Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menerbitkan aturan pelaksana Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat.
Penolakan dari kalangan pengusaha kembali bermunculan.
Pengelolaan dana untuk investasi dianggap berisiko.
TIGA dekade menjadi aparat sipil negara, Mimih Kelana belum pernah merasakan manfaat tabungan perumahan yang dikelola Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Suatu ketika, guru sekolah dasar di Jakarta Selatan ini sempat ingin memanfaatkan duit yang dipotong dari gajinya saban bulan itu untuk membeli rumah di Garut, Jawa Barat, tanah kelahirannya. Namun rencana ini batal. “Ditolak sama bank karena dananya kekecilan. Padahal katanya bisa buat bantu beli rumah pertama,” kata Mimih kepada Tempo, Jumat, 12 Juni lalu.
Tak mengetahui persis berapa jumlahnya, Mimih masih perlu menunggu sepuluh bulan lagi—masa pensiunnya—untuk benar-benar merasakan manfaat duit yang dikumpulkannya itu. Perempuan 59 tahun ini juga belum tahu bahwa pencairan dana tabungan perumahan pegawai negeri yang dulu dikelola Bapertarum-PNS telah dialihkelolakan ke Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
BP Tapera sebenarnya sudah dibentuk pada akhir 2018. Pembentukannya bertujuan memenuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang mengamanatkan pelaksanaan Tapera paling lama dua tahun setelah beleid itu diundangkan. Pada akhir Maret 2019, pemerintah juga telah mengisi struktur organisasi lembaga baru ini.
Namun sejak itu pula BP Tapera praktis belum dapat memulai pelayanan. Sebab, pemerintah tak kunjung menerbitkan aturan pelaksana Undang-Undang Tapera. Walhasil, penyaluran dana tabungan perumahan milik PNS yang pensiun sempat terhambat tahun lalu.
Baru pada 20 Mei lalu Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. BP Tapera tak hanya meneruskan fungsi pengelolaan tabungan perumahan aparat sipil yang sejak 1993 berada di tangan Bapertarum-PNS. Program Tapera lebih luas, meliputi penghimpunan dana tabungan perumahan dari prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian RI, pegawai badan usaha milik negara atau daerah, buruh swasta, hingga pekerja mandiri. Kewajiban menabung di Tapera untuk setiap kelompok peserta tersebut akan direalisasi secara bertahap hingga tujuh tahun ke depan.
Khusus dari eks peserta Bapertarum-PNS, BP Tapera akan mendapatkan dana kelolaan senilai Rp 11 triliun. Dana tersebut bakal menjadi saldo awal pegawai negeri aktif di rekening Tapera. Sebagian simpanan milik pensiunan PNS yang belum memperoleh haknya juga akan segera dicairkan.
Selain itu, BP Tapera secara bertahap akan mengambil alih pengelolaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dana bergulir dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk bantuan pembiayaan kepemilikan rumah masyarakat berpenghasilan rendah. Status dana FLPP ini akan menjadi tabungan pemerintah di Tapera yang sewaktu-waktu dapat ditarik. Hingga Rabu, 3 Juni lalu, total penyaluran dana FLPP yang sejak 2010 dikelola Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut mencapai Rp 50,81 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 ini sekaligus membuka kembali polemik di kalangan pelaku usaha. Ketua Komite Tetap Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bob Azam mengungkapkan, sikap Kadin tak jauh berbeda dengan kala menolak lahirnya Undang-Undang Tapera. Hal senada diutarakan Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia Johnny Darmawan. “Kami sedari awal keberatan dan menolak program ini, kenapa harus ada tabungan lagi padahal sudah ada BP Jamsostek?” ujar Johnny kepada Tempo, Rabu, 3 Juni lalu.
Menurut keduanya, Tapera sebenarnya tidak diperlukan bagi pekerja formal yang telah menjadi peserta BP Jamsostek—nama baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Sebab, BP Jamsostek juga memiliki layanan manfaat tambahan bagi pekerja untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan. “BPJS Ketenagakerjaan masih punya ruang untuk diarahkan ke pembiayaan perumahan,” ucap Bob saat dihubungi Tempo, Jumat, 12 Juni lalu.
Pemungutan dana tabungan pekerja ini memang akan melibatkan pengusaha. Pemberi kerja harus menanggung 0,5 persen dari besaran iuran simpanan pekerja swasta yang ditetapkan 3 persen dari upah. Ketentuan ini dikhawatirkan tak hanya membebani pekerja, tapi juga menggayuti pengusaha, yang dalam beberapa tahun ke depan masih berhadapan dengan ketidakpastian perekonomian.
Konsep BP Tapera pun tak ubahnya BPJS: gotong-royong. Pekerja, dengan penghasilan di atas ataupun di bawah upah minimum, wajib menjadi peserta dan menyetorkan iuran. Sedangkan peserta yang dapat memanfaatkan dana Tapera untuk pembiayaan perumahan harus memenuhi persyaratan, seperti masuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah, belum punya rumah, atau menggunakan dana untuk perbaikan rumah pertama. Jika tidak memanfaatkannya, peserta dapat mencairkan dana setelah pensiun atau kehilangan pekerjaan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar khawatir skema semacam ini akan mengulang persoalan yang terjadi di tubuh BPJS Kesehatan. “Tunggakan iuran peserta berpotensi makin besar,” tutur Timboel, Jumat, 12 Juni lalu. Adanya sanksi dalam peraturan pemerintah, dia melanjutkan, tak berarti persoalan itu akan teratasi karena ancaman serupa ada dalam regulasi iuran sosial lain.
Di sisi lain, anggota Komisi Infrastruktur dan Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat, Suryadi Jaya Permana, menyoroti kewenangan pengelolaan investasi dana Tapera. Dia mewanti-wanti agar BP Tapera berkaca dari kasus di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). “Kepercayaan publik belum pulih,” ujarnya.
Sesuai dengan aturan baru tersebut, pengelolaan dana Tapera tak hanya berupa penghimpunan dana, tapi juga pemupukan. Ini bahasa lain dari investasi yang akan dikelola BP Tapera lewat manajer investasi ke banyak instrumen, dari deposito perbankan, obligasi pemerintah pusat atau daerah, hingga surat berharga lain di bidang perumahan dan permukiman.
Kewenangan itu pula yang sempat disinggung Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso. Dia mengingatkan, Tapera memiliki prinsip yang serupa dengan lembaga keuangan lain. Dia meminta BP Tapera mematuhi kaidah tata kelola agar tak terjadi persoalan di kemudian hari. “Kaidah governance dan prudential harus dipenuhi,” ucapnya, Kamis, 4 Juni lalu.
Komisioner BP Tapera, Adi Setianto, menegaskan bahwa perluasan program Tapera ke kelompok pekerja non-PNS merupakan amanat Undang-Undang Tapera. “Kenapa memperluas ke yang lain, ya karena memang mandat undang-undang,” katanya, Kamis, 11 Juni lalu.
Dia pun memastikan bahwa pemerintah, lewat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Keuangan, sejak awal menekankan agar BP Tapera menjadi lembaga kredibel. “Kalau semuanya sudah jejeg (tegak), nanti semua program perumahan berbasis tabungan migrasi ke BP Tapera.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner BP Tapera Adi Setianto./Foto: Tapera.go.id
Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana Tapera Eko Ariantoro menjelaskan, BP Tapera dalam rencana strategisnya memproyeksikan jumlah peserta mencapai 13,1 juta sampai 2024. Adapun dana yang dikelola ditargetkan mencapai Rp 60 triliun.
Dia memastikan BP Tapera akan berpatokan pada aturan perundang-undangan dalam mengelola dana. “Tugas kami adalah bagaimana dana tersebut dikelola dengan tata kelola yang baik, dari sisi kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas,” ucap Eko. Selain itu, BP Tapera menyusun cara agar kegiatan operasional tetap efektif dan efisien, termasuk dalam hal biaya layanan manajer investasi.
AISHA SHAIDRA | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo