Ia menghindar dari wajib militer karena disuruh bertempur dengan saudara-saudaranya orang Moro. Inilah cerita Ahmad tentang dirinya kepada Burhanuddin Bella. SAYA memang orang Filipina. Tapi kakek saya asli Manado. Begini kisahnya. Adalah Sitti Sulaiha, gadis Moro yang merantau ke Tawao. Di rantau ini ia bertemu dengan Mahmud, pemuda dari Manado, Indonesia. Keduanya menjalin cinta, dan berakhir di pernikahan. Lahirlah seorang bayi perempuan dari sepasang suami-istri itu. Bayi itu diberi nama Masira, yang kemudian hari menjadi ibu saya. Jadi, Mahmud adalah kakek saya, dan Sulaiha itu nenek saya. Beberapa tahun kemudian Kakek meninggal. Masa janda nenek saya tak lama. Ia bertemu dengan pemuda Filipina bernama Abdul Rahim. Akhirnya Abdul Rahim jadi kakek tiri saya. Dari kakek tiri ini ibu mendapatkan tiga saudara tiri: Kardo, Karing, dan Harijah. Setelah punya tiga anak kandung, Kakek rupanya merindukan kampung halamannya. Baliklah mereka ke Filipina. Kakek, nenek, ibu, dan tiga saudaranya menetap di Lamitan di Kota Basilan di Pulau Mindanao. Di Lamitan inilah ibu saya ketemu jodoh, yakni warga setempat bernama Ammad Jumat. Tak lama kemudian lahirlah kakak saya, Maruji bin Jumat. Saya menyusul lahir beberapa tahun kemudian, dan oleh bapak saya diberi nama Ahmad. Bapak meninggal ketika saya masih kecil. Saya tak tahu karena apa Bapak meninggal. Meski dengan hidup yang sederhana, Ibu masih sempat menyekolahkan saya. Sementara itu, Kak Maruji merantau ke Sabah dan jadi warga negara Malaysia. Saya, alhamdulillah, bisa lulus dari Lamitan Barrio High School. Lalu saya masuk ke University of Zamboanga A.E. College -- kalau di Indonesia ini semacam IKIP. Pada 1968 saya tamat dari Zamboanga College. Saya menikah dengan Delia, warga Mindanao dari suku Iyakan. Saya bekerja sebagai guru di sebuah high school di Lamitan. Serasa hidup saya tenteram, sampai di suatu hari, belum setahun saya menjadi guru, saya dan 10 guru yang lain diminta menyerahkan ijazah. Bersebelas kami diminta ikut latihan militer. Ini keputusan Presiden Marcos waktu itu, untuk merekrut wajib militer guna diterjunkan di Quezon City, Manila. Terbayang di mata saya bahwa saya nanti harus bertempur melawan saudara-saudara sebangsa. Waktu itu di antara kami tersebar cerita bahwa pemberontak yang kami lawan demikian kejam, sampai-sampai membunuhi anak-anak. Karena itu, akhirnya saya lari dari kesatuan bersama teman-teman guru tadi. Kami hidup di hutan. Istri saya, Delia, ikut dengan setia. Sampai kami punya dua anak. Kami bisa hidup berkat Allah karena kami selama itu cuma makan pisang dan ubi. Tapi akhirnya Delia tak tahan terus-menerus hidup di hutan. Ia kembali ke kota, sendiri, sementara dua anak diserahkan kepada saya. Waktu itu anak saya yang kedua, Joi, baru berumur 11 bulan. Sebelum pergi kata Delia, "Peliharalah anakmu dengan baik. Jangan harapkan lagi aku." Begitu Delia pergi, saya berusaha masuk kota, ke Lukbutun, untuk menemui ibu saya. Saya bawa dua anak saya dan saya titipkan pada ibu. Lalu saya kembali menyembunyikan diri. Pada tahun 1976 bersama 16 rekan kami berlayar menuju Sabah. Mendarat di Tawao hal masih dini. Kami dilarang masuk kota. Tapi entah mengapa, di siang harinya, ketika saya mencoba berjalan-jalan keluar dari pelabuhan tak ada yang melarang. Akhirnya, kami memang diterima di Tawao, tapi enam yang lain dikembalikan ke Filipina karena tak bisa berbahasa Inggris dan Melayu. Saya tahu Kak Maruji ada di Tawao. Benar. Beberapa hari kemudian kami bertemu. Ia amat saya lama, barulah dia ingat. Maklum, kami berpisah sewaktu saya masih kecil. Akhirnya, saya ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dan baru beberapa bulan bekerja saya bertemu dengan Hada itu. Kami menikah, kemudian pindah ke Sandakan. Kami dikaruniai tiga anak. Suatu hari ibu saya datang dari Filipina membawa Sherly dan Joi, dua anak saya dari Delia. Ibu kembali pulang, Sherly dan Joi tinggal bersama kami. Empat tahun kemudian, 1980, Hada disuruh pulang karena bapaknya sakit. Sebenarnya, saya tak ingin ikut karena rencananya Hada akan kembali ke Sandakan setelah menengok bapaknya. Tapi di pelabuhan Tawao, ketika ia dan tiga anak kami sudah berada di kapal menuju Parepare, saya tak tega. Sebab, selama pelayaran dari Sandakan ke Tawao saja, anak-anak itu mabuk laut. Kasihan Hada. Maka, saya, Sherly, dan Joi akhirnya ikut ke Parepare. Ya, ketika itu kami bertiga (saya, Sherly, dan Joi) cuma berbekal pakaian yang melekat di badan. Singkat, kata kami sampai di Parepare dengan selamat. Lalu melanjutkan perjalanan ke desa istri saya, Batu Noli. Sampai di desa itu kalau tak salah tanggal 15 September 1980. Ternyata, mertua saya sudah sembuh, dan ia melarang kami balik ke Malaysia. O, ya. Aneh sekali selama perjalanan saya tak pernah diperiksa. Akhirnya, kuputuskan menetap di Batu Noli. Mula-mula serasa putus asa. Bertani di Batu Noli sungguh berbeda dengan di Filipina. Di sini tanah mesti dicangkul, dibajak, sebelum ditanami. Di Filipina, kami cukup membakar alang-alang, kemudian tanah siap ditanami. Tapi lama kelamaan akrab juga saya dengan teknik bertanam seperti itu. Kini saya memiliki 1.000 pohon cokelat sudah berbuah, dan 300 pohon kopi. Sementara itu, Sherly, kini 21 tahun, masuk sekolah teknik di Cakke, dan tinggal di rumah kepala desa. Tak sampai tamat karena keburu kawin dengan pemuda setempat. Mereka kini tinggal di Banti, dikaruniai seorang anak. Joi, 17 tahun, juga masuk sekolah teknik itu, tapi cuma sampai kelas dua. Saya selalu bergaul dengan warga setempat, dan selalu saya katakan bahwa saya orang Filipina. Tapi rupanya ini bukan masalah bagi mereka. Bahkan ketika pemilihan umum, tahun 1982 dan 1987 saya ikut mencoblos, dan ikut menjadi hansip. Sebagai hansip saya meronda keamanan dari desa ke desa, turun bukit naik bukit bersama beberapa hansip yang lain. Selalu saya ceritakan bahwa saya orang Filipina. Tapi mereka tak menanggapi dengan serius. Tak sulit saya belajar bahasa Indonesia karena saya sudah menguasai bahasa Melayu. Dan selalu saya berpegang pada tiga hal: jujur, rajin, dan sabar. Kalau ketiga hal itu kita pegang, kita akan selamat di mana pun berada. Sejak 1988 saya punya tambahan penghasilan. Saya melamar jadi guru di Pesantren Haji Andi Liu di Cakke, yang kebetulan mencari guru bahasa Inggris. Saya mendapat delapan pulu ribu rupiah sebulan, oleh Pak Tadjrin Sinata, direktur pesantren itu, cara saya mengajar dinilai positif. Saya suka mengajak para santri ke tempat yang banyak turis dam saya suruh mereka omong-omong dengan turis-turis itu. Saya memang tidak tahu, harus melapor kepada siapa. Dulu saya sudah melapor ke kepala dusun, dan saya kira sudah beres semuanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini