Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PURWAKARTA, Jawa Barat, tahun 1969. Sekitar pukul 10 malam, satu regu anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bertubuh tegap, berkumis tebal, dan bermata merah mendatangi sebuah rumah. Pasukan bersenjata lengkap itu lalu membawa pergi salah satu penghuninya. Seorang ibu dari enam anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan itu bernama S. Rukiah. Usianya sekitar 42 tahun. Kalangan penulis Indonesia periode itu mengenal dia sebagai sastrawan yang aktif menulis di surat kabar dan majalah kebudayaan Indonesia sejak 1940-an. Pada 1950, ia menerbitkan novela berjudul Kejatuhan dan Hati. Pada 1952, buku kumpulan puisi dan cerita pendeknya, Tandus, mendapat penghargaan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Ia pernah menjadi anggota staf Pujangga Baru dan menulis beberapa editorial untuk majalah kebudayaan bergengsi yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana tersebut. Malam itu, ia dicokok tentara karena keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Fall and the Heart
Rukiah diangkut menuju arah Bandung, melewati jalan beraspal yang sesekali diselingi rimba. “Saya berkeyakinan penuh kepastian, bahwa malam itu juga saya akan dibunuh di dalam hutan, dan mayat saya akan ditinggalkan begitu saja, tanpa orang mengetahui, bahwa orang yang telah dibunuh itu adalah seorang pengarang wanita Indonesia yang sangat, sangat cinta kemerdekaan,” tulis Rukiah kepada penerjemah karya sastra, John McGlynn, dalam sebuah suratnya bertanggal 20 Desember 1981.
Rukiah tak menjumpai maut malam itu. Dia pada akhirnya menjadi tawanan. Selama beberapa bulan di penjara, setiap hari dia disuruh menonton dan mendengar raung kesakitan para tahanan lain yang disiksa, termasuk disetrum. “Sejak itu, saya kena sakit saraf yang agak parah,” Rukiah menulis dalam suratnya. Surat Rukiah pada 1981 yang ditulis dengan ketikan rapi kepada John McGlynn itu mungkin adalah tulisan pertamanya kepada pengamat sastra Indonesia setelah ia menghilang dari dunia sastra sejak 1965. Surat tersebut diawali dengan kalimat yang menerangkan kondisi dirinya saat itu:
Tandus
“Surat saudara sudah saya terima beberapa hari yang lalu. Agak lambat saya membalasnya, karena sibuk mengurus cucu2 yang baru saja berkumpul di rumah. Sekarang mereka sudah kembali lagi ke Jkt.
Sesungguhnya—sudah lama saya tak pernah berpikir yang berat2, karena enam belas tahun ini saya memang saya hanya bekerja dan berpikir yang enteng2 saja. Kalau saudara ingin tahu, sekembali dari tahanan, saya bekerja di sebuah klinik bersalin, bagian obat2an (apotek). Jadi selama ini saya hanya bergaul dengan pasien2 hamil yang mau melahirkan bayinya dan mengurus obat2an buat mereka. Saya tak pernah lagi memikirkan soal2 kesusastraan, filsafat dan kebudayaan yang memang sebetulnya sangat saya gemari di waktu lampau. Pokoknya—saya sudah melupakan dan meninggalkan kehidupan dan kebiasaan saya di zaman silam. Kadang2 saya hanya mengingat bahwa zaman itu hanyalah sebuah mimpi. Bahwa saya pernah menjadi pengarang wanita yang dihargai umum di zaman dulu, bahwa saya pernah menjadi pengarang wanita yang telah berhasil mendapat hadiah sastra, itu hanyalah sebuah mimpi yang nikmat….”
•••
S. Rukiah lahir dan besar di Purwakarta. Perempuan kelahiran 25 April 1927 ini menamatkan pendidikan guru pada usia 18 tahun, lalu mengajar di Sekolah Gadis Purwakarta. Pada saat yang sama, Rukiah juga aktif di Palang Merah Indonesia. Posisi Purwakarta sebagai basis perjuangan revolusi memungkinkan Rukiah banyak berinteraksi dengan para gerilyawan. Persentuhan ini yang banyak mengilhami tulisan Rukiah di kemudian hari. Rukiah sering menuturkan peristiwa besar yang umumnya diceritakan dengan heroik itu dari sudut pandang orang-orang kecil yang nasib sehari-harinya berkelindan dengan deru peperangan.
Supi
Rukiah menapaki karier sebagai penulis pada usia 19 tahun dengan menerbitkan sajaknya di Gelombang Zaman. Tulisan Rukiah juga dimuat oleh majalah pejuang revolusi Godam Jelata, yang salah satu pendirinya adalah Sidik Kertapati, yang kelak menjadi suaminya. Tampak Rukiah melaju dengan kencang pada tahun-tahun awal kepenulisannya. Sekitar Mei 1948, dia bergabung dengan majalah sastra bergengsi Pujangga Baru sebagai koresponden. Dia juga menjadi salah satu pencetus majalah budaya mingguan lokal di Purwakarta bernama Irama.
Berakhirnya perang revolusi dan kepindahan Rukiah ke Jakarta membuka makin banyak peluang baginya untuk memantapkan diri sebagai sastrawan yang patut diperhitungkan. Sembari menjadi editor Pujangga Baru, Rukiah menulis novela pertamanya, Kejatuhan dan Hati, yang awalnya merupakan bagian dari edisi khusus majalah itu. Buku ini kemudian diterbitkan terpisah oleh Pustaka Rakjat pada 1950.
Dalam Kejatuhan dan Hati, yang disebut ditulis berdasarkan pengalamannya sendiri dengan sejumlah perubahan latar, Rukiah mengetengahkan kisah Susi, anak bungsu dari tiga bersaudara perempuan yang menjalin romansa dengan Lukman (Luk), seorang pejuang revolusi, pemberontak yang condong ke kiri. Dalam novela ini, kita bisa membaca kebimbangan psikologis Susi—saat bergabung dengan laskar rakyat—dan ketidakpahamannya terhadap sikap ideologis kekasihnya yang berseberangan dengan politik negara.
Dalam sebuah dialog di novela tersebut, Luk menjelaskan kepada Susi apa itu komunisme: “Sekarang ada yang mau kukatakan: komunisme itu lebih dari stelsel ekonomi. Komunisme itu satu ajaran, satu keyakinan. Malah lebih lagi komunisme itu semacam agama bagi pengnaut-penganutnya yang jujur. Di India, Nehru membunuh dan memenjarakan kaum komunis, sementara di Australia ditindas sampai terpaksa bergerak di bawah tanah. Kaum komunis biasanya menjadi beroepsrerevolutionair, artinya kurang lebih pejuang yang menggantungkan hidup matinya kepada perjuangannya.” Rukiah mengisahkan Luk—atas nama perjuangan dalam novela itu—meninggalkan Susi yang dalam keadaan hamil. Susi terpaksa menikah dengan pria yang tak dikasihinya dan terjebak di antara nilai-nilai keluarga konservatif yang mencekik.
John McGlynn dan Rukiah di Purwakarta, 1983. Dok. John McGlynn
Beberapa peneliti sastra menganggap karya Rukiah menampilkan sisi penting masa revolusi yang tak banyak ditampilkan pengarang lain. Yerry Wirawan, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang menulis tentang Rukiah dan gerakan perempuan Indonesia seusai penjajahan untuk jurnal Southeast Asian Studies, Kyoto University, Jepang, pada 2018, misalnya, mengatakan Rukiah mampu memberikan gambaran rinci bagaimana ide-ide revolusioner yang dibawa dari luar berdampak pada kehidupan orang-orang kecil di Purwakarta. Akan halnya Giovanni D. Austriningrum dari inisiatif Ruang Perempuan dan Tulisan menyoroti kemampuan Rukiah menantang narasi dominan yang melekat pada perjuangan pahlawan berupa imaji pejuang laki-laki mengangkat senjata dan pertempuran di garis depan. “Membaca karya Rukiah seperti menantang lagi mitos dan narasi yang selama ini kita telan mentah-mentah,” tutur Giovanni. “Dalam karya-karyanya, Rukiah melihat revolusi yang terjadi tidak seperti yang diceritakan kepada kita di pelajaran sejarah.”
John McGlynn, yang menerjemahkan novela Kejatuhan dan Hati ke bahasa Inggris, mengenang bagaimana ia terpikat pada novela itu. Ia menemukan novela Kejatuhan dan Hati di sebuah lapak buku di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 1978, saat masih menjadi mahasiswa sastra di Universitas Indonesia kampus Rawamangun. Buku setebal 96 halaman dengan gambar sampul dua merpati bertengger di sebuah cabang pohon tersebut menarik perhatian McGlynn karena pernah disebut kritikus sastra, A. Teeuw, dalam buku Sastra Indonesia Modern, tapi tak pernah ditemukan beredar.
McGlynn ingat, ia menamatkan buku itu sekali duduk. Dia begitu menyukai buku yang berlatar Peristiwa Madiun 1948 dengan karakter utama seorang perempuan muda yang jatuh cinta kepada tentara komunis itu. McGlynn memutuskan menerjemahkan buku tersebut ke bahasa Inggris. Upaya ini menjadi proyek alih bahasa besar pertama McGlynn sekaligus titik yang membuatnya memutuskan menekuni karier di bidang penerjemahan karya sastra Indonesia hingga sekarang. Cerita Rukiah terjemahan McGlynn itu terbit pertama kali dengan judul The Fall and the Heart dalam antologi Reflections on Rebellion: Stories from the Indonesian Upheavals of 1948 and 1965.
Kala buku ini terbit, McGlynn belum berhasil menemui Rukiah secara langsung meski sudah berkorespondensi sejak 1981. Pertemuan pertama mereka baru terjadi pada 1983 di rumah Rukiah di Purwakarta. Pertemuan ini berlanjut hingga beberapa kali sepanjang tahun-tahun berikutnya. McGlynn menyebut Rukiah sebagai orang yang mengubah hidupnya. McGlynn juga menerjemahkan karya lain Rukiah, yaitu sejumlah sajak untuk buku kumpulan puisi penyair perempuan yang disunting Toety Heraty berjudul A Taste of Betel and Lime (Seserpih Pinang Sepucuk Sirih) dan cerita pendek “Mak Esah” yang diterbitkan dalam The Lontar Anthology of Indonesian Short Stories.
Sepanjang Orde Baru, jejak Rukiah hanya dapat ditemukan dalam karya berbahasa Inggris, yaitu terjemahan McGlynn tersebut dan penelitian Annabel Teh Gallop—pengkaji budaya Melayu dari Inggris. Gallop menulis disertasi berjudul “The Work of S. Rukiah” untuk tugas akhir pendidikan masternya di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, pada 1985. Dua karya Rukiah, Kejatuhan dan Hati serta Tandus, berada dalam koleksi perpustakaan kampus itu. “Dosen saya di SOAS, Ulrich Kratz, yang menyarankan saya meneliti Rukiah karena belum ada yang menulis tentang dia,” ucap Gallop via surat elektronik kepada Tempo.
Rukiah bersama suami dan anak-anaknya di Jakarta, sekitar 1961-1962. Dok. Keluarga
Dalam tesis Gallop, setelah menerbitkan novela Kejatuhan dan Hati sendiri, Rukiah disebut pindah ke Bandung dan menjadi editor majalah anak-anak, Tjenderawasih. Pada tahun itu, Rukiah menikah dengan Sidik Kertapati dan menerbitkan kumpulan sajak serta cerpen Tandus bersama Balai Pustaka. Kumpulan karya ini mendapat anugerah Seni Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Juri penghargaan itu antara lain H.B. Jassin, Rivai Apin, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Anugerah ini juga pernah diberikan kepada Pramoedya Ananta Toer, Ajip Rosidi, Achdiat Kartamihardja, serta W.S. Rendra.
Setelah berkeluarga, Rukiah mulai berfokus menulis cerita anak-anak. Buku-buku itu terbit di bawah nama S. Rukiah Kertapati. Beberapa judul yang dia tulis antara lain Pak Supi: Kakek Pengungsi, Si Rawun dan Tanah Airnja, serta Teuku Hassan Djohan Pahlawan. Rukiah juga tertarik pada cerita rakyat Indonesia dan menulis sejumlah kisah dari Irian, Pulau Kai, dan Belitung untuk seri Cerita Rakyat terbitan Balai Pustaka. Bersamaan dengan itu, Rukiah dan Sidik Kertapati makin aktif dalam kegiatan politik, baik politik kebudayaan maupun politik praktis. Sidik merupakan pemimpin Barisan Tani Indonesia dan pernah menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Komunis Indonesia pada 1955-1959.
Windu Pratama (kanan), anak kelima Rukiah, dan Sidik Kertapati, suami Rukiah, di Beijing, Cina, 1985. Dok. Keluarga
Dalam kongres pertama Lekra, Januari 1959, Rukiah terpilih menjadi salah satu pengurus bersama sejumlah seniman, seperti Affandi, Rivai Apin, dan Hendra Gunawan. Dalam penelitiannya, Annabel Teh Gallop menyebut Hendra Gunawan sebagai mentor utama Rukiah. “Salah satu pengaruh utama dalam karier kepenulisan Rukiah datang dari persahabatannya dengan perupa Hendra Gunawan,” tulis Gallop. Selepas 1965, Hendra juga ditahan. Selama periode di dalam penjara, Hendra masih sempat melukis dan mengajari narapidana yang berminat menggambar. Sementara itu, semua buku Rukiah dilarang beredar. Sebagian karyanya yang awalnya tercantum dalam antologi sastra Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi yang disusun H.B. Jassin, seperti sajak “Pohon Sunyi” dan “Pulasan Hidup” serta cerita pendek “Cakap Angin dengan Warna Hijau Muda”, lenyap dari edisi pasca-1965.
Gallop ingat, pada 1986, setahun setelah menyelesaikan studinya, ia berkesempatan datang ke Jakarta dan menemukan beberapa arsip terkait dengan Rukiah dalam koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Cikini Raya, Jakarta. Ia menemukan surat-surat Rukiah kepada Jassin, juga undangan pernikahannya. Gallop pun berhasil menemui Rukiah langsung di Purwakarta dan memanggilnya “Bunda”. Dalam pertemuan itu, kata Gallop, Rukiah mengelak diajak berbicara tentang kepenulisan. “Bunda sangat cantik, dengan pembawaan tenang dan hening, yang menyaring segala trauma yang pernah dia lalui,” ujar Annabel.
•••
S. Rukiah memiliki enam anak. Yang termuda lahir pada 1963, diberi nama Prahara. “Mungkin orang tua saya sudah berintuisi tak lama lagi akan ada prahara,” tutur anak kelima Rukiah, Windu Pratama, setengah bercanda, ketika Tempo menghubunginya pada Rabu, 21 April lalu. Gerakan 30 September 1965 memang merenggut segalanya dari Rukiah. Pukulan pertama adalah tak dapat bertemu lagi dengan suaminya yang eksil ke Cina. Pada mulanya, Rukiah sama sekali tak mengetahui keberadaan Sidik Kertapati, entah masih hidup entah sudah meninggal. Rukiah membawa anak-anaknya ke Purwakarta. Di sana dia ditangkap dan dipenjara selama dua tahun di kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta, lalu di rumah tahanan Bandung. Keluarga ini pun tercerai-berai.
Windu dan adiknya setiap hari menjenguk ibu mereka di rumah tahanan CPM, meski mereka masih belum dapat memahami apa yang sedang terjadi. Sesi pertemuan singkat itu pun direnggut ketika Rukiah dipindahkan ke Bandung. Keluar dari tahanan, Rukiah harus berjuang untuk menghidupi anak-anaknya. Keenam anaknya hidup terpisah. Ada yang disekolahkan di asrama Katolik di Jakarta dengan bantuan biaya dari para pastor. Ada juga yang diasuh kerabatnya di Purwakarta dan di Surabaya. “Yang dipikirkan ibu saya hanya urusan survival karena kami sudah tak punya apa-apa lagi,” ucap Windu. “Kami tak pernah bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, kami lalui saja.”
S. Rukiah Kertapati, 1955. Wikipedia
Untuk waktu yang lama, keluarga ini masih terus diawasi. Rukiah tak pernah menulis lagi karena ancamannya adalah mati. Dia juga menjadi lebih tertutup dan pendiam. Anak-anak Rukiah pun tak dapat menjadi pegawai negeri. Topik seputar peristiwa 1965 ataupun keberadaan ayah mereka menjadi hal sensitif untuk dibicarakan. Namun Rukiah tak pernah hendak menikah lagi, meski menurut Windu banyak pria yang menyatakan ketertarikan kepada ibunya.
Secercah titik terang tentang keberadaan Sidik baru muncul sekitar 1985. Windu ingat, dia dapat berhubungan dengan ayahnya lewat telepon, dengan sembunyi-sembunyi. Windu diminta datang ke Cina untuk bertemu dengan Sidik. Lewat prosedur yang cukup rumit, Windu dapat menginjakkan kaki di Cina via Hong Kong. Setelah 20 tahun, dia akhirnya dapat bertemu lagi dengan Sidik. Windu menghabiskan waktu di Cina selama sekitar satu bulan.
Rukiah sendiri tak pernah berjumpa lagi dengan suaminya. Sidik tak dapat pulang ke Indonesia, sementara Rukiah tak boleh melawat ke luar negeri. Pasangan itu hanya sempat bertukar kabar lewat telepon, meskipun jarang sekali. Sidik baru bisa pulang pada 2000-an, saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden. “Sementara Ibu meninggal pada 1996, tak sempat lagi bertemu dengan ayah,” ujar Windu. Windu ingat, menjelang akhir masa hidupnya, Rukiah sempat mencoba kembali menulis, baik langsung dengan tangan maupun menggunakan mesin tik, meski tak konsisten. Sebagian tulisannya berupa surat yang ditujukan kepada Sidik. Namun, setelah Rukiah meninggal karena serangan jantung pada usia 69 tahun, jejak tulisannya tak dapat ditemukan oleh anak-anaknya di rumah mereka.
MOYANG KASIH DEWEIMERDEKA, SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo