''Pada usiaku yang ke-39, aku berada di kota suci Mekah. Saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupku, aku berdiri di hadapan Ciptaan Yang Mahakuasa dan merasa menjadi manusia yang utuh.'' (The Autobiography of Malcolm X, seperti dituturkan kepada Alex Haley) INILAH kisah seorang manusia yang bangkit dari limbah dunia kriminalitas, dan menjadi pemimpin revolusi hitam di Amerika Serikat. Kalender menunjuk 19 Mei 1924 ketika di Omaha, Nebraska, seorang bayi kulit hitam lahir dan diberi nama Malcolm Little. Kelak, bayi itu begitu terkenal dengan nama Malcolm X, dan setiap kulit hitam muslim di AS tahu siapa dia. ''X'', nama itu diberikan oleh orang yang membuatnya menjadi muslim. ''X'' suatu cara untuk mengidentifikasikan dirinya dengan budak-budak hitam Afrika yang diangkut ke Amerika. Dulu, pada abad ke-19, bahkan nama orang-orang hitam itu tak diacuhkan oleh pedagang- pedagang budak, dan karena itu mereka hanya disebut sebagai ''X''. Malcolm Little, seperti kebanyakan kaum kulit hitam pada awal tahun 1900-an di Amerika Serikat, berkubang dalam kemelaratan, dan menghirup udara perbedaan perlakuan ras. Ayah Malcolm, Earl Little, adalah pendeta Gereja Baptis. Dia aktif dalam organisasi UNIA (Asosiasi Perbaikan Kaum Negro Sedunia). UNIA mengibarkan panji-panji kaum kulit hitam asli, dan menganjurkan kembali ke Afrika, tanah nenek moyang mereka. Ibu Malcolm, Louise, adalah anak hasil pemerkosaan laki-laki kulit putih yang tidak pernah diketahui namanya. Karena itu Louise berkulit putih, rambut lurus hitam, tetapi kalau bicara beraksen Negro. Malcolm Little adalah satu-satunya dari delapan bersaudara yang berkulit tidak gelap dan berambut merah. Begitu tumbuh dewasa, Malcolm seperti ayahnya: tinggi, besar, dan gagah. Kehidupan keluarga pendeta Little bukan saja jauh dari kecukupan, tetapi juga banyak mengalami ancaman. Pada suatu malam, ketika Louise Little mengandung Malcolm, anaknya yang ketujuh, rumahnya diberondong tembakan oleh gerombolan KKK (Ku Klux Klan), organisasi antiras hitam. Setelah mengetahui bahwa pendeta Little tidak di rumah dan mereka hanya berhadapan dengan wanita yang tengah hamil besar, gerombolan KKK itu tak melanjutkan terornya. Peristiwa rasial yang tetap melekat di sanubari Malcolm terjadi tahun 1929. ''Saya masih ingat, ketika ibu saya baru melahirkan adik saya, Yvonne. Rumah kami dibakar oleh kelompok Black Legion,'' tutur Malcolm X, seperti yang ditulis oleh Alex Haley. ''Saya takut dan bingung mendengar suara tembakan dan melihat api yang membakar rumah kami.'' Ayahnya malam itu sempat menembak dua orang penunggang kuda yang mengenakan jubah hitam. Itulah jubah seragam Black Legion, organisasi lokal anti-Negro. Teror Black Legion malam itu tampaknya peringatan untuk Pendeta Little agar membatalkan rencananya membuka warung di East Lansing, daerah Black Legion. Membuka usaha sendiri adalah salah satu usaha UNIA untuk mengajar kaum Negro mandiri. Tetapi itulah, usaha yang pada zaman sekarang terdengar sangat wajar dan tak bakal menimbulkan apa pun itu, pada zaman itu bila dilakukan oleh kulit hitam taruhannya nyawa. Jangankan buka usaha, di kawasan itu ada peraturan bahwa kulit berwarna dilarang keluar rumah pada malam hari. ''Karena itu, rumah kami dibakar. Tak ada sebuah barang pun yang kami selamatkan, kecuali lari keluar rumah ketika api menyambar-nyambar. Kami terpaksa pindah ke luar Kota East Lansing.'' Pada suatu malam, Malcolm terbangun dari tidurnya. Dia mendengar ibunya menangis dan menjerit. Di ruang tamu, tampak olehnya dua orang polisi. Mereka mengabarkan bahwa Earl Little meninggal ditabrak mobil. ''Kabarnya, tubuh ayah hampir terbelah dua dan tengkorak kepalanya hancur.'' Bisik-bisik di Lansing mengatakan, Black Legion yang membunuh Earl Little. Usia Malcolm waktu itu baru enam tahun. Depresi tahun 1934 semakin membebani kebanyakan rumah tangga kulit berwarna. Kemelaratan semakin menyelimuti kehidupan Louise Little dan kedelapan anaknya. ''Ibu harus berdebat dulu untuk bisa berutang di toko makanan.'' Tak jarang, makanan yang mereka dapat berstempel ''cuma-cuma,'' atau bertuliskan ''tidak untuk dijual''. ''Kami semakin kehilangan harga diri. Saya pun semakin sering keluyuran mencari sesuatu yang bisa dimakan. Misalnya, pada saat jam makan saya tetap nongkrong di rumah keluarga pengunjung gereja, bekas jemaah ayah, dengan harapan mendapat tawaran makan. Juga saya mulai mencuri kecil-kecilan.'' Kemudian datanglah orang-orang dari gereja Advent ke rumah Louise Little. Hari Minggu kami pun pergi ke gereja Advent. ''Kami senang karena setelah upacara kebaktian selesai, kami mendapat makanan yang enak-enak.'' Keluarga Little kemudian berganti sekte dari Baptis menjadi Advent, dan mengharamkan daging kelinci dan babi. Pernah seorang pria bujangan berkunjung ke rumah Louise. ''Ibu saya, 36 tahun waktu itu, adalah janda cantik. Kami berharap kalau ibu menikah dengan tamu itu, kehidupan kami akan berubah. Tak akan ada lagi orang-orang dinas sosial mendatangi rumah kami. Tak ada lagi makanan dengan cap gratis yang kami dapat. Ibu pun tampak ceria. Dia bersolek kembali. Ibu menasihati kami agar bersikap sopan, kalau laki-laki itu datang. Tapi tiba-tiba lelaki itu tak muncul lagi.'' Kabarnya, dia tak sanggup menikahi janda Louise Little dengan delapn mulut yang masih harus diberi makan. ''Setelah itu, Ibu mengalami stres berat.'' Louise Little kemudian dirawat di RS Jiwa di Kalamazoo, satu setengah jam dengan bus umum dari Lansing. ''Kami semua kemudian jadi anak negara. Seorang kulit putih yang mengatur hidup kami semua. Saya rasa ini semacam institusi perbudakan modern. Kemudian kami harus hidup terpisah-pisah. Runtuhlah keluarga kami.'' Louise Little 26 tahun dirawat di rumah sakit jiwa. ''Kunjungan saya yang terakhir tahun 1952. Tapi dia sudah tidak mengenali saya lagi. Ketika saya bertanya hari ini hari apa, dia menjawab lirih: ''Semua orang telah pergi.'' Saya tak habis pikir mengapa Ibu, yang mengasuh dan membesarkan kami, di hari tuanya begitu tragis.'' Tahun 1937, petinju Joe Louis menjadi juara kelas berat dunia setelah berhasil meng-KO J. Braddock, petinju kulit putih. Ini berita besar bahwa kulit hitam bisa menghantam jatuh kulit putih. Malcolm dan seorang kakaknya kemudian coba-coba menjadi petinju. Gagal. Sementara itu, Malcolm tetap sekolah. Ia berhasil mencapai kelas 8, setingkat kelas III SMP. Pada suatu hari, guru bahasa Inggris dan juga pembimbingnya, Ostrowski, mengatakan pada Malcolm bahwa ia sudah harus memikirkan masa depannya. ''Ya, saya ingin menjadi pengacara,'' jawab Malcolm tegas. Seingat dia, tak seorang Negro pun di Lansing yang menjadi pengacara atau dokter waktu itu. Ostrowski, guru kulit putih yang baik itu, menasihati: ''Kamu harus realistis dalam cita-citamu. Semua orang mengagumi hasil prakaryamu. Mengapa tidak jadi tukang kayu saja?'' Malcolm tidak berhasil meneruskan ke SMA. Dia pun kemudian menulis surat kepada kakaknya, Ella, yang waktu itu tinggal di Boston. Cerita Malcolm kemudian: ''Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya pindah ke Boston. Kalau saja saya menetap di Lansing, mungkin saya menikah dan bekerja sebagai pelayan di Lansing Country Club, atau menjadi tukang semir sepatu.'' Boston mengubah cara hidup Malcolm. Dalam eksplorasinya tentang kota Boston, banyak hal yang menarik yang ditemuinya. Misalnya patung Crispus Attucks, seorang Negro yang pertama kali terbunuh dalam ''Pembantaian di Boston.'' Malcolm Little tak sulit mendapatkan teman. Ketika dia keluyuran di salon biliar, seseorang menegurnya: ''Hi, Red.'' Itulah nama panggilannya, karena Malcolm Little berambut merah. Yang menegur bernama Shorty, karena dia pendek, yang ternyata pernah tinggal di Lansing. Keduanya kemudian menjadi sahabat. Shorty menolong mencarikan pekerjaan. Tidak sukar, karena kebetulan ada lowongan sebagai shoe-shine boy alias tukang semir sepatu di Roseland State Ballroom, tempat dansa hanya untuk kulit putih. Di situlah Malcolm Little bisa menonton Benny Goodman Band, Duke Ellington, Lionel Hampton, penyanyi Peggy Lee, dan lain-lainnya. Di situ pulalah, Malcolm Little berkenalan dengan alkohol, rokok, perempuan, pelacur, obat bius, dan bagaimana mencuri. Gaya dan cara berpakaiannya berubah. Dia petentang-petenteng dengan zootsuited, celana dan jas panjang dengan warna mencolok dengan rantai emas panjang dari saku ke kancing jas, topi bertepi lebar, dan ada pistol di balik jasnya. Dunia gang dan kriminal mulai dirambahnya. Polisi, setelah mendapat banyak laporan beberapa rumah yang kemalingan, akhirnya berhasil membekuk ''operasi empat sekawan.'' Red, Shorty, dan kedua cewek mereka yang berkulit putih ditangkap. Penjara kemudian menjadi rumah mereka. Masing-masing mendapat ganjaran 10 tahun, sedangkan yang cewek masing-masing harus mendekam 5 tahun. Penjara Charlestown dibuat pada zaman Napoleon, tahun 1805. Selnya kotor, kecil, dan panjangnya cuma pas untuk sebuh dipan. ''Kalau kedua tangan direntangkan, kedua sisi temboknya bisa saya sentuh. Baunya? Huuh, tak seorang pun bisa tahan.'' Kakusnya adalah sebuah ember yang bertutup. ''Orang-orang di penjara memanggil saya 'Si Setan' karena saya tak mempunyai agama.'' Kakaknya, Hilda kemudian menulis surat agar Malcolm mengambil kursus tertulis bahasa Inggris dan korespondensi di penjara. Nasihatnya diturutinya. Bahkan dia memperkaya pengetahuan kata-kata dari kamus. Dibuatnya sendiri catatan ratusan kata yang penting. Tahun 1948, Malcolm Little dipindahkan ke penjara Concord. Di situ dia menerima surat dari kakaknya Philbert yang telah masuk National of Islam. Reginald, saudaranya yang lain, berkirim surat: ''Malcolm, kau jangan lagi makan babi, jangan merokok. Aku tunjukkan nanti bagaimana caranya kamu keluar dari penjara.'' Philbert menulis surat lagi, menyatakan bahwa saudara-saudaranya di Boston dan Detroit telah masuk Islam karena, ''Islamlah agama alami orang-orang kulit berwarna.'' Kakaknya yang di Boston, Ella, berupaya tanpa putus asa agar Malcolm bisa dipindahkan ke penjara Colony di Norfolk, Massachusetts, agar saudara-saudaranya bisa menjenguknya. Usaha Ella tak sia-sia akhir tahun 1948 Macolm dipindahkan ke Norfolk. Di penjara ini, Reginald khusus mengunjunginya. ''Tuhan atau Allah adalah Yang Maha Tahu,'' ujar Reginald. ''Pengetahuan-Nya 360 derajat. Tetapi setan juga mempunyai pengetahuan dalam jumlah yang sama. Dari situ, setan akan mencoba memerintah kita,'' ujar Reginald lagi. ''Ada seseorang yang patut engkau hormati, karena beliau adalah suruhan Tuhan di bumi ini. Namanya Yang Mulia Elijah Muhammad. Dia mengajarkan kami agar tidak makan babi, tidak merokok, menjauhi narkotik dan minuman keras.'' Sepeninggal Reginald, Malcolm berpikir dan berpikir. Dia mencoba mempelajari Islam lebih dalam. Pelajaran pertama yang dicamkannya ialah: bila kita mendekati Allah satu langkah, Allah akan mendekati kita dua langkah. Di Norfolk itulah, Malcolm semakin haus akan bacaan. Kebetulan kondisi penjaranya jauh lebih baik daripada penjara-penjara yang pernah dihuninya. Perpustakaannya juga lengkap. Buku sejarah, agama, politik, buku tentang perbudakan, bahkan mitologi Yunani, ditekuninya. Dia bergabung dengan klub berdebat. Sekolah pun ada di Colony. Guru-gurunya tamatan universitas Boston atau Harvard. Di penjara Colony itulah, akhirnya Macolm Little mantap hatinya untuk memeluk agama Islam. Dia berkorespondensi dengan Elijah Muhammad. Surat-suratnya selalu dijawab. ''Satu hal yang sulit saya lakukan ialah posisi salat ketika saya harus menekuk dengkul,'' tulis Malcolm. Elijah Muhammad menjawab: ''Cobalah, sekali lagi cobalah merendahkan dirimu di hadapan-Nya. Jangan lupa kiblat timur.'' Pada suatu hari, seorang mahasiswa (kulit putih) dari Seminari Harvard datang di penjara Colony untuk memberikan pelajaran rohani. ''Saya tidak jelas, siapa yang lebih menekuni kitab suci, dia atau saya.'' Mahasiswa itu berbicara tentang Rasul Paulus. Dalam acara tanya-jawab, Malcolm bertanya, ''Apa warna kulit Paulus? ... Seharusnya dia berkulit hitam karena dia orang Yahudi, bukan?'' Si mahasiswa seminari tampak sedikit terkejut dan menganggukkan kepala. ''Lantas, apa warna kulit Yesus? Dia orang Yahudi juga, bukan?'' Dengan muka merah, mahasiswa seminari itu menjawab, ''Yesus kulitnya .... cokelat.'' Musim semi tahun 1952 masa hukuman Macolm Little selesai. Dia merencanakan memulai hidup bebasnya di Detroit, dan tinggal di rumah kakaknya, Wilfred. Keluarga pengikut Islam yang saleh. ''Saya belajar dari mereka bagaimana tubuh kita harus bersih betul sebelum salat. Gigi, kuping, dan seluruh tubuh dan pikiran harus betul-betul bersih untuk menghadap pada-Nya.'' Seminggu tiga kali mereka pergi ke Detroit Temple Number One, sebuah mesjid kecil yang didirikan tahun 1931. Pada bulan September 1952, bersama Wilfred dan keluarganya, Malcolm pergi ke Chicago untuk mengikuti pengajian yang dipimpin sendiri oleh Elijah Muhammad. ''Saat yang sangat saya nanti-nantikan.'' Dan Malcolm sempat berbincang-bincang dengan Elijah. ''Bagaimana caranya agar kita mempunyai pengikut yang lebih banyak?'' tanya Malcolm. ''Rangkullah orang-orang muda. Yang tua-tua nanti akan ikut juga,'' jawab Elijah Muhammad. Tahun berikutnya, Malcolm resmi diterima sebagai anggota. Ketika itulah namanya diubah oleh Elijah dari Malcolm Little menjadi Malcolm X. ''X'' berarti benar-benar berasal dari Afrika. Karena perbudakan, tak seorang budak kulit hitam waktu itu tahu nama aslinya. ''Nama Little adalah simbol setan yang bermata biru dan berkulit putih,'' demikian Elijah Muhammad. ''Kau akan mempunyai namamu nanti, kalau Allah menghendakinya.'' Malcolm X kemudian diangkat menjadi pembantu dai di Temple Number One, Detroit. ''Tahukah Saudara, mengapa si kulit putih membenci saudara?'' demikian kata Malcolm X dalam salah satu khotbahnya. ''Karena begitu memandang kita, tercermin perbuatan kriminal mereka terhadap kita.'' Kemudian Malcolm X berhenti bekerja di Ford Motor Company untuk secara penuh mendedikasikan dirinya menjadi pendakwah. ''Kami sebagai dai sangat diperlukan oleh Mr. Muhammad untuk menyebarkan ajaran-ajarannya.'' Dari Detroit, Malcolm X pindah ke Philadelphia. Ia berhasil membina kota-kota tersebut dengan sukses. ''Ajaran Mr. Muhammad betul-betul telah membangkitkan semangat kulit berwarna.'' Kemudian, tahun 1954, Malcolm X menduduki wilayah penting, Temple Seven di New York City. Kota metropolitan ini dibagi dalam lima wilayah dan diperkirakan ada sejuta orang kulit berwarna di sana. Malcolm X menemukan cara bagaimana ''menangkap ikan-ikan'' pemeluk agama Kristen. Yaitu berkhotbah persis di pintu keluar gereja di Harlem pada saat jemaat gereja bubaran. Inilah salah satu khotbahnya di depan gereja: ''Saudara-saudaraku! Orang kulit putih telah mengindoktrinasi kita untuk memuja Yesus yang bermata biru, berambut pirang, dan berkulit putih. Rupa dan kulit Yesus saja berbeda dengan kita. Mungkin Anda tidak pernah memikirkan agama apa yang cocok untuk kita. Ada satu agama yang paling cocok untuk kita. Namanya Islam. Saya eja, I-s-l-a-m. Islam. Orang kulit putih mengajarkan kepada kita bahwa kerajaan Allah akan kita dapat setelah kita mati. Surga akan kita dapat setelah kita mati. Tetapi nyatanya, mereka hidup di surga selagi masih di dunia ini. Lihat saja rumah di sekitar Central Park. Bukankah jauh beda dengan rumah kita di Harlem? Mengapa kita harus mendapat surga setelah kita mati?'' Malcolm di Temple Seven sukses. Belum ada satu tahun, telah tumbuh tiga mesjid di Manhattan, Brooklyn, dan Queens. Pengikut ajaran Elijah Muhammad bertambah selalu. Malcolm X mendapat peran yang makin penting. Dia juga sering diberi tugas berkeliling. Tahun 1955 dia harus membina Number Fifteen di Atlanta, Georgia. Di tiap wilayah diciptakannya latihan FOI (Fruits of Islam), khusus untuk laki-laki, dan diajarkan, misalnya, bagaimana tugas laki-laki terhadap istri. Juga ada MGT (Muslim Girls Training) dan GCC (General Civilization Class) khusus untuk wanita dan gadis-gadis, yang isinya petunjuk bagaimana menjadi wanita, ibu, dan istri yang baik. Seluruh jiwa dan waktunya dicurahkan sepenuhnya untuk membina Nation of Islam. Dan itu dimungkinkan karena dia masih bujangan. Pria yang dulu sering main-main perempuan itu kini tidak lagi berpikir tentang perempuan. Sampai pada suatu hari, tahun 1956, Malcolm X bertemu dengan Sister Betty X. Dari bertukar sapa ''Fine, Brother Minister,'' dan ''Thank you, Sister,'' tanpa kencan dan roman-romanan Malcolm X melamar Betty X. Lamarannya dengan spontan diterima. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai empat gadis cilik. Nama Malcolm X semakin tenar. Elijah Muhammad pernah berucap tentang Malcolm X: ''Dia satu-satunya dai yang paling setia dan kerja paling keras. Dia akan mengikuti jejak saya sampai akhir hayatnya.'' Tak diragukan lagi, Malcolm X memang memuja dan berbakti kepada Elijah. Ia pernah mendapat nasihat dari gurunya itu: ''Ingat, dalam ketenaran tertanam juga bibit iri dan dengki.'' Tak jelas ke mana arah nasihat itu. Yang pasti, banyak jemaah Elijah yang menganggap Malcolm bisa mengalahkan Elijah Muhammad. Media massa selalu mewawancarai Malcolm. Ketenaran Malcolm X bukan hanya di seputar temple-temple yang atas saran utusan dari Mesir diganti namanya menjadi mesjid Amerika Serikat. Malcolm pun sering menyebarkan ajaran Elijah Muhammad ke Eropa, dan dia diundang ke Al Azhar di Kairo. Sampai pada suatu hari ada yang membisikkan bahwa ketenarannya hanyalah untuk dirinya sendiri, bahwa ia memakai uang semaunya, dan sebagainya. Malcolm X marah sekali. ''Saya begitu mencintai Nation, saya baktikan seluruh jiwa saya untuk Nation ....'' Untuk membuktikan kesetiaannya, semua perjanjian wawancara yang telah dibuatnya dengan The New York Times, majalah Newsweek, dan beberapa studio televisi, dia batalkan. Pada hari yang sama, kantor berita UPI di Los Angeles memberitakan soal dua wanita, Miss Rosary dan Miss William, berusia sekitar 20-an tahun, menuntut Elijah Muhammad, 67 tahun, untuk secara resmi membiayai empat orang anak hasil hubungan gelap mereka. Kedua wanita itu adalah bekas sekretaris Elijah. Mereka berhubungan intim sejak tahun 1957. Salah satu wanita bahkan tengah mengandung anak Elijah Muhammad yang ketiga .... Tak bisa dibayangkan bagaimana Malcolm marah dan kecewa. Tokoh yang begitu dipundi-pundinya, tokoh yang begitu dia agungkan namanya, melakukan zina dengan sekretarisnya. Malcolm X kemudian datang menemui Elijah Muhammad untuk menanyakan benar- tidaknya berita tersebut. April 1963, Malcolm X terbang ke Phoenix di Arizona, tempat Elijah bermukim. Daerah ini lebih kering, cocok untuk kesehatan Elijah Muhammad. Apa jawab Elijah Muhammad? ''Anakku, kamu telah mendalami hal-hal spiritual dan kerasulan. Kau tahu bagaimana Daud mengambil istri orang. Sayalah Daud. Kau baca tentang Nabi Nuh yang mabuk. Akulah Nuh itu. Kau baca tentang Lot dan anaknya sendiri. Akulah Lot. Akulah campuran dari semua itu ...'' Ada lagi batu besar menghadang kerja Malcolm X sebagai dai selama 12 tahun. Tanggal 22 November 1963, Presiden Kennedy dibunuh di Dallas, Texas. Media massa mencari pendapat dari pihak kulit berwarna tentang hal ini. Malcolm X, sehabis memberikan ceramah yang berjudul ''Keputusan Tuhan untuk Kelompok Kulit Putih di Amerika'', didesak wartawan agar memberikan pendapatnya. Keesokannya, di headline koran tertulis: Black Muslims' Malcolm X: Chickens Come Home to Roost. Padahal, maksud Malcolm X bukan men-chicken-kan Kennedy. Tapi itulah akibat kebencian terpendam kelompok kulit putih terhadap kulit berwarna, hingga sampai hati mengubah ungkapan yang diucapkan Malcolm sedemikian rupa untuk membangkitkan kebencian antar-ras. Komentar Malcolm X tentang Kennedy ini menurut Elijah Muhammad merusakkan citra dan hubungan antara kulit hitam dan putih yang sedang diusahakan sebaik mungkin. Apalagi sebelumnya ada perintah Elijah Muhammad kepada semua dainya, kalau ada media yang bertanya, cukup dijawab dengan dua kata saja: no comment! Malcolm X kemudian menyatakan keluar dari Nation of Islam, karena Elijah Muhammad telah menghukumnya dengan melarangnya ''membuka mulut selama sembilan bulan''. Malcolm kemudian menunaikan rukun Islam kelima. Ia naik haji ke Mekah atas biaya saudaranya, Ella. Malcolm juga pergi ke Mesir dan beberapa negara Afrika. Kunjungannya ke Mekah itulah yang mengubah sikapnya yang selalu keras menjadi lebih bertoleransi. Komentarnya tentang Mekah: ''Persaudaraan! Orang semua bangsa, berbagai ras, semuanya berdatangan dan menyatukan diri sebagai satu saudara untuk menyembah Allah yang Tunggal. Betapa besarnya kekuasaan Allah atas umat-Nya!'' Sebuah surat Malcolm kepada seorang teman berbunyi: ''Di Mekah aku baru paham arti kebenaran. Kebenaran ada di semua golongan, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dan bahkan ateis! Saya punya teman yang disebut sebagai kapitalis, sosialis, dan komunis. Sebagian dari teman-temanku orang moderat, konservatif, ekstremis. Bahkan ada yang bernasib sebagai Paman Tom (tokoh kulit hitam dalam novel Uncle Tom's Cabin yang menderita dan bernasib tragis). Teman-temanku kini berkulit hitam, cokelat, merah, kuning, dan putih.'' Sekembalinya dari Mekah, Malcolm X yang telah keluar dari Nation of Islam berubah total. Dalam khotbahnya, dia tidak lagi menyerukan kekerasan, melainkan lebih menganjurkan perlunya membela diri. Dia kemudian mendirikan Black Nationalists. Pers kemudian mencapnya sebagai the angriest Negro in America, atau ''guru penggerak kerusuhan''. ''Iri dan dengki akan tumbuh dalam ketenaran,'' demikian Elijah Muhammad pernah berkata kepada Malcolm X. Kali ini Malcolm buan cuma paham makna kata-kata itu, tapi juga mengalaminya sendiri. Banyak pengikut Elijah Muhammad tidak menyenangi Malcolm X. Karena kritik Malcolm X yang terus terang tentang Elijah Muhammad yang mempunyai anak-anak di luar perkawinan, banyak pengikut Nation yang keluar. Banyaknya anggota Nation yang keluar berakibat keuangan organisasi ini terancam. Akibatnya, Malcolm X diteror. Sehingga, ke mana saja dia pergi, paling tidak diperlukan perlindungan polisi. Ketegangan semakin memuncak ketika rumah Malcolm dibakar. Untung, keluarga Malcolm selamat. Tapi ada hal yang membuat Malcolm sangat sedih: ada yang menuduh dialah yang membakar rumahnya sendiri. Teror tak berhenti setelah rumahnya dibakar. Malah teror itu semakin keras: Malcolm diancam akan dihabisi. Maka, Malcolm X harus berpindah-pindah tempat tinggal karena ke mana saja dia pergi selalu dibayangi orang-orang yang mencurigakan. Tak sulit ditebak siapa mereka. Kelompok Black Moslem dan orang-orangnya Elijah Muhammad mengincarnya terus. Tapi Malcolm tak putus asa dan terus saja memberikan ceramah di depan umum. Dan sampailah pada hari yang nahas itu. Ahad, 21 Februari 1965, pukul 3 sore. Hari itu sudah direncanakan akan ada ceramah yang diberikan oleh dua orang, Malcolm X dan Pendeta Milton Galamison dari Gereja Presbyterian di Brooklyn. Pendeta ini telah memimpin aksi boikot di New York City karena banyak sekolah yang tidak menjalankan perimbangan rasial dalam menerima murid. Anak-anak kulit hitam dinomorduakan. Kedua tokoh agama itu akan berbicara di Audubon Ballroom, gedung bertingkat dua yang bisa diubah menjadi tempat dansa sampai tempat konperensi. Letaknya antara Broadway dan St. Nicholas Avenue di Kota New York. Sayang, pendeta Galamison berhalangan. Meski begitu, Malcolm X tak mau mengurungkan ceramahnya. Meski jiwanya terancam, Malcolm X melarang pemeriksaan sekuriti pada pengunjung ceramahnya. ''Nanti orang tersinggung. Kalau saya tak aman di antara bangsaku sendiri, lantas di mana saya harus berada?'' demikian katanya. Setelah pidato pendahuluan, majulah Malcolm X untuk berbicara: ''Assalammualaikum, Brothers and Sisters ....'' Hadirin menjawab: ''Walaikumsalaaam ....'' Ada ribut-ribut sedikit, dan sebelum Malcolm X memulai ceramahnya, tiga orang di deretan depan memberondongkan pelurunya. Stanley Scott, reporter UPI, melaporkan: ''Tembakan bertubi-tubi. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian mencari perlindungan.'' Hugh Simpson dari radio WMCA mengutarakan: ''Ketika tembakan berbunyi, saya melihat Malcolm terkena dan ia mengangkat tangannya ke atas. Akhirnya dia roboh. Suara jeritan memenuhi ruangan. Orang di samping saya memuntahkan pelurunya ke mana saja, bagaikan adegan dalam film koboi, sambil lari menuju pintu keluar ...'' Beberapa peluru kaliber 45 membuat dada Malcolm terkoyak. Sebuah peluru menghancurkan pipinya. Malcolm X dibunuh oleh bangsanya sendiri. Padahal, dalam ceramah sore itu dia akan menyerukan persatuan dan janganlah hitam membunuh hitam. Pada upacara pemakamannya, sekitar 2.000 pelayat mengantarkan jenazahnya di pemakaman di Harlem. Pada nisannya tertulis: ''El-Hajj Malik El-Shabazz. May 19, 1924 - Feb. 21, 1965.'' Beberapa hari kemudian, Elijah Muhammad memberi komentar tentang kematian Malcolm X di bandara O'Hare, Chicago: ''Malcolm meninggal karena khotbah-khotbahnya. Tampaknya dia mengangkat senjata seperti Tuhannya. Kami tak bisa membiarkan demikian. Dia berkhotbah perang, kami berkhotbah damai. Kami akan melawan kalau diserang, tapi kami bukan agresor ...'' Iri dan dengki rupanya memang tumbuh di luaran, ketika ketenaran Malcolm mengalahkan kepopuleran Elijah. Seminggu kemudian, koran-koran menulis: ''Malcolm meninggalkan keluarga tanpa jaminan materi. Tak ada asuransi ....'' Istrinya, Betty Shabazz, kala suaminya ditembak, tengah mengandung anaknya yang kelima.'' Betty kini bekerja sebagai administrator di Medgar Evers College di Brooklyn. Toeti Kakiailatu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini