BERUNTUNGLAH Ahmad, dua anaknya, dan Sitti Tabloh. Plhak Kanwil Departemen Kehakiman Sulawesi Selatan di Ujungpandang tak gegabah. "Kami masih mengonsultasikan dengan berbagai pihak," kata Kepala Kanwil Departemen Kehakiman kepada TEMPO lewat telepon. Masalahnya memang bukan sekadar yuridis formal. Berikut petikan wawancara Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO dengan Prof. Komar Kantaatmadja, ahli hukum internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung. PADA hakikatnya mereka sudah orang Indonesia, karena sudah tinggal selama 10 tahun, bahkan sudah ikut dua kali pemilu, sudah jadi hansip, sudah jadi guru pesantren. Pola hidupnya bukan pola hidup orang Moro lagi. Untuk kasus seperti itu ada teori bahwa kewarganegaraan mereka sudah cair. Masalahnya cuma yuridis formal. Secara materiil mereka sudah orang Indonesia. Cuma, secara resmi mereka masih harus melepaskan kewarganegaraan Filipinanya. Dan minta menjadi warga negara Indonesia. Pihak Imigrasi tentu saja tidak salah. Instansi ini kan melihat secara formal yuridis. Tapi kasus ini berbeda dengan kasus Jusuf Randy dulu, karena Jusuf memalsukan paspor. Juga berbeda dengan Ida Iasha, kan ia masuk Indonesia dengan paspor Belanda. Jadi, kita harus bijaksana. Ini masalah kemanusiaan. Menurut saya, mereka kini cukup memohon kewarganegaraan ke Imigrasi. Pola hidup mereka sudah berubah, sudah jadi orang Indonesia. Jadi, harus kita bedakan yuridis formal, imigran gelap dan hakikat kasusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini