Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sutradara hitam putih

Sekilas kehidupan spike lee, sutradara malcolm x. hampir semua filmnya meraih sukses. cerita film berkisar konflik antara ras. ia orang yang pandai memanfaatkan masalah ras di amerika.

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH Spike Lee, sutradara Malcolm X, seorang rasis? Jika memang begitu, itu tampaknya lebih sebagai modal bisnis daripada sebuah ideologi yang diperjuangkan. Lihat, separuh dari T-shirt dan topi yang dipakai remaja Amerika kini bergambar ''X''. Bujangan yang lahir tahun 1957 di Atlanta, Georgia, ini nama lengkapnya Shelton Jackson Lee. Karena bandel, Jacqulyn Lee, sang ibu, memanggil anak nomor satu dari lima bersaudara ini dengan ''Spike'' -- artinya paku besar. Ia datang dari keluarga kelas menengah kulit berwarna, bukan dari keluarga kaya seperti The Huxtables dalam film seri televisi Bill Cosby. Spike Lee tergolong anak bersih: tidak pernah terlibat dalam alkohol atau obat bius. Tamat dari John Dewey Highschool, sekolah yang kurikulumnya luwes -- murid boleh memilih sendiri -- Spike Lee kemudian melanjutkan pendidikannya ke Morehouse College. Dia bangga akan college ini karena para alumnusnya, selain ayahnya yang pemain jazz, adalah pejuang hitam Dr. Martin Luther King Jr. dan Bill Cosby. Ketika Lee berusia 19 tahun, ibunya meninggal karena kanker. Neneknya, Zimmie Shelton, kemudian mengasuhnya. Sang nenek, kini masih hidup namun sudah renta, bisa menyaksikan cucunya terkenal sebagai aktor, sutradara, dan penulis skenario. Film pertama Lee berjudul She's Gotta Have It (1986). Lee adalah bintangnya, sutradaranya, dan juga penulis skenarionya. Waktu itu dia masih tinggal di lantai dasar sebuah rumah di Brooklyn. Modalnya hanya sebuah kamera 16 mm, dan subsidi yang didapatnya tidak banyak. Filmnya hitam-putih, cerita tentang kaumnya, kulit berwarna, dan neneknya Zimmie Shelton, yang dipanggilnya ''mother''. Ternyata, ketika Black Filmmaker Foundation mensponsori premier film itu, pujian berdatangan dari penonton. Kata-kata dalam dialognya orisinal, jalan ceritanya sederhana, tetapi isinya, khususnya mengenai penderitaan kulit berwarna, mendalam. Hasil film pendek yang digarapnya dalam sebelas hari dengan modal US$ 175 ribu itu adalah US$ 8,5 juta. Debutnya yang pertama itu kemudian dia lanjutkan dengan film- filmnya yang lain. Setiap tahun dia menggarap satu film. Semua sukses dan untung: School Daze (1988), Do the Right Thing (1989), Mo' Better Blues (1990), Jungle Fever (1991), dan Malcolm X (1992). Untuk semua filmnya, Lee tetap merangkap sebagai sutradara, pemain, dan penulis skrenario. Dalam Malcolm X, misalnya, dia main sebagai Shorty. Cerita filmnya rata-rata berkisar tentang konflik antarras, anekdot-anekdot dalam komunikasi antarras di AS -- antara generasi tua dan muda, dengan orang Italia, Korea, Yahudi, dan sebagainya. Semua segi dari pergaulan antarras itu bisa dituangkan ke dalam film oleh Spike Lee dengan kata-kata (dan makiannya) yang enak dan orisinal. Untuk ukuran Hollywood, kehidupan pribadi Lee sangat tertutup. Dia sutradara yang serba kontroversial: ceplas-ceplos kalau omong, jujur dalam opini, tetapi juga menyakitkan jika memberi komentar. Ketika diwawancarai The New York Time untuk filmnya Do the Right Thing, misalnya, Lee berkata tentang dirinya: ''Ya, pada kenyataannya saya kulit hitam. Sama saja seperti kita semua berkata langit itu biru. Apakah saya sakit hati karena itu? Tidak. Apakah saya marah karena saya hitam? Tidak. Apakah saya sadar apa arti 'hitam' kalau tinggal di Amerika sekarang? Ya.'' Keistimewaan yang lain atau yang khas tentang Lee ialah dia hanya bisa bekerja dengan timnya sendiri, yang sebagian besar adalah bekas temannya di Morehouse. Dia seorang yang berjalan sendiri dan sering sulit diajak kompromi. Kini dia bukan hanya sutradara film, tetapi juga pemilik hak cipta barang-barang industri di desanya. Di tokonya, Spike's Joint, semua dagangan yang memakai namanya dia periksa sendiri: T-shirt yang memuat fotonya, jaket kulit Malcolm, video, kaset, kartu pos, lunch boxes, dan patung kecilnya yang terbuat dari lempung. ''Sekadar mempromosikan barang dagangan orang kulit hitam,'' ujarnya. Oktober lalu dia baru membuka Spike's Joint West di Melrose Avenue, Los Angeles, cabang baru dari emporium busananya. Seorang wartawan menanyakan mengapa dia membuka toko di kawasan kulit putih dan bukan di kawasan yang banyak penghuni kulit berwarna. Jawab Lee kontan: ''Mesti deh, kalau orang kulit hitam berbuat sesuatu, selalu dianggap ada apa-apanya.'' Ada satu lagi usahanya, yaitu pusat perfilman Spike Lee. Ini, ''Benar-benar bisnis. Bukan untuk menampung orang-orang pengangguran berkulit hitam, lo,'' ujarnya kepada majalah Film Comment. Nama pusat perfilman itu 40 Acres and A Mule. Dan itu ada artinya: ''Hadiah untuk orang kulit hitam setelah perang Utara-Selatan. Setiap Negro yang sudah merdeka mendapat sebidang tanah dan seekor blasteran kuda dengan keledai. Sekadar kompensasi untuk 400 tahun kami diperbudak. Meski banyak juga yang tidak mendapat apa-apa. Ha, ha, ha ....'' Spike Lee orang yang sukses dengan memanfaatkan masalah ras di Amerika. Mungkin ia seorang racecapitalist. TK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus