Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1993, saya sempat mengantar pelukis Arie Smit ke Istana Kepresidenan di Bogor, Jawa Barat. Tujuannya untuk melihat koleksi seni rupa yang dipajang di istana itu. Setelah beberapa jam tertegun pada banyak dinding lukisan dan taman patung, ia tidak ingin pulang. “Mungkin saya boleh mewakili teman-teman untuk hormat kepada sang maecenas kesenian, di sini,” katanya, khidmat. Beberapa tahun kemudian, saya mengantar Kwok Kian Chow, Direktur Singapore Art Museum, ke tempat yang sama. Setelah bertandang ia berkata, “Sebagian besar menakjubkan, dan hampir semua koleksi Sukarno! Indonesia harus bangga punya presiden yang juga sekaligus bapak kebudayaan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam benak masyarakat Indonesia, Sukarno atau Bung Karno sesungguhnya sudah lama dijunjung sebagai Bapak Kebudayaan dan Maecenas Kesenian, seperti yang dikatakan dua tokoh di atas. “Sesungguhnya layak apabila pemerintah membangun patung monumen yang menggambarkan Bung Karno sebagai Bapak Kebudayaan dan Kesenian,” tutur Haryono Haryoguritno, pakar perkerisan yang pernah menjadi ajudan Bung Karno. Pada 2016, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merancang Juni sebagai “Bulan Budaya Bung Karno”. Sebab, Juni adalah bulan kelahiran (6 Juni 1901) sekaligus kematian Sukarno (21 Juni 1970). Bahkan kemudian muncul gagasan Juni diluaskan menjadi “Bulan Budaya Indonesia”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isamu Noguchi membuat patung kepala Bung Karno secara on the spot, 1950./Dok. Agus Dermawan
Masyarakat kebudayaan tentulah berharap gagasan itu dikristalisasi dan diangkat dalam ketetapan pemerintah. Namun selama tiga tahun harapan itu teruruk tanah longsoran politik. Sampai akhirnya embrio perayaan Bulan Budaya Indonesia itu muncul pada 2020, ketika Balai Kirti, museum para presiden di Istana Bogor, (tiba-tiba) menyelenggarakan “Kompetisi Imaji Digital—Bung Karno: Budaya/Seni”, meski tautan pertamanya adalah perayaan haul Bung Karno yang ke-119. Mendampingi event itu, diluncurkan kembali buku Bung Karno: Pemimpin, Presiden, Seniman (editor Mikke Susanto) serta Dongeng dari Dullah: Roman Pelukis Istana Presiden Sukarno (susunan Agus Dermawan T.).
Bung Karno memiliki 2.200 lukisan, patung, dan keramik yang hampir semuanya dipajang di sejumlah Istana Kepresidenan. Fakta ini menyebabkan Bung Karno dianggap sebagai “presiden paling kaya seni rupa di dunia” pada 1960-an. Di sisi lain, diketahui Bung Karno juga pandai melukis, menulis prosa indah, dan membuat naskah sandiwara. Menarik untuk diingat bahwa selama dalam pengasingan kolonialisme Belanda di Bengkulu, Bung Karno menulis naskah drama. Ketika diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur, ia bahkan mementaskannya bersama Toneel Club Kelimutu. Pada banyak saat ia juga membuat drawing dan lukisan. Ketika di luar penjara, ia membuat karikatur yang dipublikasikan di media massa.
Sejak 1950, Bung Karno menjadikan enam Istana Kepresidenan sebagai rumah kebudayaan, dan mengisi Ibu Kota Jakarta dengan arsitektur Indonesiawi ciptaannya serta patung-patung monumen artistik usulannya. Lalu dari sini kita boleh ingat apa yang pernah diutarakan Bung Karno. “Kreasi kultural yang berbentuk kesenian janganlah dianggap sekadar sebagai hiburan, sebagai hulpmiddel voor de lol (alat bersuka-suka) saja. Karena sesungguhnya kesenian adalah sumber utama dari kerja penguatan jiwa dan pengayaan wawasan. Dan semuanya adalah bagian esensial dalam proses nation building!”
Pada kesempatan lain, ia berkata bahwa buah kesenian yang menjemput publik, seperti patung taman dan patung monumen, harus terus ditumbuhkan. Kepada Dullah, seniman yang dipercaya sebagai pelukis Istana pada 1950-1960, Bung Karno bertutur bahwa patung taman dan patung monumen adalah karya seni yang paling demokratis. “Ia milik semua orang. Boleh dipandang, ditafsir-tafsir, dipersepsi, serta dinilai oleh semua, oleh seluruh bangsa. Walaupun kedemokrasian penikmatan itu tetap dipimpin oleh artistieke smaak en artistieke stijl (selera artistik dan corak artistik) si seniman. Bahkan aku mengatakan bahwa patung taman dan patung monumen itu het meest humane artistieke werk, karya artistik yang paling manusiawi!”
“Kesenian bukan untuk mereka yang dapat membayar dengan harga tinggi bagi sebuah lukisan indah, untuk sebuah patung berharga, atau karcis mahal untuk sebuah opera yang bagus. Tapi kesenian merupakan persembahan terbaik kepada manusia, apalagi jika kesenian itu dapat dinikmati keindahannya secara bersama-sama. Si kaya dan si miskin, perempuan dan laki-laki, ahli seni dan bukan ahli seni!”.
— Noguchi, majalah Merdeka, 22 April 1950 —
Bagi Bung Karno, patung publik adalah karya seni yang paling mampu menggerakkan perasaan. Dari perasaan yang selembut dawai sitar sampai yang revolusioner dan menggelegar. Apa yang diinginkan dan dituturkan Bung Karno erat berhubungan dengan pengalamannya kala bergaul dengan para seniman di era penjajahan Jepang. Di Keimin Bunka Sidhoso ia mendapat info bahwa tidak sedikit seniman Jepang yang memiliki kemampuan membuat patung publik. Dari situ ia menemukan nama Isamu Noguchi, pematung Amerika Serikat berdarah Jepang kelahiran 1901, yang karyanya terpajang di sejumlah plaza penting di New York. Nilai kejepangan Noguchi mempesona Bung Karno. Itu sebabnya dalam suatu kesempatan Bung Karno lantas mengundang Noguchi datang ke Indonesia, untuk “berpatung ria”.
Dalam kedatangannya pada kuartal pertama 1950, Noguchi membuat patung kepala (wajah) Bung Karno secara on the spot. Untuk aksi itu, Bung Karno bersedia duduk tepekur di hadapan Noguchi dalam tempo relatif lama, mengenakan baju seadanya, dengan kepala yang tidak dihiasi kopiah kebanggaannya. Suasana studio yang sumuk tidak menjadi halangan. Dalam momen itulah Bung Karno banyak mendapat masukan mengenai kesenian publik dari Noguchi.
Di antaranya Noguchi berkata begini: “Kesenian bukan untuk mereka yang dapat membayar dengan harga tinggi bagi sebuah lukisan indah, untuk sebuah patung berharga, atau karcis mahal untuk sebuah opera yang bagus. Tapi kesenian merupakan persembahan terbaik kepada manusia, apalagi jika kesenian itu dapat dinikmati keindahannya secara bersama-sama. Si kaya dan si miskin, perempuan dan laki-laki, ahli seni dan bukan ahli seni!” (majalah Merdeka, 22 April 1950). Bagi Bung Karno, kesenian yang dimaksud Isamu Noguchi tentulah patung publik.
Setelah bertaut pikir dengan Noguchi, dan setelah anggaran untuk kesenian dirasa bisa diolah, Bung Karno mulai bergerak dalam pengoleksian seni patung. Patung-patung taman dibeli dan dipesan dengan uang pribadi, dan patung monumen (secara prinsip) diangkat sebagai proyek pemerintah. Lantaran ia menyukai patung yang bercorak realis, pilihannya lebih banyak tertuju pada karya seniman negeri sosialis, yang sebagian besar dari Eropa Timur dan Amerika Latin. Maka dalam koleksinya terjajar karya pematung Matvey Manizer, Ossip Manizer, dan Eby Letur dari Uni Soviet, Marta Jirásková dan Krisnic dari Cekoslovakia, Boris Kalin dan Antonac dari Yugoslavia, Kipar Zdenko dari Polandia, serta Roberto Juan Capurro dari Argentina. Tentu juga patung kreasi Mikas S. dan Zsigmond Kisfaludi Strobl dari Hungaria. Bahkan Bung Karno menyempatkan diri berkunjung ke studio Strobl pada 1960.
Di lingkup pematung Indonesia, sang Presiden mendorong Hariyadi S, Sulistyo, Gardono, Hendra Gunawan, dan Trubus Sudarsono mengembangkan seni patung, meskipun yang hadir gemilang dan produktif pada masa itu hanya Edhi Sunarso. Namun tentu bukan hanya patung taman dan patung monumen yang ia minati. Patung ruang dan patung meja dari segala penjuru dunia juga ia koleksi. Dari yang kuno dan anonim sampai yang baru dicipta kemarin. Lalu dalam deretan koleksinya berdiri patung gips Dewi Tara dari Jawa, patung kayu Garuda Jatayu dari Bali, dan patung porselen Dewi Kwan Im dari Tiongkok. Ratusan patung itu ia tata di sisi dan sudut rumah tinggalnya serta di semua ruang dan lorong Istana Kepresidenan.
Bung Karno dan patung wajahnya yang dibuat oleh Isamu Noguchi, 1950./Dok. Agus Dermawan
Pada 10 Februari 1957, Claire Holt, peneliti seni dari Cornell University, Amerika Serikat, penulis buku Art in Indonesia—Continuities and Change, berkunjung ke Istana Bogor. Pada kunjungan itu, ia mencatat pengamatannya atas patung koleksi Bung Karno dalam manuskrip yang tidak diterbitkan: “Di dinding ada patung sepotong kepala dan perut wanita terbuat dari batu Gandhara, yang menurut presiden “cantik”, dan dirasa presiden selalu memeluknya.... Sementara di atas meja terpajang patung tubuh wanita yang mempesona.”
Dalam uji petik yang diselenggarakan Sekretariat Presiden beberapa tahun terakhir, diketahui bahwa semua Istana Kepresidenan menyimpan sekitar 1.560 potong patung. Dan dalam penelitian yang belum selesai—mengejutkan!—sekitar 60 persen dari jumlah itu dipastikan warisan Sukarno. Namun yang tak kalah mengejutkan adalah realitas ini: dalam sangat banyak patung figur, tak ada yang menggambarkan sosok Sukarno, kecuali karya Isamu Noguchi. Apa pasalnya belum terlalu diteliti, meski ada dugaan yang mendekati kebenaran, yakni lantaran patung-patung itu dicipta berdasarkan arahan tema dari Bung Karno sendiri, yang berusaha menghindari sikap narsisistik.
AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT BUDAYA DAN SENI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo