.
Sebelumnya, keluarga Sartono sempat menawarkan hibah itu ke sejumlah pihak, termasuk Universitas Gadjah Mada. Tapi, hingga tiga tahun setelah Sartono meninggal, tak ada satu pun lembaga yang secara serius menanggapi tawaran itu. Akhirnya, tawaran disampaikan ke Perpustakaan Universitas Sanata Dharma. "Langsung kami terima," ucap Suparmo.
Bukan hanya buku yang dihibahkan keluarga Sartono. Ada juga setumpuk kertas berkas korespondensi yang ditulis tangan antara Sartono dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Ada pula puluhan gulungan mikrofilm yang memuat materi naskah. "Masih ada di gudang bersama ribuan buku lain. Kami belum selesai mendata dan mengeksplorasi isinya," kata Suparmo.
Tema buku koleksi Sartono sangat beragam dan dapat dikelompokkan dalam sepuluh bidang: ilmu sosial, eksakta, sejarah, budaya, agama, bahasa, sastra, filsafat, jurnal, dan pengetahuan umum. Adapun tahun terbitnya dari awal 1900-an hingga 2007. Koleksi tersebut rata-rata berbahasa Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman. Sedangkan buku berbahasa Indonesia dan Jawa hanya sebagian kecil.
Buku paling tua dalam koleksi itu adalah De Java-Oorlog 1825-30 karya E.S. de Klerck, yang dicetak Algemeene Landsdrukkerij semasa pemerintahan Hindia Belanda dan dipublikasikan pada 1905. Buku Encyclopaedisch Handboek Van Het Moderne Denken, yang memuat karya Elsbach, De Graaf, H.J. Jordan, dan K.F. Proost, terbitan Van Loghum Slaterus pada 1936, juga ada di deretan koleksi itu. Di antara buku koleksi Sartono, ada pula beberapa buku yang sempat dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Misalnya karya D.N. Aidit, Kaum Tani -Mengganyang Setan-setan Desa, terbitan Yayasan Pembaruan pada 1964. Ada juga The Satanic Verses karya novelis kontroversial Salman Rushdie.
Menurut Bambang Purwanto, salah satu murid Sartono, peraih penghargaan Harry Benda pada 1977 itu memperlakukan buku-bukunya secara khusus. Ia menilai gurunya sebagai tipikal maniak buku yang tertib dalam menata koleksinya. "Dia pembaca kuat. Tapi saya tak pernah melihat bukunya berserakan di meja, selalu tertata rapi di rak. Ketika membuka halaman buku saja dia sangat hati-hati," kata Bambang.
Sartono juga sangat senang meminjamkan bukunya kepada orang lain. Hanya, kebaikannya itu sering disalahgunakan. Akibatnya, banyak buku koleksinya yang hilang. "Sewaktu Kakek mau baca, biasanya dia bilang, 'Waduh, bukunya kok belum dikembalikan, ya'," ujar Stefanus Nindito, salah satu cucu Sartono.
Saking menggandrungi buku, Sartono bahkan kadang membeli buku dengan cara mencicil. Salah satunya edisi lengkap enam volume History of Mankind: Cultural and Scientific Development yang dibalut sampul luks berbahan kulit. Buku karya Caroline Farrar Ware, J.M. Romein, dan K.M. Panikkar itu kini disimpan Nindito. Menurut dia, kakeknya membeli buku itu di Amerika Serikat bareng mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef pada 1990-an. Nindito juga menyimpan koleksi lain kakeknya, seperti edisi lengkap Encyclopedia of the Social -Sciences dan International Encyclopedia of the Social Sciences. "Saya simpan sendiri karena itu koleksi istimewa beliau," katanya.
Firman Atmakusuma, Addi Mawahibun Idhom (sleman), Anang Zakaria (yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo