Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buat Iwan Fals dan Dewa Bujana
SAYA ingin menanggapi berita di Majalah TEMPO edisi 14-20 Juni 2004 berjudul Ketika Parkit Dikira Garuda. Isinya tentang sampul kaset Iwan Fals yang diprotes oleh umat Hindu Indonesia. Saya merasa terkejut dengan pernyataan Dewa Bujana, yang juga seorang Hindu.
Selaku umat Hindu etnis Jawa yang sangat memahami pakem Hindu dalam kehidupan masyarakat, kami sangat menghargai simbol-simbol Hindu, dan tentu apa yang dituangkan Iwan Fals ke dalam kover kaset adalah satu bentuk pelecehan yang sangat serius. Kalaupun ada umat Hindu yang setuju dengan Iwan, itu baru bersifat personal dan dari pendekatan budaya.
Untuk Iwan Fals, selama ini Anda selalu memperjuangkan kaum tertindas. Tapi yang Anda lakukan saat ini dengan pelecehan gambar Wisnu merupakan bentuk penindasan yang mengatasnamakan seni dan musik. Jadi, kami menunggu apakah lagu-lagu Anda yang membela kalangan tertindas akan dilaksanakan secara nyata atau sekadar lagu.
Untuk Dewa Bujana, kami mengimbau agar tetap menghargai koridor yang ada. Anda sebagai musisi cukup menyanyi saja dan jangan bicara mengenai agama, karena setiap orang sudah punya tanggung jawab sendiri-sendiri. Sehingga, tidak etis bagi Anda mengomentari pekerjaan lain (Bhagavad Gita III.35).
TEMPO sendiri sebaiknya memuat berita yang seimbang dan netral, karena tulisan tersebut sangat tidak sportif yang akhirnya merugikan agama Hindu secara keseluruhan.
Untuk Sdr. Arya Vedakarna dan Forum Intelektual Muda Hindu Dharma, kami dari paguyuban anak muda Hindu Jawa Timur mendukung Anda.
Agus Setyawan
Desa Karetan, Kecamatan Purwoharjo
Banyuwangi, Jawa Timur
Menunggu Hadiah dari Toshiba
SAYA adalah salah satu pemenang hadiah undian yang diselenggarakan oleh PT Toshiba Visual Media Network Indonesia lewat program ”Toshiba Cash Back”, yang diumumkan di media massa 28 Mei 2004. Kebetulan saya pernah membeli sebuah TV (nota pembelian terlampir). Namun, hingga saat ini saya belum sekalipun pernah mendapat pemberitahuan atau informasi kejelasan tentang tata cara penerimaan hadiah tersebut dari pihak mana pun.
Saya telah menghubungi PT Globe Promotion Service, pihak yang dicantumkan dalam pengumuman pemenang undian. Jawaban yang saya terima: uang hadiah tersebut belum dicairkan oleh PT Toshiba. Saya diperintahkan menunggu tanpa batas waktu dan, apabila tidak puas atas jawaban tersebut, dipersilakan mengungkapkannya di media massa dengan harapan pihak PT Toshiba mengetahuinya.
Apakah demikian cara pelayanan perusahaan sebesar PT Toshiba kepada customer-nya? Dan sampai kapan saya harus menunggu untuk mendapatkan hadiah tersebut?
Roy Irawan
Jalan Dr. Sutomo IV/16
Blora 58211
Keluhan Penumpang Adam Air
Pada Jumat 25 Juni 2004, saya bersama-sama dengan ratusan penumpang lainnya berencana pergi ke Yogyakarta menggunakan pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan RI-128 dengan rute Jakarta-Yogyakarta. Jadwal penerbangannya pukul 16.00 WIB.
Sehari sebelumnya, saya mendapat kabar bahwa jadwal check-in diajukan lebih awal. Dengan demikian, saya bersama-sama dengan penumpang lainnya sudah check-in sekitar pukul 14.00 WIB. Tetapi, setelah menunggu sekian lama di ruang tunggu tanpa AC (B-6) sampai pukul 16.00 WIB, kami belum mendapat kabar tentang waktu pemberangkatan. Sekitar pukul 16.30, kami mendapat pemberitahuan dari petugas di ruang tunggu B-6 bahwa pemberangkatan ke Yogyakarta diundur sekitar 1 jam.
Saat itu seluruh penumpang masih bisa bersabar. Namun, sampai dengan pukul 18.00 WIB belum ada tanda-tanda bahwa kami akan segera diberangkatkan. Seluruh penumpang sudah mulai gelisah dan setelah bertanya ke petugas di ruang tunggu dikatakan bahwa jadwal penerbangan diundur kembali sampai pukul 18.40 WIB. Diumumkan lewat pengeras suara bahwa kami akan diangkut dengan pesawat dari Medan yang sebetulnya dijadwalkan ke Surabaya. Sekitar pukul 18.30, pesawat Adam Air dari Medan telah mendarat, dan tentunya seluruh penumpang merasa gembira bahwa sebentar lagi akan berangkat. Tapi, sampai sekitar pukul 19.30 WIB, belum ada tanda-tanda kami akan berangkat dan ternyata pesawat dari Medan juga sudah terbang. Jadi, dari sini kami melihat bahwa manajemen Adam Air sangat tidak profesional. Apakah mungkin penumpang ke Yogyakarta, yang jumlahnya ratusan, dapat ditebengkan ke pesawat yang ke Surabaya. Nah, sejak itu seluruh penumpang sudah mulai emosional, dan celakanya petugas Adam Air di ruang tunggu B-6 pada saat itu menghilang semua karena mereka sudah kewalahan menjawab protes-protes dari penumpang.
Baru sekitar pukul 20.00 WIB, manajemen Adam Air berkenan menemui seluruh penumpang dan minta maaf serta menjelaskan bahwa kami pasti akan diberangkatkan ke Yogya pada pukul 21.00 WIB dengan menggunakan pesawat RI-128 dari Pontianak. Adapun alasan utama yang mereka sampaikan adalah masalah teknis. Jadi, jadwal penerbangan tertunda lebih dari lima jam dan kami mendarat di Adisutjipto sekitar pukul 22.30 WIB.
Saya melihat tidak adanya koordinasi antara petugas di lapangan dan manajemen Adam Air. Soalnya, petugas pun tidak mengetahui apa yang terjadi dengan perubahan jadwal penerbangan. Semestinya mereka yang di front desk harus dapat memberikan informasi yang cukup akurat tentang penerbangan.
Yang juga jadi pertanyaan kami, pada sekitar pukul 19.30-20.00 WIB ternyata ada tambahan penumpang baru sebanyak 5-8 orang yang baru check-in. Jadi, apakah memang penerbangan sengaja dibuat terlambat sehingga tiket masih terjual sampai jam tersebut?
Penderitaan kami ternyata belum berakhir. Di atas pesawat, kami diberi makan malam yang sudah sangat terlambat (pukul 21.30 WIB) dengan menu nasi-ayam cepat saji. Kami harus makan KFC di dalam pesawat dengan lima jari tanpa sendok dan tanpa bisa cuci tangan. Demikian pengalaman saya menggunakan jasa penerbangan Adam Air.
Barlian Yuliharto
Jalan Delima CIII/78
Pinang, Tangerang
AFI dan Gubernur Jawa Tengah
SAYA ingin menyoroti ulah Gubernur Jawa Tengah dan Wali Kota Surakarta dalam mendukung Tia dalam kontes Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Mereka seperti mengobral uang dan dukungan material bagi Tia. Mereka menyediakan dana dan fasilitas transportasi untuk mendukung Tia. Belum lagi uang yang dihambur-hamburkan warga dan pejabat Solo dan Semarang untuk mengirim SMS.
Apakah ajang kompetisi AFI sudah sebegitu pentingnya? Apakah para pejabat tersebut juga akan memberikan dukungan serupa jika ada warga rakyat Solo atau Jawa Tengah yang mengikuti Lomba Karya Ilmiah Remaja Nasional, Lomba Pelajar atau Guru Teladan Nasional, Lomba IPTEK Nasional?
Apakah para pejabat tersebut juga akan mengucurkan dana bagi lomba-lomba tersebut di atas seperti halnya untuk Tia? Belum lagi janji-janji hadiah yang akan diberikan untuk Tia. Apakah para pejabat tersebut juga akan memberikan hadiah serupa untuk lomba-lomba lain tingkat nasional?
Para pejabat itu tidak sadar bahwa mereka dieksploitasi oleh televisi swasta tersebut agar acara AFI terkesan bombastis. Semuanya itu hanya menguntungkan TV swasta tersebut dalam mendapatkan sponsor dan menarik minat pemirsa.
Wahai pejabat, lebih baik uang tersebut digunakan untuk membantu rakyat miskin, untuk memberi modal pengusaha kecil, untuk membantu korban bencana alam, dan sebagainya. Sadarlah wahai pejabat, uang yang dikeluarkan sebaiknya untuk keperluan yang betul-betul bermanfaat bagi rakyat banyak.
Untuk pejabat-pejabat daerah lain, di waktu yang akan datang, hendaknya bertindak dan berpikir secara realistis.
Endang Edi Rahaju
Kelurahan Manisrejo, Taman, Madiun, Jawa Timur
KPR Bank Niaga Mengecewakan
Kami sekeluarga dikecewakan oleh pelayanan Bank Niaga yang tidak konsisten dalam hal pemberian KPR (kredit pemilikan rumah). Kisahnya, pada akhir April 2004 saya dan suami tertarik mengambil KPR melalui Bank Niaga. Kami berencana membeli rumah bekas di Tangerang. Untuk itu, kami menemui petugas bagian pemasaran Bank Niaga Tangerang dan BSD Plaza, Serpong, untuk mengetahui persyaratannya. Ketika kami informasikan bahwa kami tidak memiliki surat nikah (hilang), petugas Bank Niaga Tangerang dan BSD Plaza mengatakan tidak masalah, surat nikah bisa diganti kartu keluarga (KK).
Karena rumah yang akan kami beli melalui KPR tersebut milik perorangan, pengurusannya agak melelahkan. Kondisi rumah sudah tidak sesuai dengan aslinya alias sudah diperluas. Sesuai dengan persyaratan dari Bank Niaga, kami harus mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan tambahan. Hal itu sudah kami lakukan.
Setelah menunggu hampir dua bulan, akhirnya pada 17 Juni 2004 suami saya ditelepon Bapak Adi dari Bagian Legal Bank Niaga Gajah Mada, yang mengabarkan akad kredit bisa dilaksanakan pada 18 Juni 2004 pukul 11:00. Sejam kemudian, Bapak Adi menelepon suami saya lagi meminta surat nikah dan, setelah dijelaskan surat nikahnya hilang, akhirnya dia mengatakan tidak masalah dengan surat nikah, tapi harus membawa kartu keluarga asli, KTP asli, dan tanda pengurus IMB.
Pada 18 Juni 2004 pukul 10:30, suami saya dan penjual (pemilik rumah) sudah tiba di Bank Niaga Gajah Mada. Suami saya sempat mengobrol dengan Bapak Adi dari bagian legal dan staf notaris. Namun, pada pukul 11:30 Bapak Adi mengatakan surat nikah harus ada. Kalau tidak ada, ya, tidak bisa akad kredit. Kalaupun akad kredit dilakukan, uang KPR dari Bank Niaga tidak bisa ditransfer ke penjual.
Saya dan suami hanya mengelus dada. Beginikah cara kerja tim KPR Bank Niaga, tidak profesional, tidak konsisten, atau plin-plan? Setelah melalui waktu proses hampir dua bulan, tiba-tiba berantakan hanya dalam sekejap. Kalau sejak awal Bank Niaga mengatakan surat nikah adalah syarat yang tidak bisa ditawar lagi, dari awal saya dan suami tidak akan mengambil KPR dari Bank Niaga. Kami sekeluarga telah dirugikan oleh Bank Niaga secara waktu, tenaga, dan biaya untuk pengurusan IMB tambahan, meterai, dan lain-lain.
Lola Alice Juliani
Taman Jati Permai D 3/4, RT/RW 01/10
Periuk Tangerang
Pemilihan Presiden dan Monster
Menyimak kampanye pemilihan presiden belakangan ini mengingatkan saya akan sebuah cerita klasik Yunani tentang penciptaan seekor kuda. Alkisah, pada suatu sidang para dewa di Negeri Antah Berantah, yang kebetulan jumlahnya sama dengan kandidat calon presiden dan calon wakil presiden, yakni lima orang, diputuskan akan dibuat seekor kuda yang amat hebat, kuat, pemberani, dan gagah perkasa. Pendek kata, seekor kuda yang tiada bandingannya.
Dalam sidang para dewa tersebut, dipanggilah seorang seniman paling piawai di negeri itu untuk menciptakan kuda idaman. Dewa pertama menginginkan agar kepala kuda dibuat sedemikian besar ditambah dengan gigi taring serta sorot mata yang tajam agar tampak berwibawa. Dewa kedua menghendaki kedua pasang kaki dibuat panjang, kekar, berotot, dan pada bagian telapak dilapisi besi (semacam sepatu bot) agar ketika lari menimbulkan bunyi bergemerincing. Dewa ketiga memerintahkan agar pada bagian badan dibuat lebih panjang dengan maksud supaya mampu sekaligus ditunggangi kelima dewa tersebut ketika menuju medan laga. Dewa keempat meminta kulit serta bulu kuda dibuat sedemikian tebal supaya tahan cuaca serta tahan serangan senjata. Lalu, dewa kelima, yang kebetulan seorang perempuan, menginstruksikan agar ekor dibuat panjang, tebal, dan indah, barangkali maksudnya agar bak rambut seorang miss universe dari Kosta Rika.
Setelah mendapatkan penjelasan dari sidang para dewa, pulanglah si seniman piawai menuju studio untuk segera mewujudkan kuda idaman. Selang beberapa lama, selesailah order para dewa. Pada kesempatan sidang para dewa berikutnya, muncullah si seniman untuk mempresentasi hasil karyanya.
Apa yang terjadi? Kelima dewa marah, murka, lantaran bukan mendapatkan seekor kuda idaman, melainkan seekor monster yang mengerikan. Dalam konteks pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden dewasa ini, apakah yang namanya visi, misi, rekomendasi, program, dan lain-lain akan menjelma menjadi monster?
B. Tonny Wahyudi
Condet, Jakarta Timur
Putusan tentang Provinsi Irian Jaya Barat
Baru-baru ini media memberitakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, melalui majelis hakimnya, membatalkan secara hukum Keppres No. 213 Tahun 2003 tentang pengesahan Brigjen TNI Marinir (Purn.) Abraham Octavianus Ataruri menjadi Gubernur Irian Jaya Barat. Alasannya? Keppres tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.
Putusan tersebut dinilai kurang tepat, karena Pasal 76 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, yang digunakan untuk membatalkan Keppres 213 dan juga Inpres No. 1 Tahun 2003, kurang relevan. Soalnya, pasal itu hanya mengatur provinsi yang akan dibentuk di Tanah Papua setelah berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, sehingga sebenarnya pasal tersebut dapat menganulir Undang-Undang No. 45 Tahun 1999.
Pengukuhan kembali pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat hanya merupakan tindak lanjut dari keluarnya Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Adapun Keppres No. 213 hanya mengaktifkan kembali pejabat gubernur yang pernah dilantik berdasarkan Keppres No. 327 tanggal 5 Oktober 1999, yang sempat ditunda pelaksanaannya karena situasi dan kondisi sosial politik di Tanah Papua tidak kondusif untuk pelaksanaan pemekaran provinsi di Tanah Papua.
Satu hal yang patut dipertanyakan, John Ibo (yang melakukan gugatan) mewakili rakyat mana? Soalnya, masyarakat Papua, khususnya Irian Jaya Barat, tidak pernah memberikan kuasa kepadanya untuk bertindak dengan mengatasnamakan masyarakat Irian Jaya Barat. Untuk itu, sebaiknya PTUN meninjau kembali putusannya yang mengandung unsur provokatif karena tindakan John Ibo tidak mewakili seluruh rakyat Papua. Putusan tersebut hanya akan menyesatkan rakyat dan justru berpotensi memicu timbulnya konflik baru di tengah masyarakat.
Menurut pendapat saya, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri seharusnya pula tidak gegabah mengeksekusi keputusan PTUN tersebut.
Eddy Pincen, S.H.
Orang Papua di Yogyakarta
Pejabat Perusak Lingkungan
ADA dua tokoh yang saat ini sepak terjangnya sedang menjadi sorotan publik Jawa Barat terutama yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Yang pertama adalah Gubernur Jawa Barat Dany Setiawan dan satunya lagi walikota Bandung Dada Rosada. Kedua orang ini punya dua persamaan yaitu sama-sama punya kuasa dan sama-sama kurang berpengetahuan luas.
Akibatnya sangat fatal. Kedua pejabat ini hendak merusak kawasan lindung Bandung Utara dengan kebijakannya yang berkedok pembangunan (padahal ujung-ujungnya duit juga). Gubernur Dany Setiawan ingin membuka jalan dengan merusak hutan lindung Dago Pakar yang buntutnya akan diikuti dengan pembangunan perumahan dan villa mewah. Sementara Walikota Dada Rosada dengan terang-terangan memang ingin membangun tempat wisata terpadu di kawasan resapan air Punclut.
Ide membangun di kawasan lindung ini dinilai sangat berbahaya bagi lingkungan. Karenanya timbulah penolakan dari kalangan masyarakat luas dan berbagai LSM. Bahkan pihak Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) buru-buru menolak rencana tersebut. Tapi sikap penolakan tidaklah berarti apa-apa jika para penguasa daerah itu tetap berkehendak melanjutkan rencananya. Oleh karena itu, saya menghimbau kepada segenap kalangan untuk segera merapatkan barisan. Langkah awal adalah meng-clashactionkan Danny Setiawan dan Dada Rosada. Selain itu buat pengaduan ke DPR pusat (karena DPRD sudah tak bergigi), lalu ke Kementerian Lingkungan Hidup serta Presiden RI. Biar lengkap, adukan pula kepada LSM dan badan-badan dunia yang berurusan dengan lingkungan. Agar semua menoleh bahwa akan ada pengerusakan lingkungan besar-besaran secara sistematis yang dilakukan oleh dua pejabat yaitu Danny Setiawan dan Dada Rosada.
Ruskanda Natadirja Hegarmanah
Bandung
RALAT
Pada tulisan Tawaran yang Kelewatan, yang dimuat di TEMPO edisi 28 Juni-4 Juli lalu, halaman 31, terdapat kesalahan yang mengganggu. Nama Letjen (Purn.) Agus Widjoyo (di bawah kutipan) diikuti dengan keterangan ”Wakil Ketua MPR”. Yang benar adalah ”mantan Wakil Ketua MPR”, karena sekarang beliau sudah tidak menjadi pimpinan MPR lagi. Kami minta maaf atas kesalahan ini. - Red.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo