Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hubungan Cina-Australia menegang setelah Canberra meminta penyelidikan tentang asal Covid-19 di Wuhan.
Cina balas memblokir sejumlah barang ekspor utama Australia.
Australia mulai berbicara tentang eskalasi militer.
SENGKETA Australia dan Cina makin panas belakangan ini. Dalam pidatonya pada Hari Anzac, hari veteran di Australia, Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Australia Mike Pezzullo mengingatkan tentang ancaman perang yang makin dekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di dunia yang penuh ketegangan dan ketakutan, genderang perang sedang ditabuh—terkadang samar dan jauh, tapi lain waktu lebih keras dan makin dekat,” kata Pezzullo pada Ahad, 25 April lalu. Dia mengatakan militerisasi di negara lain kini kian mengkhawatirkan dan meminta para anggota staf di departemennya terus mengupayakan perdamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini pernyataan paling keras yang pernah keluar dari seorang birokrat keamanan senior Australia tentang ketegangan militer yang meningkat di kawasan Asia-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir. Pernyataan ini muncul setelah Menteri Pertahanan Peter Dutton memperingatkan potensi konflik di kawasan itu. “Tidak ada yang ingin melihat konflik antara Cina dan Taiwan atau di mana pun di dunia,” ujar Dutton. “Saya pikir hal itu tak boleh diabaikan.”
Menteri Dalam Negeri Karen Andrews menyetujui pidato Pezzullo. “Dia benar-benar bebas dalam menyiapkan pidato dan dokumen serta mempublikasikannya,” kata Andrews. “Pesan menyeluruh dari pemerintah adalah kita perlu waspada, tapi jangan cemas.”
Menteri Utama Negara Bagian Australia Barat Mark McGowan meminta pemerintah federal “menurunkan” bahasanya tentang ketegangan militer tersebut. Australia Barat memang punya hubungan dagang dengan Cina. Bill Shorten, anggota parlemen dari kelompok oposisi Partai Buruh, juga prihatin terhadap pernyataan Mike Pezzullo mengenai genderang perang. “Saya tidak yakin pelayan publik yang senior perlu menggunakan bahasa itu. Saya tidak yakin bahwa hal itu benar-benar membantu, kecuali memicu lebih banyak kecemasan,” ucap Shorten kepada Channel Nine.
Pemerintah Cina bereaksi keras atas pernyataan itu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, menyebut pernyataan itu “memicu konfrontasi” dan keluar dari “para pembuat onar”. “Sebagai negara yang telah lama mendapatkan keuntungan dari kerja sama dengan Cina, tidak etis bagi Australia mengangkat teori ‘ancaman Cina’. Tuduhan itu juga tidak sesuai dengan fakta,” tuturnya dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu, 28 April lalu.
Pernyataan Mike Pezzullo menambah runyam hubungan Australia-Cina yang tegang belakangan ini setelah pemerintah federal Australia membatalkan dua kesepakatan dagang antara Negara Bagian Victoria dan Cina pada akhir April lalu. Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne menyatakan kebijakan itu untuk memastikan konsistensi hubungan luar negerinya.
Perjanjian dagang itu ditandatangani oleh Negara Bagian Victoria dan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Cina, badan perencanaan ekonomi Cina. Itu merupakan bagian dari One Belt One Road Initiative, prakarsa Cina untuk membangun jaringan perdagangan baru lintas benua. Kedutaan Besar Cina untuk Australia menilai keputusan Menteri Payne itu “provokatif” dan kian merusak hubungan Negeri Panda dengan Negeri Kanguru.
Cina adalah mitra dagang terbesar Australia, tapi hubungan dagang keduanya memburuk sejak 2017, ketika badan intelijen Australia memperingatkan soal campur tangan Cina dalam urusan domestiknya. Suhu politik memanas saat Australia menjadi negara pertama di dunia yang melarang jaringan 5D Huawei masuk. Puncaknya, Australia bersama Amerika Serikat menyeru komunitas internasional untuk menyelidiki asal-usul Covid-19, yang pertama kali muncul di Wuhan.
Cina merespons dengan menerapkan tarif dan pembatasan lain terhadap sejumlah ekspor daging sapi, barli, dan anggur Australia. Beijing juga memperingatkan para mahasiswa dan wisatawan tidak melancong ke Australia.
Pada Kamis, 29 April lalu, Duta Besar Cina untuk Australia, Cheng Jingye, memperingatkan soal suasana “tidak bersahabat” kepada wisatawan Cina. Berbicara melalui video kepada Dewan Bisnis Cina-Australia, dia memaparkan sejumlah keluhan negerinya terhadap Australia, termasuk pemblokiran sejumlah investasi Cina dan “campur tangan” terhadap urusan dalam negeri Cina.
“Liputan media tertentu tentang Cina penuh dengan distorsi dan prasangka,” katanya. “Semua ini tampaknya menjadi hambatan bagi pelancong Cina untuk kembali. Ini membuat orang bertanya-tanya apakah negara ini masih menerima turis Cina.” Sebelum penutupan perbatasan Australia gara-gara pandemi Covid-19, Cina menyumbang 15 persen pasar wisatawan Australia.
James Laurenceson, Direktur Australia-China Relations Institute di University of Technology, Sydney, mengatakan ketegangan politik antara Australia dan Cina sebenarnya tampak sejak empat tahun lalu. “Apa yang berubah tahun ini adalah ada bukti meningkatnya suhu politik ini telah merembet dan mengganggu perdagangan,” ucap Laurenceson kepada Deutsche Welle.
Laurenceson menunjuk pada turunnya nilai ekspor ke Cina sekitar 2,3 persen pada delapan bulan pertama 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun jumlah itu masih di bawah rata-rata penurunan ekspor ke negara lain yang lebih dari 11 persen.
Cina adalah pasar ekspor terbesar Australia dengan nilai sekitar US$ 120 miliar pada 2019. Bijih besi, batu bara, dan gas mengisi 60 persen komoditas ekspor ke Negeri Tirai Bambu. Kampus-kampus dan obyek wisata pun telah memikat perhatian Beijing. Cina juga salah satu investor terbesar di negeri itu.
Namun laporan Lowy Institute, lembaga penelitian nonpartisan berbasis di Sydney, menunjukkan bahwa sanksi ekonomi yang dijatuhkan Cina sejauh ini belum terlalu berdampak. Penyebabnya, ada perubahan di pasar global. Eksportir batu bara Australia, misalnya, cukup berhasil mengalihkan produknya ke pasar lain sejak Cina mulai mengurangi impor dan akhirnya menghentikannya mulai Oktober 2020. Sejak Januari 2021, ekspor batu bara Australia ke seluruh dunia mencapai US$ 9,5 miliar, lebih tinggi secara tahunan ketimbang sebelum larangan Cina.
Laporan itu menyebutkan hanya industri anggur Australia yang masih berjuang untuk menutupi hilangnya pasar utama Cina. Total ekspor daging sapi juga menurun, meskipun lebih merupakan cerminan dari masalah suplai yang turun setelah kekeringan selama bertahun-tahun.
“Kerusakan terbatas ini seharusnya tidak mengejutkan. Cina telah menyasar produk yang biayanya relatif rendah, terutama karena ada pemasok alternatif. Namun, dalam banyak kasus, itu juga berarti ada pembeli lain. Berubahnya perdagangan global inilah yang menyebabkan terbatasnya kerusakan yang dialami Australia,” tulis Roland Rajah, Direktur Program Ekonomi Internasional Lowy Institute, yang menulis laporan ini.
IWAN KURNIAWAN (ABC NEWS, DEUTSCHE WELLE, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo