Bukan sekadar masalah sosial ekonomi. Perkara keyakinan agama yang menuntut teritorial sendiri. MORO merangkum 13 kelompok etnik. Sebagian besar mendiami belahan barat dan selatan Mindanao. Sejumlah kecil lainnya berserak di Kepulauan Sulu, pesisir selatan Pulau Palawan dan Kepulauan Zamboaga. Semula kelompok Islam terbilang mayoritas. Namun, kolonialisme telah menyulapnya jadi minoritas. Pada 1903, dari 327.741 penduduk Mindanao, sekitar 76% atau 250 ribu adalah orang Moro. Dari tahun ke tahun persentase itu terus menurun, kendati angka populasinya bertambah. Pada 1980 jumlahnya sekitar 2,5 juta atau hanya 23% darl hampir 11 juta penduduk Mindanao. Kolonialisme mengalirkan pendatang yang mendesak orang-orang Moro ke daerah-daerah tertentu. Dulu memang Moro mayoritas, sekarang cuma di lima dari 22 provinsi mereka unggul dalam jumlah: Sulu, Tawi-Tawi, Lanao del Sur, Maguindanao (Mindanao), dan Basilan. Sejarah panjang Moro bisa dirunut sejak Islam masuk ke Filipina. Sebuah versi menyebutkan Islam datang di Kepulauan Filipina jauh sebelum kedatangan Villalobos -- seorang penjelajah Spanyol yang memasuki Filipina pada 1542. Islam sudah dikenal di beberapa daerah di Filipina pada abad ke-8 sampai 10, yakni tatkala Islam mengembangkan sayap ke segenap penjuru dunia. Ketika itu saudagar-saudagar Arab sudah menginjakkan kaki ke kawasan Asia Tenggara, terrnasuk ke Kepulauan Filipina. Ini dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina Zaman Dinasti Yuan (1280- 1368). Disebutkan bahwa pada kurun ini Kepulauan Jolo, di barat daya Mindanao, sudah menjadi pusat perdagangan, disinggahi saudagar-saudagar Arab, Muangthai, Indonesia, dan India. Di Jolo kebudayaan Islam berkembang pesat, sementara penduduk asli Filipina lainnya, temmasuk Mindanao, masih terbilang primitif. Para saudagar Arab pun memperlihatkan pengaruh besar. Mereka pula yang mula-mula mendirikan kesultanan Islam. Syed Abu Bakar, orang Arab kelahiran Mekah, pada 1450 mendirikan pemerintahan di Buansa (Jolo). Di bawah pemerintahan Abu Bakar, pengkajian Islam mulai dilaksanakan secara luas. Lembaga-lembaga politik dibentuk sesuai dengan garis-garis Islam. Sementara itu, para dai dikirim ke luar Buansa untuk mengislamkan penduduk di sekitarnya. Versi lain menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Kepulauan Filipina baru terjadi pada abad ke-14. Yakni ketika pedagang-pedagang Arab membawa agama Islam ke Semenanjung Melayu dan Kalimantan Utara. Lalu orang-orang Kalimantan Utara membawanya ke suku Tan Suk di Kepulauan Sulu, sebelah timur Laut Kalimantan, dan sempat mendirikan kerajaan. Dari sana, Islam disebarkan ke utara. Mindanao sendiri, konon, diislamkan oleh Rajah Baginda, seorang bangsawan Minangkabau, yang membawa pengikutnya ke pulau itu pada 1390. Awal abad ke-15 Rajah mendirikan kesultanan di tepi Sungai Kotabato. Islam terus menjalar ke utara. Abad ke-16 pengaruhnya menjalar sampai ke Kepulauan Visayas, Teluk Manila. Di sanalah terjadi bentrokan dengan orang Spanyol. Sejarah Filipina segera mencatat sengketa berkepanjangan. Konflik berkecamuk selama hampir 300 tahun. orang-orang Islam tak henti-hentinya menyerang Spanyol dan penduduk Kristen Visayas, lalu menjadikan mereka budak belian. Tentu saja Spanyol tidak tinggal diam. Selain bertahan, mereka juga merangsek ke selatan. Pada 1636 Spanyol mendirikan Fort Pilar di Pulau Zamboaga -- sebelah barat Mindanao -- untuk menguasai daerah selatan. Moro nampaknya tak ingin disebut bangsa tempe. Pada 1662 Fort Pilar diserbu oleh kekuatan gabungan Kesultanan Sulu dan Mindanao. Akhimya, benteng itu ditinggalkan Spanyol. Pada 1719 Spanyol mencoba mendudukinya lagi. Tapi baru pada 1879, atau hampir 200 tahun kemudian, Kesultanan Sulu baru menyerah pada Spanyol. Sementara Jolo sudah tunduk sejak 1876. Kedatangan bangsa Eropa -- kemudian masuk pula Amerika Serikat -- merupakan malapetaka bagi Moro. Migrasi orang Kristen secara besar-besaran tak bisa dihindari. Mereka mendesak penduduk, merebut tanah, dan merecoki adat setempat. Konflik budaya, kekuasaan, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya, membuat Mindanao panas. Buntutnya adalah persoalan multikompleks. Golongan Islam merasa bahwa mereka adalah pewaris sah Mindanao dan daerah-daerah yang pernah dikuasai Islam. Sementara itu, orang-orang Kristen yang telah mayoritas merasa secara sah pula mendiaminya. Muncul pula kecurigaan bahwa pemerintah terlalu berpihak pada orang-orang Kristen. Bahkan sempat beredar isu Kristenisasi dan usaha menghabisi umat Islam dari bumi Filipina. Itu karena perlakukan pemerintah yang pilih kasih. Orang Islam menuduh segala fasilitas yang ada di Mindanao semata-mata hanya ditujukan demi kepentingan orang Kristen. Mereka juga merasa dianaktirikan dalam memperoleh lapangan pekerjaan. Dari 20 ribu pekerja pabrik dan industri di Mindanao, misalnya, cuma beberapa puluh yang orang Islam. Boleh dikatakan, orang Moro yang kebanyakan hidup bertani tak percaya pada pemerintah Filipina. Mereka lebih percaya pada para datuk -- pemimpin lokal. Segala undang-undang dan hukum yang dikeluarkan pemerintah diabaikan. Soal tanah, misalnya, mereka lebih mendengar fatwa datuk. Karena memang, menurut tradisi, tanah adalah kepunyaan marga (clan) dan diatur oleh datuk. Datuk pula yang berhak mengendalikan hukum adat, seperti tradisi peradilan agama, poligami, perkawinan, dan perceraian. Sebaliknya, Pemerintah Filipina menganggap umat Islam Mindanao sengaja mengisolasi diri dari golongan lain. Mereka dituduh antipati terhadap pemerintah, bahkan cenderung menunjukkan sikap bermusuhan. Pemerintah merasa telah berusaha semaksimal mungkin untuk membangun Mindanao. Misalnya dengan mengadakan perbaikan di bidang kesempatan kerja, ekonomi, sosial, dan budaya. Pemerintah telah mengizinkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam Islamic studies di Mindanao State University, lalu membuka Islamic center di University of Philippines, dan membangun Islamic village di Manila. Pemerintah Filipina seperti hendak melupakan, bahwa Moro bukan sekadar persoalan sosial ekonomi. Tapi perkara keyakinan agama yang menuntut sebuah teritorial tersendiri. Itukah yang mentah-mentah ditolak pemerintah karena dianggap menjurus pada tuntutan mendirikan negara sendiri. PBS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini