Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Si Pembobol

Kelompok bisnis Raja Garuda Mas diduga memanipulasi pajak. Hal itu diungkap oleh seorang pembobol Asian Agri Group. Khawatir nasibnya terancam, si pembobol lari ke Singapura sebelum melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0947.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pesan pendek diterima Vincentius Amin Sutanto, 2 Desember lalu. Eksekutif top Asian Agri Group—kelompok usaha Raja Garuda Mas—ini kebetulan baru menyalakan telepon selulernya, yang selalu ia matikan selama pelariannya ke Singapura.

Semula ia berharap pesan itu datang dari istrinya di Medan. Sudah dua pekan Vincent berpisah dengannya setelah upayanya membobol uang perusahaan senilai US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) terbongkar. Ternyata, dugaannya meleset.

Melihat nomornya: +65-9815-xxxx, pastilah ini dari seseorang di Singapura. ”Saya ingin membantu. Anda tidak bisa melarikan diri terus-menerus dengan membiarkan keluarga menderita dan menanggung semua perbuatan Anda. Jadi, tolong hubungi saya,” begitu isi pesan dalam bahasa Inggris itu.

Meski terdengar cukup simpatik, Vincent tak langsung percaya. Apalagi, setelah dicek, tak ada nomor itu di catatan miliknya. Karena itulah, ia memutuskan untuk menelepon balik dari telepon umum.

Kecurigaannya ternyata benar. Ketika telepon tersambung, dari ujung sana terdengar suara lelaki yang mengaku bernama Mr. Goh. Dia memperkenalkan diri sebagai petugas dari agen keamanan yang disewa Sukanto Tanoto untuk mencari dan menangkapnya. Sukanto tak lain adalah bos Raja Garuda Mas Group.

Goh memperingatkan Vincent tak bakal bisa lolos, karena polisi Singapura maupun Asian Agri sedang memburunya. ”Singapura itu kecil. Dalam waktu singkat Anda pasti tertangkap,” kata Mr. Goh, seperti dituturkan Vincent. Panik menerima ancaman itu, Vincent pun langsung menutup telepon dan bergegas kembali ke hotel.

l l l

CERITA itu hanya sekelumit dari kisah panjang pelarian dan perburuan Vincent di Singapura. Semuanya berawal dari aksi lelaki 43 tahun ini ketika membobol Asian Agri Group senilai US$ 3,1 juta, yang juga melibatkan Hendri Susilo, temannya semasa SMP, dan Ferry Sutanto, adiknya, pada pertengahan November lalu.

Kisah ini bikin geger karena terjadi di Asian Agri Group, yang notabene merupakan kapal induk bisnis terbesar kedua di RGM milik Sukanto. Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, cokelat, dan karet ini memiliki lahan 150 ribu hektare, yang menjadikannya salah satu yang terbesar di dunia.

Berkat tambang emasnya ini, Sukanto pun tahun lalu dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Nilai kekayaannya ditaksir mencapai US$ 2,8 miliar atau sekitar Rp 25,5 triliun.

Aksi pembobolan itu dilakukan Vincent dengan cara mengirimkan surat perintah trasfer fiktif ke Bank Fortis (Singapura), yang meminta pentransferan dana US$ 3,1 juta dari rekening Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd. (British Virgin Islands) ke Bank Panin, Jakarta.

Dalam surat itu, Vincent memalsukan tanda tangan dua pemegang otoritas keuangan Asian Agri di Singapura, Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa. Adapun penadah uang panas itu adalah PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama, perusahaan fiktif yang didirikan Hendri sejak 2004 (baca Dua Natal Sang Akuntan).

Aksi itu bisa dilakukan Vincent dengan mudah berkat posisinya yang lumayan tinggi di Asian Agri Group. Jabatan terakhirnya adalah group financial controller, dengan kewenangan sangat luas, mencakup kontrol dan pengelolaan keuangan, akunting, perpajakan, hingga urusan legal.

Dengan sederet jabatan itu, banyak ”kunci penting” internal perusahaan berada di tangannya, termasuk berbagai upaya Asian Agri menghindar dari kewajibannya membayar pajak yang tinggi.

Saat kabur ke Singapura, Vincent pun membawa lari data internal perusahaan tersebut. Dia menjadikannya alat negosiasi. Lewat sejumlah tangan kanan Sukanto di Asian Agri, ia sempat ”mohon ampun” atas aksi pembobolan itu.

Menurut Tjandra Putra, Kepala Divisi Legal RGM, Vincent bahkan mengancam akan membeberkan dokumen perusahaan jika permintaannya tak dikabulkan. Saat berkunjung ke kantor Tempo, 5 Januari lalu, manajemen Asian Agri pun menunjukkan bukti surat elektronik dari Vincent yang berjudul: ”Do Not Push Me Too Far”.

Yang juga menarik, di surel itu Vincent menyatakan kekecewaannya atas perlakuan perusahaan yang meminta Ismiarti, istrinya, memblokir rekeningnya di bank. Ketika ditanyakan hal ini, Hadi Susanto, Manajer Legal Asian Agri, buru-buru membantahnya.

Perusahaan, kata dia, cuma sebatas menyarankan pemblokiran, karena semula diduga Vincent diculik sindikat yang bisa saja menguras tabungannya di bank. ”Pemblokiran pun dilakukan oleh istri Pak Vincent sendiri,” katanya.

Tapi, cerita lain dituturkan sumber Tempo. Menurut dia, setelah kasus ini terungkap, perusahaan memang melakukan gerak cepat untuk melacak dan meredam ”aksi nekat” Vincent. Selain meminta pemblokiran rekening, perusahaan pun menggeledah rumah Vincent serta sempat menyita dokumen dan komputer milik Vincent, yang kebetulan bermukim di kompleks perumahan milik Asian Agri di Medan.

Para petinggi Asian Agri pantas kalang-kabut karena data-data internal yang dibawa Vincent tak main-main. Mulai dari catatan transaksi harian dan keuangan perusahaan, bukti slip setoran bank, hingga aliran dana ke brankas Sukanto Tanoto. Ada juga dokumen perencanaan pembayaran pajak perusahaan.

Yang mencengangkan, benang merah dari ratusan dokumen otentik itu adalah adanya sejumlah indikasi telah terjadi upaya bertahun-tahun dari kelompok usaha Sukanto Tanoto ini untuk memanipulasi pembayaran pajak ke negara.

Jumlahnya tak kecil. Jika ditotal sejak 2002 saja, konon, jumlah pajak yang tak dibayarkan mencapai sekitar Rp 1,1 triliun. Angka ini didapat dari perhitungan jumlah pajak penghasilan (PPh) badan Asian Agri Group sebesar 30 persen dari profit perusahaan yang sengaja ditransfer ke luar negeri (sekitar Rp 3,6 triliun).

”Bapak Vincent telah mengadukan dugaan manipulasi pajak dan korupsi ini kepada KPK,” kata Mikael Marut, kuasa hukum Vincent. Ia juga menegaskan, ”Karena ini demi kepentingan negara, Pak Vincent meminta adanya perlindungan hukum.” Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., membenarkan lembaganya telah menerima laporan itu. ”Tim kami masih menyelidikinya,” ujarnya.

Secara garis besar, kata sumber Tempo, ada manipulasi pajak dilakukan lewat transfer profit ke perusahaan afiliasi Asian Agri di luar negeri, seperti Hong Kong, British Virgin Islands, Makao, dan Mauritius. Ada tiga pola yang digunakan: pembuatan biaya fiktif, transaksi hedging fiktif, dan transfer pricing.Tujuannya tak lain untuk mengurangi keuntungan sehingga pajak yang dibayarkan berkurang.

Yang paling mencolok adalah biaya fiktif—lengkap dengan bon-bon fiktif untuk kepentingan auditor. Per tahunnya, pos biaya fiktif ini mencapai US$ 10-20 juta. Bahkan dulu pernah mencapai US$ 60-70 juta. Namun, karena pernah diperingatkan auditor bahwa cara ini terlalu kasar, dibuatlah mekanisme lain lewat transfer pricing, yaitu menjual produk ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga rendah, sebelum menjualnya kembali ke pembeli riil dengan harga pasar sesungguhnya. Dengan cara ini, perusahaan tak kena beban pajak tinggi di Indonesia.

Biaya fiktif ini di Asian Agri dikenal sebagai biaya Jakarta, sebab dirancang oleh sebuah tim di Jakarta (lihat infografik Paket Hemat Raja Sawit). Pengeluaran itu dicatatkan sebagai biaya pada belasan anak perusahaan Asian Agri di Medan. Cek pembayaran pun dikeluarkan, misalnya untuk pembuatan jalan dan pembersihan rumput.

Anehnya, uang itu justru masuk ke rekening pribadi atas nama Haryanto Wisastra dan Eddy Lukas (disingkat HAREL) di Bank Permata, yang kemudian berganti ke rekening Eddy Lukas dan Djoko Oetomo (ELDO) di Bank Bumiputera. Ketiga orang itu dikenal sebagai orang kepercayaan Sukanto Tanoto.

Mau bukti? Salah satunya pengeluaran 11 unit perusahaan Asian Agri pada 1 November 2001. Pada tanggal itu total biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 20,9 miliar. Pada hari itu juga, jumlah yang persis sama masuk ke rekening ELDO. ”Dari bukti ini, diduga kuat biaya itu memang fiktif,” kata sumber tadi.

Eddy Lukas, Direktur Asian Agri, menampik tudingan itu. Menurut dia, semua transaksi sudah diaudit, termasuk oleh kantor pajak. ”Tidak mungkin ada biaya fikfit.” Lagi pula, katanya, kasus seperti itu tak banyak.

Namun, ketika Tempo kembali menyodorkan catatan transaksi rekening HAREL di Bank Bali (kini Bank Permata) pada Desember 2002, yang memuat catatan 16 kali pemasukan pada bulan itu sebesar Rp 92 miliar, Eddy sempat tertegun. ”Kami tidak bisa mengkonfirmasi, harus dipelajari betul,” ujarnya.

Besar kemungkinan, dana itu pada akhirnya mengalir ke kantong Sukanto Tanoto. Buktinya, setelah dikonversi ke dolar, banyak setoran dari rekening HAREL ke Goalead Ltd. (Hong Kong). Keterkaitannya dengan Sukanto cukup jelas. First Island Trust Company Ltd. (milik keluarga Sukanto) pun pernah meminta agar dividen Asian Agri disetorkan ke Goalead (baca Dari Mana Rezeki Mengalir).

Dugaan penyimpangan pajak lainnya dilakukan Asian Agri lewat transfer pricing. Modusnya dilakukan dengan cara menjual minyak kelapa sawit (CPO) dengan harga murah ke perusahaan afiliasi di British Virgin Islands, Hong Kong, dan Makao. Lima perusahaan di Hong Kong itu sesungguhnya cuma paper company.

Tak ada aktivitas. Di sana hanya ada seorang penerima telepon. Dari laporan keuangan yang telah diaudit, diketahui sebelum 2004 perusahaan-perusahaan ini bahkan tidak mencatatkan pendapatan. Anehnya, di laporan keuangan Asian Agro Abadi International Ltd. yang telah diaudit kantor Ernst & Young disebutkan cukup banyak transaksi yang dilakukan dengan perusahaan Hong Kong tersebut.

Satu lagi modus penyimpangan pajak yang kini ditudingkan kepada grup Sukanto adalah pembuatan transaksi hedging (lindung nilai) fiktif CPO dan valuta asing. Transaksi hedging merupakan kontrak jual-beli antara dua pihak untuk waktu mendatang (forward contract) dengan harga yang disepakati.

Nah, masih kata sumber tadi, transaksi hedging ini diduga fiktif. Transaksi sesungguhnya hanya di atas kertas dan dibuat berdasarkan penanggalan mundur (baca Paket Hemat Raja Sawit). Singkatnya, transaksi forward contract dibuat sedemikian rupa sehingga perusahaan Indonesia selalu rugi, yang membuat harus mentransfer uang ke perusahaan afiliasi di luar negeri.

Eddy Lukas membantah semua tudingan itu. Semua transaksi dilakukan berdasarkan harga pasar yang memang fluktuatif. ”Apa itu manipulasi?” ujarnya sengit. Lagi pula, kata dia, penjualan masih dalam kisaran harga patokan ekspor yang ditetapkan pemerintah. Pihaknya tidak bisa sesuka hati menyepakati harga yang jauh berbeda dari ketentuan pemerintah. ”Jadi, tidak benar, kami selalu rugi atau melakukan transfer pricing,” katanya. Tentang tax planning, Asian Agri melalui berkas yang dikirim kepada Tempo, mengatakan itu bagian dari perencanaan usaha yang lazim dilakukan. ”Hal yang harus dihindari adalah tax evasion.”

Namun, ketika disodorkan kembali laporan keuangan Asian Agro Abadi, Eddy lagi-lagi sempat terdiam. Di situ disebutkan selama tiga tahun berturut-turut, sejumlah unit perusahaan Asian Agri menderita kerugian dalam transaksi forward. Pilihannya cuma dua: ada aksi patgulipat lewat transaksi itu atau perusahaan-perusahaan di bawah bendera Asian Agri Group punya prestasi buruk dalam transaksi forward?

Jawaban gamblang tak langsung diberikan manajemen Asian Agri. Terhadap semua dokumen itu, Tjandra pun hanya berujar enteng, ”Silakan Anda percaya pada informasi Vincent atau kami.”

Metta Dharmasaputra

Dari Mana Rezeki Mengalir

Setiap tahun, lima induk perusahaan Grup Raja Garuda Mas (RGM) selalu membuat rencana: berapa duit cash yang akan disetorkannya ke RGM. Untuk 2006, misalnya, dua induk perusahaan itu—Asia Pacific Resources International Ltd. (APRIL) dan Asian Agri Group—masing-masing telah mematok setoran 70 persen dari arus kas tahunannya ke RGM. Nilainya sekitar US$ 30 juta (Rp 273 miliar) untuk APRIL dan US$ 8 juta (Rp 72,8 miliar) per bulan untuk Asian Agri. Untuk mencapai target itulah dibuat beragam cara, termasuk antara lain dengan menaikkan biaya (fiktif) dan mengurangi pendapatan (transfer pricing) untuk mengecilkan keuntungan, sehingga beban pajak Asian Agri di dalam negeri akan berkurang. Duit pun mengalir ke kantong Sukanto Tanoto, bos RGM, dari berbagai sumber:

  1. Hasil transfer profit dari perusahaan di Indonesia ke perusahaan afiliasi di luar negeri (diduga lewat transfer pricing dan transaksi kontrak hedging fiktif), seperti Global Advance Oil & Fats Ltd. (Makao) dan Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd./AAAOF (British Virgin Islands). Uang itu kemudian diteruskan ke Asian Agri sebagai setoran dividen.
  2. Asian Agri menyetorkan dividen ke First Island Trust Company Ltd./Fitco (Mauritius) dan Treston International Ltd. (British Virgin Islands). Berdasarkan dokumen Declaration of Ultimate Beneficial Ownership Treston (21 April 2004) dan Declaration of Trust Fitco (26 September 2003), kedua perusahaan itu dimiliki Sukanto beserta Tinah Bingei (istri) dan dua putrinya: Imelda Tanoto dan Belinda Tanoto. Atas permintaan Treston dan Fitco, dividen ditransfer ke sejumlah perusahaan Sukanto di luar negeri: Goalead Ltd., Headcorp International Ltd., dll.
  3. Setoran hasil pembayaran biaya fiktif perusahaan-perusahaan Asian Agri ke rekening Haryanto Wisastra & Eddy Lukas (HAREL) di Bank Permata dan Eddy Lukas & Djoko Oetomo (ELDO) di Bank Bumiputera. Uang ini akhirnya juga disetorkan ke rekening Goalead Ltd. (Bank Banca Intesa, Hong Kong).

Kiriman Uang ke Goalead 2002-Juni 2005

TransaksiPengirimRekening bankSetoran ke RGM (US$)
3- 31 Mar 2005Global Advance (Makao)UOB (Hong Kong) No. 0819050588 (US$) HSBC (Hong Kong) No. 026442921-201 (US$)25.000.000,00
14 Jan 2002 -16 Apr 2004AAAOF (BVI)Fortis (Singapura) No. 80043335.072.786,89
25 Mar -20 Agst 2003HARELBank Permata No. 902974393 (US$)22.150.000,00
9 Nov 2004 -27 Jun 2005ELDOBank Bumiputera No. 029-1000-312 (US$)43.420.500,00
Total 125.643.286,89

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus