Mereka beremigrasi ke Malaysia demi hidup. Lalu menikah dengan orang Indonesia. Dan kemudian ikut ke Indonesia demi kemanusiaan -- demi istri dan suami. Kini hidup mereka sudah seperti orang Indonesia. "Diperlukan kebijaksanaan melihat kasus ini," kata Prof. Komar Kantaatmadja, ahli hukum internasional itu. Pembantu TEMPO di Ujungpandang, Burhanuddin Bella, mengumpulkan kisah orang Moro di Kabupaten Enrekang. Sulawesi itu. AHMAD bin Jumat memperhatikan dengan saksama perempuan itu berlenggang masuk. Tak seperti biasanya bila ia bertemu seseorang, kali ini perhatian lelaki asal Moro, Filipina, itu seperti ditarik-tarik. Kemudian ia tahu perempuan itu bernama Hada binff Ara, berasal dari suatu daerah di Sulawesi, Indonesia. Ia datang ke perkebunan kelapa sawit dan cokelat di Tawao, Sabah, Malaysia, untuk melamar kerja. Dan memang Hada diterima sebagai buruh. Sejak pertemuan yang hanya saling pandang itu Ahmad pekerja Filipina asal Moro di Sabah, yang baru datang beberapa bulan lalu -- berpikir-pikir mencari cara mendekati Hada. Sekitar sepuluh hari kemudian, Ahmad pergi ke sungai, ke tempat biasanya Hada mencuci pakaian. Ia mendekat ke perempuan itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bagaikan adegan sebuah film yang romantis, keduanya hanya saling memandang. Harap diketahui, karena mereka bekerja di satu perkebunan, selama itu lelaki Moro dan perempuan Sulawesi itu sudah saling mengetahui meski belum kenal. Lalu, entah dari mana datangnya keberanian, Ahmad, 24 tahun kala itu, langsung saja membuka percakapan, tanpa basa-basi seperti lazimnya mereka yang baru berkenalan. "Ada teman saya yang menyenangimu," katanya dalam bahasa Melayu. Dan tanpa basa-basi pula Hada, yang lalu berhenti mencuci, langsung menjawab, "Mana ada orang mau sama saya." Jawaban itu bagi Ahmad bagaikan lampu hijau bagi kendaraan di lampu lalu lintas. Segera saja kendaraan itu melaju. Dalam hal kedua insan itu, mereka jadi lancar bercakap-cakap. Baiklah percakapan itu dilewatkan, cukup dikutip akhir pembicaraan mereka. "Nanti saya pertemukan kamu dengan orang yang menyenangimu itu," kata Ahmad. Hada tak menanggapinya, cuma nyekikik. Tapi ia bersedia menunggu di tempat sekarang ini, pada hari dan jam yang ditetapkan si Ahmad. Jelasnya, mereka berdua membuat kesepakatan untuk bertemu lagi esok sore di tempat yang sama, dan si Ahmad akan membawa "orang yang menyenangimu" itu. Di sore yang disepakati, perempuan itu datang ke sungai dengan cucian yang lebih daripada biasanya. Dengan begitu, ia bisa berlama-lama di sungai. Di balik alasan itu, tentu Anda sudah maklum. Yakni, agar ia bisa berlama-lama dengan si Ahmad dan orang ketiga yang disebut-sebut. Tapi sialan. Selesai dengan dua, tiga baju, ditambah satu, dua kain, lelaki berkulit cokelat kemarin itu belum juga menampakkan wajahnya yang bersih yang -- menurut Hada -- seperti hendak senyum selalu. Dan makin sialan sampai cucian terakhir selesai diperas, dimasukkan ke keranjang, Ahmad belum juga muncul. Kejengkelannya pun sudah berubah jadi rasa marah. "Biar jelek begini, saya tak mau dipermainkan," katanya dalam hati. Hada tak menyesali nasibnya. Anak sulung enam bersaudara ini, yang buta huruf, untuk bisa hidup pun harus pergi dari tanah kelahirannya, bekerja memburuh di perkebunan di Sabah, milik orang Jepang. Ia tak merasa malang karena banyak teman sekampungnya senasib dengannya. Ia pun tak banyak menuntut dari hidupnya karena menyadari bekal hidupnya yang pas-pasan. Tapi ia pun tak sudi diperrnainkan lelaki seperti Ahmad itu. Ia cukup punya harga diri. Bila ini diceritakan dalam sebuah novel pop, mungkin akan laris. Satu happy ending sementara segera muncul di saat cerita hampir masuk ke dalam melodrama. Coba saja lihat. Begitu Hada yang uring-uringan dalam hati hendak angkat kaki dari pinggir sungai, eh, muncullah si Ahmad. Rupanya, ia hendak turun mandi. Di pinggangnya terlilit handuk. Sambil tersenyum-senyum ia hampiri Hada. Di belakang Ahmad, hanya angin -- tak seorang tampak. Padahal, ia janji hendak membawa "orang yang menyenangimu" itu. Hati Hada panas. Untung saja, kepalanya tetap dingin. "Mana orang yang kau janjikan," tanyanya. Yang ditanya tak segera menjawab. Cuma tersenyum-senyum terus seperti sedang melihat adegan yang menggelikan. Hada, tentu saja, tambah panas. Ia kini benar-benar merasa dipermainkan. Ia tanya sekali lagi, "Mana orang itu?" Kali ini Ahmad menjawab. "Ya ini rangnya," katanya sambil membengkokkan telunjuknya ke arah dadanya sendiri. Mula-mula Hada tak paham. Kemudian wajahnya jadi merah, dan ia tersipu-sipu. Syahdan, sore itu suatu kesepakatan lain disetujui oleh keduanya. Beberapa waktu kemudian, di tahun 1976 itu, di kawasan perkebunan cokelat dan kelapa sawit di Tawao -- di pantai selatan Negara Bagian Sabah Malaysia Timur -- dilangsungkan pernikahan antara seorang lelaki Moro, Filipina, dan perempuan Sulawesi, Indonesia. Syahdan, kehidupan mereka di negeri orang rukun dan bahagia. Sampai mereka pindah ke Sandakan dan dikarunia tiga anak. Ketika mereka sudah punya tiga anak itulah muncul ibu Ahmad, yang menyusul dari Filipina. Marisa, si ibu itu, tak sendirian. Bersamanya ada Sherly dan Joi, yang ternyata anak Ahmad dari istri Moronya. Tapi ini bukan sebuah novel pop, yang biasanya lalu meretakkan kebahagiaan keluarga rukun yang kedatangan masa lalunya. Bukan ini adalah kisah Ahmad dan Hada yang bisa melihat kenyataan dengan lapang dada. Hada menerima dua anak suaminya dari istri pertama dengan terbuka. Beberapa waktu kemudian Marisa pulang ke Filipina. Dan tak lama setelah itu, di tahun 1980itu, datang kabar Hada harus selekasnya pulang ke kampungnya di Enrekang, Sulawesi. Ayahnya sakit keras. Rencana pulang pun segera dibuat. Ahmad, dan dua anak dari istri pertamanya, akan tetap di Sandakan. Suatu hari keluarga besar itu berlayar ke Tawao. Dari pelabuhan di Tawaolah ada pelayaran ke Sulawesi. Hada dan tiga anaknya siap berlayar, sementara Ahmad, Sherly, dan Joi hanya mengantarkan. Tapi, beberapa saat sebelum kapal menarik sauh, sesuatu mengetuk hati Ahmad. Tegakah ia melepaskan istri dan tiga anaknya sendirian? Tanpa berpikir panjang ia lalu ikut naik ke kapal bersama Sherly dan Joi. Tiket kapal pulang ke Sandakan ia berikan kepada seorang Bugis yang kebetulan berada di situ dan memang ia mau ke Sandakan. Singkat perjalanan, mereka sampai di Parepare lewat Nunukan (Kalimantan Timur), lalu melanjutkan perjalanan darat ke Enrekang kota kecil 50 km di timur laut Parepare. Dari kota itu lalu mereka menuju ke desa kelahiran Hada, Batu Noni namanya. Waktu itu kalender menunjuk pada 15 September 1980. Alhamdulillah, bapak Hada temyata sembuh dari sakitnya. Si bapak lalu menyatakan keberatan bila Hada dan suaminya dan anak-anak mereka kembali ke Sabah. "Lebih baik kau bunuh saya dulu baru kau kembali ke Malaysia," kata Ambe Hambali, bapak itu, seperti ditirukan oleh Hada. Karena itulah terpaksa Ahmad dan Hada dan anak-anaknya tinggal di Batu Noli, sebuah desa pegunungan, menggarap tanah bapaknya. Dari merasa sebagai orang asing, akhirnya Ahmad merasa tanah dan lumpur di Batu Noli adalah tanah dan lumpurnya. Ia jadi akrab dengan teknik pertanian di Batu Noli yang berbeda dengan yang ia ketahui di Filipina. Sampai 10 tahun kemudian, pada 1990 tahun ini, pihak Imigrasi di Parepare mempersoalkan kehadiran Ahmad, Sherly, dan Joi sebagai imigran gelap. Juga seorang seorang wanita Filipina di desa lain yang menikah dengan lelaki desa itu dipersoalkan status kewarganegaraannya. Sitti Pabloh, nama wanita itu -- dan juga Ahmad dan dua anaknya -- kini harap-harap cemas, adakah kebijaksanaan pihak Imigrasi untuk memberi peluang pada mereka menjadi warga negara Indonesia. Bila aktris Ida lasha di Jakarta, dalam kasus yang hampir serupa, akhirnya bisa jadi WNI, mudah-mudahan mereka pun menemukan ialan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini