Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Perusahaan untuk Korporasi

Penyaluran dana perkebunan untuk peremajaan sawit rakyat centang-perenang di daerah. Tak sebanding dengan besarnya duit untuk program biodiesel.
 

13 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani memetik tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Desa Pasi Kumbang, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, 11 Juni lalu./ANTARA/Syifa Yulinnas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Surat aduan dari Dharmasraya jadi contoh buruknya realisasi dana program peremajaan sawit rakyat.

  • Temuan BPK sudah lama menyorot timpangnya optimalisasi dana perkebunan.

  • Janji baru bos anyar BPDPKS.

DUA carik kertas melayang dari Tiumang, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, ke Jakarta pertengahan Mei lalu. Pengirimnya Koperasi Unit Desa (KUD) Bukit Jaya yang mengadukan tersendatnya pencairan dana Rp 1,4 miliar dalam pelaksanaan kegiatan peremajaan sawit rakyat di lahan mereka. “Kami menduga Dinas Pertanian Dharmasraya berupaya menghambat pencairan ini,” tulis Yusrizal, Ketua KUD Bukit Jaya, yang meneken surat tertanggal 14 Mei 2020 itu. “Karena pelaksanaan pekerjaan peremajaan sawit rakyat di KUD Bukit Jaya tidak dilaksanakan oleh kontraktor yang direkomendasikan oleh dinas.”

Dihubungi pada Rabu, 10 Juni lalu, Yusrizal enggan membahas aduannya itu. “Semua persoalan ini sudah sampai ke Dirjen Perkebunan dan BPDPKS,” katanya. Surat KUD Bukit Jaya memang ditujukan kepada Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dan ditembuskan kepada Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Mereka meminta bantuan karena pekerja yang menggarap peremajaan sawit rakyat itu sudah menuntut pembayaran gaji sebelum Lebaran tiba.

Penjelasan datang dari Sekretaris KUD Bukit Jaya, Edi Setiawan. KUD yang berdiri di Nagari Koto Beringin ini mendapat bantuan hibah dari BPDPKS sebesar Rp 5,6 miliar pada Oktober 2019. Dana itu digunakan untuk meremajakan kebun sawit seluas 224 hektare yang dikelola 87 petani. Pencairannya bertahap, sesuai dengan perkembangan pekerjaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk mengerjakan peremajaan kebun seluas itu, koperasi menempuh metode campuran. Kontraktor menggarap pekerjaan berat, seperti penggalian tanah dan penumbangan pohon sawit. Ada sekitar 27 ribu pohon sawit renta yang harus ditumbangkan. Sedangkan petani mengambil bagian yang ringan, seperti pelubangan dan penanaman. Dua kontraktor datang menawarkan jasa, PT KRBP dan PT BOS. Koperasi sepakat memilih mitra kontraktor KRBP.

Masalah mulai muncul pada Januari 2020. Saat melaporkan pemenang pekerjaan itu, Edi menuturkan, pejabat di Dinas Pertanian Dharmasraya menyarankan koperasi menunjuk BOS atau satu perusahaan lain. Koperasi bergeming, jalan terus dengan KRBP.

Perjanjian tiga pihak antara BPDPKS, bank penyalur dana hibah, dan koperasi mensyaratkan pencairan dana cukup melalui verifikasi dan persetujuan pendamping di lapangan. Pendamping inilah yang menjadi kepanjangan tangan dinas pertanian atau perkebunan di daerah.

Pada KUD Bukit Jaya, Dinas Pertanian awalnya menunjuk Annas Nur Udin, warga Tiumang yang ayahnya juga anggota koperasi, sebagai pendamping. Annas pula yang sempat memverifikasi dua tahap pencairan dana sebelumnya. “Tapi sudah enggak lagi per 6 April,” ujar Annas ketika dihubungi pada Jumat, 12 Juni lalu. Annas dimutasi jauh dan digantikan pendamping baru. Belakangan, Annas memilih mundur dan membantu ayahnya bertani.

Masalah pencairan dana dimulai dari sini. Pendamping baru untuk program peremajaan sawit itu tidak mau menandatangani perkembangan pekerjaan. Alasannya, Edi menjelaskan, Dinas Pertanian Dharmasraya menyatakan pendamping tidak berwenang lagi menandatangani dan memverifikasi perkembangan pekerjaan peremajaan.

Sejak itulah pencairan dana menggantung. Pengurus koperasi akhirnya merogoh kas Rp 60 juta buat mengupah petani yang kadung membuat lubang tanam manual, menanam, menyemprot, dan melangsir bibit. Masalahnya, tidak seperti kontraktor yang bisa menunggu pembayaran hasil pekerjaan, para petani ini sudah kepalang basah. Pohon sawit sumber penghidupan mereka pun sudah tumbang. Sedangkan upah peremajaan yang menjadi penopang hidup jangka pendek belum juga datang. “Jadinya kami talangi dengan dana koperasi dulu. Biar petani bisa ikut berlebaran,” ucap Edi. “Dinas tahu kami telah bersurat ke Jakarta.”

Dihubungi pada 12 Juni lalu, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Dharmasraya Martin Effendi enggan menjawab soal macetnya pencairan dana peremajaan sawit KUD Bukit Jaya. “Konfirmasi langsung saja ke Kepala Dinas,” kata Martin lewat pesan pendek. Martin lalu mengirimkan nomor telepon bosnya, Darisman. Namun nomor tersebut tidak bisa dihubungi.

Seorang pekerja menata muatan Tanda Buah Segar (TBS) sawit di bak truk di Desa Seumantok, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat. ANTARA/Syifa Yulinnas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ruwetnya masalah yang dihadapi KUD Bukit Jaya ini melengkapi deretan penyebab rendahnya penggunaan dana BPDPKS buat peremajaan sawit. Padahal peremajaan menjadi kunci intensifikasi perkebunan sawit nasional. Luas kebun sawit rakyat yang diklaim oleh pemerintah mencapai 5,8 juta hektare hanya bisa menghasilkan 2-3 ton per hektare, jauh di bawah klaim produktivitas perkebunan swasta yang bisa sampai 8 ton per hektare. Dalam catatan BPDPKS, selama 2016-2029, dana BPDPKS untuk peremajaan hanya Rp 2,65 triliun. Bandingkan dengan alokasi dana insentif kepada perusahaan sawit produsen biodiesel yang bisa mencapai Rp 29,2 triliun.

Eddy Abdurrahman, yang baru tiga bulan menjabat Direktur Utama BPDPKS, mengakui telah menerima setumpuk keluhan dari petani sawit mengenai dana program peremajaan. “Ada beberapa daerah yang justru menghambat peremajaan sawit ini,” tutur Eddy di ruang kerjanya di Graha Mandiri, Jakarta, Kamis, 12 Juni lalu.

Laporan pemeriksaan dengan tujuan tertentu Badan Pemeriksa Keuangan pada Februari 2019 mencatat pengelolaan dana sawit yang tak optimal, terutama dalam program peremajaan sawit. Pada 2015-2017, hanya Rp 88 miliar atau sekitar 0,39 persen dari dana sawit yang ngocor buat peremajaan. Mayoritas dana tersedot buat menyubsidi program biodiesel, yakni sebanyak 96.83 persen atau Rp 21,717 triliun.

BPK menilai pencairan dana yang bisa memakan waktu hingga sepuluh bulan sebagai salah satu penyebab belum tercapainya tujuan kegiatan peremajaan. Di sisi lain, auditor negara juga mencermati belum adanya penetapan batas waktu untuk pertanggungjawaban sehingga penggunaan sebagian dana tak teridentifikasi.  

Pasal 93 Undang-Undang Perkebunan tidak secara eksplisit menyebut dukungan terhadap biodiesel sebagai bagian dari peruntukan dana perkebunan. Dana perkebunan, yang berasal dari pungutan ekspor atau pungutan lain dari perusahaan, hanya bisa digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman, serta sarana serta prasarana perkebunan.

Direktur Utama BPDPKS yang pertama, Bayu Krisnamurthi, berdalih bahwa alasan utama pendirian BPDPKS pada 2015 memang untuk menciptakan pasar dalam negeri. Salah satu caranya dengan menerapkan kebijakan biosolar, mencampurkan fatty acid methyl esters (FAME) ke dalam solar—saat itu masih sebanyak 15 persen atau B15. 

Lantaran harga FAME jauh di atas solar, dibuatlah skema subsidi. Anggarannya diambil dari hasil pengumpulan pungutan ekspor minyak sawit mentah. Pemerintah, kata Bayu, beranggapan bahwa pungutan ekspor sawit bisa digunakan buat biodiesel karena masuk kategori promosi. “Dana itu boleh untuk menstabilkan pasar produk perkebunan. Di sinilah masuknya penggunaan dana sawit tadi buat biodiesel,” ucap Bayu, Selasa, 9 Juni lalu.  

Ihwal peremajaan, menurut Bayu, tantangannya lebih rumit. Banyak lahan petani rakyat tumpang-tindih dengan kawasan hutan. Dalam situasi ini, BPDPKS tidak bisa mengucurkan dananya. Ada juga petani yang tidak rela sawitnya diganti karena khawatir akan kehilangan pendapatan selagi menunggu sawit baru bisa dipanen.

BPDPKS sempat menyederhanakan proses permohonan dana peremajaan yang hanya melibatkan bank penyalur. Bank ini juga berfungsi sebagai verifikatur penerima bantuan dan perkembangan pekerjaan. Cara itu bisa berjalan karena bank penyalur biasanya juga memberikan kredit ke petani atau kelompok tani penerima hibah.

Namun strategi itu tak bertahan lama karena Komite Pengarah BPDPKS memutuskan peremajaan harus diproses melalui Direktorat Jenderal Perkebunan sebagai pelaksana Undang-Undang Perkebunan. Jadi, sejak 2017, kelompok tani yang ingin mendapatkan bantuan peremajaan—saat itu sebesar Rp 25 juta per hektare dengan luas lahan maksimal 4 hektare—harus mengajukan permohonan lewat dinas di daerah untuk kemudian disetor ke Kementerian Pertanian.

Pada Juni 2019, BPDPKS kembali menyederhanakan proses dengan meluncurkan skema Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) Online. “Dana peremajaan itu ada triliunan rupiah,” ujar Dono Boestami, mantan Direktur Utama BPDPKS yang meluncurkan PSR Online, saat dihubungi pada Selasa, 9 Juni lalu. “Tapi kan kami membayar berdasarkan rekomendasi teknis dari Kementerian Pertanian dan penyortiran verifikasi.”

Perkara realisasi dana peremajaan ini seturut dengan temuan BPK. Sepanjang 2016-2018, dari anggaran peremajaan sebesar Rp 3,5 triliun, hanya Rp 429 miliar yang bisa disalurkan. Penyaluran dana peremajaan baru melompat pada 2019, yang mencapai Rp 2,262 triliun.

Saat dilantik menjadi bos baru BPDPKS pada Maret lalu, Eddy langsung dibebani target membantu peremajaan kebun sawit hingga 500 ribu hektare dalam tiga tahun ke depan. Untuk mengejar target itu, pemerintah telah menaikkan biaya bantuan ke petani dari Rp 25 juta per menjadi Rp 30 juta per hektare.

Eddy berjanji mengejar target itu, termasuk dengan PSR Online. Dia juga berencana menciptakan jalur pengajuan serta verifikasi lebih mudah yang akan memangkas kewenangan daerah. “Tapi jangan diekspos dulu, ha-ha-ha….”

KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus