Ia menemukan kemantapan hidup dalam Islam. Jadilah Malcolm X penyebar Islam yang gigih. Tapi itu rupanya tak disukai oleh mereka yang iri pada ketenarannya: ia ditembak mati ketika sedang mendakwahkan Islam. DEMAM ''X'' melanda Amerika. Itulah yang terjadi di seputar film Malcolm X: sebuah film yang tak hanya disambut oleh masyarakat muslim hitam, tapi juga masyarat nonmuslim Amerika. Topi-topi yang bertuliskan ''X'' dijual dan dipakai banyak orang. Remaja-remaja hitam dengan jaket yang punggungnya dihiasi dengan huruf ''X'' besar mencolok terlihat di mana- mana. T-shirt dengan ''X'' sebagai hiasan di dada tentu saja laris. Dan itu bukan hanya karena film yang diputar memang kolosal, dengan masa putar 3 jam 21 menit, melibatkan 3.000 figuran, dan pengambilan gambarnya di luar studio dilakukan di sejumlah tempat di Amerika, juga di Arab Saudi, Mesir, dan Afrika Selatan. Bukan juga karena biaya yang direncanakan sebesar US$ 28 juta akhirnya menjadi US$ 34 juta. Juga bukan karena sutradaranya sampai figuran yang paling tidak penting dalam film ini berkulit hitam. Tapi karena tokoh yang difilmkan itu sendiri adalah bagian dari sejarah besar Amerika. Malcolm X adalah pendakwah Islam yang pada zamannya begitu fasih dan mempesona, berani, dan dari satu sudut bisa dikatakan telah meluruskan pemahaman muslim hitam Amerika tentang ajaran Islam yang melenceng. Dan film Malcolm X memang bukan hanya berbicara tentang Islam, tapi juga masalah rasialisme di Amerika. Maka pada bulan November itu diskusi di kampus-kampus tentang film ini ramai. Bahkan satu diskusi di Columbia University, yang mengundang pembicara dari Nation of Islam, organisasi Islam besar pertama di AS, hampir saja menimbulkan baku hantam. Si pembicara, Khalid Mohammad, pejabat penerangan organisasi itu, selama hampir empat jam memakai kesempatan itu untuk mengecam habis kulit putih dan Yahudi, yang dalam sejarah Amerika memang pernah menindas kulit hitam. Lalu di University of Rhode Island, pada tengah malam, sekitar 10.000 mahasiswa mengambil alih sebuah gedung di kampus dan menamakan gedung itu ''Malcolm X Hall''. Itukah memang tujuan sutradara Malcolm X yang bernama Spike Lee, yang kini disebut-sebut sebagai sutradara hitam Amerika terbesar(?) Secara tak langsung mungkin ya. Sebab, ''Yang diutarakan Malcolm masih menjadi masalah di Amerika sekarang,'' kata Lee dalam wawancaranya dengan majalah Time. ''Saya masih merasakan bahwa warga negara Amerika keturunan Afrika dianggap sebagai warga negara nomor dua, sebagaimana dulu dikatakan Malcolm.'' Mungkin Lee agak berlebihan. Tapi memang, dalam sejarahnya, agama bagi orang hitam Amerika tak terlepas dari masalah rasialisme. Tampaknya, agama bagi mereka merupakan solusi antara ajaran formal agama (terutama Kristen) itu sendiri dan kenyataan perilaku orang putih yang rasialistis. Maka, pada awal-awal para budak hitam memeluk Kristen, mereka menafsirkan sendiri ajaran itu sesuai dengan tradisi kepercayaan mereka di Afrika. Ada upacara mengelilingi gereja sambil bergandengan tangan mirip tarian religius Afrika. Mereka juga menghiasi nisan kuburan sebagaimana adat di Kongo. Seperti ada sikap, mereka tak ingin memeluk Kristen seperti yang dilakukan oleh orang putih karena si putih itu memperbudak mereka. Ada semacam prinsip bahwa mereka harus mengembangkan religi baru untuk mereka sendiri (lihat Encyclopedia of Religion, Macmillan Publishing Company, 1987). Kenyataan yang paling dekat dengan sinyalemen itu -- mengembangkan religi baru -- adalah organisasi keagamaan yang bernama Nation of Islam. Pada awal-awal berdirinya, tahun 1930, ditilik dari ajaran Islamnya, Nation of Islam bisa dinilai melenceng dari rel. Dan sumber kemelencengan itu bisa dilacak ke belakang. Jauh sebelum itu sebenarnya Islam sudah masuk ke benua yang ditemukan Columbus ini, dibawa oleh bangsa Moor yang ikut dalam pelayaran orang Spanyol. Tapi Islam memang kurang mendapat pasar. Pendatang kulit putih di AS waktu itu pemeluk Kristen, orang-orang Indian punya kepercayaan sendiri, dan budak-budak hitam di AS, jika tak mempertahankan kepercayaan mereka yang asli dari Afrika, memeluk Kristen seperti majikannya, dengan itu tadi: menafsirkan sendiri menurut kepercayaan mereka di Afrika. Bisa jadi tak berkembangnya Islam di Amerika pada zaman perbudakan itu disebabkan semangat agama ini, lebih daripada Kristen, menyuarakan persamaan ras. Bisa dipahami bila ada penghalang-penghalang yang membuatnya tak tersebar luas, dan mestinya itu datang dari para misionaris Kristen. Baru pada akhir abad ke-19 muncul orang yang berani dengan tegas ''menciptakan religi baru''. Dan itu tak bisa lain dengan menarik garis perbedaan dengan Kristen, bahkan bersikap konfrontatif. Timothy Drew, orang itu, seorang hitam yang bekerja sebagai pengantar barang dari Carolina Utara, menyebarkan pendapat bahwa Kristen adalah agama orang putih. Agama yang cocok bagi orang hitam adalah Islam. Noble Drew Ali, demikian sebutan untuk Timothy Drew, kemudian mendirikan Moorish Science Temple di New Jersey. Di Amerika pada mulanya tempat ibadah orang Islam dinamakan temple. Baru kemudian, terutama pada zamannya Malcolm X, ada anjuran dari imigran asal Timur Tengah agar sebutan itu diganti dengan mosque, mesjid. Gerakan Noble Drew Ali berkembang. Dan entah karena semangat menciptakan religi baru atau karena salah paham, Drew Ali menyusun buku pedoman ajaran Islam-nya yang diberi nama Holy Quran. Buku kecil 60 halaman itu isinya tak persis seperti Quran, tapi memang mengasosiasikan pada Quran. Tahun 1925 Ali sudah mendirikan sejumlah temple, sesuai dengan perkembangan pengikutnya. Ia lalu memindahkan markas besarnya ke Chicago. Di sini ia meninggal secara misterius empat tahun kemudian. Gerakannya kemudian pecah menjadi berbagai macam sekte, yang pengikut masing-masing yakin bahwa sektenyalah warisan Ali yang sah. Inilah organisasi pertama di Amerika yang menyebarkan pemahaman tentang Islam, bagaimanapun melesetnya, sebagai alternatif Kristen di antara orang-orang hitam. Tahun 1920-an sebenarnya beberapa pendakwah Ahmadiyah dari India masuk pula ke daratan Amerika. Tapi boleh dibilang pengaruh mereka atas perkembangan Islam di AS sangat tipis. Itu mungkin karena ada yang lebih cocok bagi orang-orang hitam Amerika, yakni Nation of Islam, yang kemudian berdiri di Detroit tahun 1930. Organisasi ini tak berkaitan langsung dengan ajaran Noble Drew Ali, tapi Wallace D. Fard, pendirinya, juga bersikap menciptakan alternatif agama baru bagi orang hitam. Lebih dari Ali, Fard dengan Nation of Islam-nya, selain mendirikan temple, juga mendirikan semacam madrasah, bahkan membentuk pasukan paramiliter. Hanya empat tahun Fard memimpin organisasinya. Ia tiba-tiba menghilang secara misterius, sebagaimana ia muncul secara misterius pula. Tak banyak diketahui tentang dirinya, kecuali pada awal munculnya ia mengaku datang dari Mekah untuk mengungkapkan identitas orang hitam Amerika yang sebenarnya, yakni mereka sebenarnya adalah ''suku Shabaz yang hilang'', yang sebenarnya adalah muslim. Nation of Islam kemudian dipimpin oleh Elijah Poole, ketua para dai. Bisa jadi ketika inilah Nation of Islam berjalan menjauh dari ajaran Islam sebenarnya. Elijah Poole mengatakan kepada para pengikutnya bahwa Fard sesungguhnya adalah inkarnasi dari Allah dan dia sendiri adalah utusannya. Menurut Muhammad -- akhirnya Poole menamakan dirinya Elijah Muhammad -- manusia sebenarnya asli berkulit hitam dan beragama Islam. Tapi kemudian para ilmuwan setan menciptakan manusia putih, beragama Kristen. Allah memberi kesempatan orang putih memerintah dunia selama 600 tahun, yang akan berakhir setelah ditandai oleh rusaknya dunia. Sesudah itu dunia akan dipimpin oleh orang hitam. Maka orang hitam sebaiknya memisahkan diri dari orang putih yang celaka dan korup itu, kata Elijah Muhammad. Kelompok yang lebih populer disebut Black Muslims itu memeluk kesesatan ini selama 30 tahun. Mengapa 30 tahun? Tahun 1964 seorang dai Nation of Islam yang paling menonjol, Malcolm X, naik haji. Di Mekah, Malcolm melihat kenyataan yang tak sesuai dengan ajaran Elijah Muhammad: ternyata berbagai warna kulit di Mekah sama derajatnya, membentuk satu persaudaraan di hadapan Allah. Maka berpisahlah kedua orang ini. Malcolm membentuk wadah baru bernama Muslim Mosque. Meskipun tak lama kemudian Malcolm tewas ditembak selagi berdakwah, koreksinya terhadap Nation of Islam banyak diikuti. Kebenaran ajaran Islam di Amerika tak bisa dilepaskan dari kesadaran Malcolm bahwa manusia itu sama, apa pun warna kulitnya. Maka bila film Malcolm X lebih berbicara tentang rasialisme, menurut sebagian kritik, di AS memang muncul dua pendapat atas ajaran Malcolm: yang masih melihat Malcolm sebelum naik haji, yang anti-kulit putih, dan sesudahnya. Bisa ditebak, yang pertama mestinya lebih banyak pengikutnya -- ajaran yang hitam- putih biasanya lebih mudah dipahami dan diterima. Dan lihat pembukaan film ini: bendera Amerika, yang kata Elijah Muhammad tak layak dihormati, dimakan api (mungkin itu cara Spike Lee melariskan filmnya.) Kemudian ada tempelan rekaman video dari peristiwa sebenarnya: adegan pemukulan Rodney King, sopir kulit hitam, oleh sejumlah polisi kulit putih pada tahun 1991 -- peristiwa yang meledakkan kerusuhan ras di Los Angeles. Kita tak bisa lagi meminta pendapat Malcolm tentang film Malcolm X ini, yang diedarkan dengan kategori 13 tahun, dan yang sutradaranya mengatakan bahwa anak-anak sekolah harus menonton film ini -- kalau perlu, lari dari sekolah. BSU & BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini