Demi suami yang tak lagi bisa bekerja, ia ikut berdiam di Tangru, dan bergelut di kebun menghidupi suami dan empat anak. INI kisah lain dari seorang Filipina di Kabupaten Enrekang juga, di Desa Tangru. Siffi Tabloh meninggalkan Filipina pada 1979. Ia ikut bibinya di Tawao. Tak ingin jadi benalu, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Bertemulah ia dengan Kija Mansyur, lelaki dari Tangru, Enrekang, Sulawesi. Singkat cerita, keduanya memutuskan membina bahtera keluarga. Kebahagiaan meliputi orang-orang kecil ini. Dan demi anak-anak yang kemudian lahir, Sitti berhenti bekerja. Di Tawao tiga anak lahir. Nasib tak bisa ditolak. Kija terserang penyakit, dan kakinya terpaksa diamputasi. Rumah tangga ini goyang. Direnung-renungkan, akhirnya Kija memutuskan kembali ke kampung, daripada sengsara di rantau. Sitti tak mau ditinggalkan. Ia tetap setia meski Kija sudah cacat. Alkisah, pada 1987 mereka sudah kembali di Tangru, sebuah desa 300 km di utara Ujungpandang. Sebagaimana Ahmad, Sitti pun tak menemui kesulitan di perjalanan. Berkat warisan sebidang kebun orangtua Kija, kini keluarga Kija-Sitti hidup dengan empat anak mereka (si bungsu lahir di Tangru). Dan Sittilah yang bergumul dengan lumpur karena Kija tak mampu lagi. Dari tomat, kacang, dan jagung mereka hidup. Ketenteraman itu akhirnya terusik oleh yuridis formal, karena memang Sitti belum resmi warga negara Indonesia. Padahal, demi kemanusiaanlah ia terpaksa menjadi imigran ilegal. Adakah kebijaksanaan untuk mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini