Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUMRAH saja jika banyak pihak menuntut pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Diterbitkan pada November 2006, Peraturan Pemerintah Nomor 37/2006 itu seperti menutup mata terhadap kondisi masyarakat. Di tengah ekonomi yang masih sesak napas, bencana yang datang beruntun, wakil rakyat daerah dimanjakan dengan berbagai dana tunjangan besar yang bisa menguras keuangan daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 37/2006 ini merupakan revisi atas dua peraturan tentang hal yang sama. Artinya, dalam rentang waktu tak kurang dari dua setengah tahun, Presiden telah mengeluarkan tiga kali peraturan pemerintah tentang pendapatan anggota DPRD. Karena itu, banyak orang menduga munculnya peraturan itu tak lepas dari strategi pemerintah meredam tekanan partai politik.
Sebenarnya tunjangan yang diperoleh para wakil rakyat lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24/2004 sudah lebih dari cukup. Para wakil rakyat, misalnya, sudah mendapat uang representasi, uang beras, tunjangan perumahan, tunjangan kendaraan, tunjangan kesehatan, tunjangan istri/suami/anak, hingga pembayaran asuransi, termasuk buat istri dan dua anak.
Tunjangan berjibun ini rupanya dinilai belum cukup. Dengan alasan meningkatkan kinerja DPRD, terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 37/2006 tadi. Ada dua tunjangan baru yang “dihadiahkan” pemerintah kepada para wakil rakyat di daerah: tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan operasional. Yang luar biasa, kendati ditetapkan sejak 14 November 2006, aturan itu sendiri diberlakukan sejak Januari 2006. Tiba-tiba para wakil rakyat akan mendapat rapel tak sedikit.
Sungguh asyik. Setiap anggota DPRD mendapat tambahan dana komunikasi intensif sekitar Rp 9 juta per bulan. Adapun para pimpinan DPRD memperoleh tambahan dana operasional per bulan sekitar Rp 18 juta. Jika jumlah anggota DPRD sekitar 12 ribu orang, dana yang diperlukan untuk membayar tunjangan yang berlaku surut itu mencapai sekitar Rp 9,6 triliun. Dana ini harus dibayar kas daerah. Maka, pasti sejumlah daerah bakal tekor lantaran pendapatan asli daerahnya tersedot untuk membayar rapel tunjangan para anggota dewan itu.
Peraturan ini jauh dari rasa keadilan. Pemerintah harus merevisinya segera. Tunjangan seperti itu jelas menyuburkan praktek korupsi. Aturan baru itu seperti tak mau peduli pada efektivitas anggaran komunikasi intensif yang diberikan. Dengan model tunjangan disatukan dengan gaji, tunjangan itu dipakai atau tak dipakai akan tetap mengucur masuk kantong wakil rakyat. Si pemberi seakan tak memerlukan pertanggungjawaban. Sudah begitu kayakah negeri ini sampai sedemikian murah hati memberikan dana sebesar itu?
Yang diperlukan sekarang adalah menata ulang penghasilan para wakil rakyat secara proporsional. Tunjangan yang tak perlu dan sulit diukur efektivitasnya—seperti tunjangan komunikasi intensif, tunjangan operasional, tunjangan perumahan, atau asuransi buat anak dan istri—sebaiknya dihapus. Lebih baik wakil rakyat diberi anggaran untuk mengangkat staf ahli, yang tentu pelaksanaannya perlu kontrol ketat. Jangan sampai peraturan pemerintah yang terkesan ”bagi-bagi hadiah” ini ditafsirkan sebagai proyek mengambil hati partai-partai atau bahkan meluaskan basis dukungan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo