Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Susanti menjadi salah seorang pengajar uji PCR kepada para tenaga laboratorium di seluruh Indonesia.
Ia terbiasa menggunakan PCR untuk meneliti kanker usus besar.
Susanti berfokus mengembangkan alat diagnosis genetik untuk mendeteksi bakat keturunan kanker usus besar.
LOCKDOWN akibat pandemi Covid-19 membuat Susanti mengalami stres. Mahasiswi yang sedang menempuh studi patologi di Sekolah Kedokteran University of Nottingham, Inggris, ini tak bisa bergerak leluasa setelah pemerintah Inggris melakukan pembatasan ketat sejak 23 Maret lalu. Sebelum pandemi, ia disibukkan oleh berbagai kegiatan, termasuk penelitian studi S-3 tentang kanker usus besar. “Mau ke laboratorium juga prosedurnya sulit, jadi lebih banyak bengong di rumah,” ujarnya, Rabu, 3 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka, ketika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menawarinya memberikan pelatihan uji polymerase chain reaction (PCR) kepada petugas laboratorium untuk mengatasi Covid-19 secara online, Susanti langsung menerimanya. Santi—demikian ia disapa—melatih puluhan petugas laboratorium di seluruh Indonesia setiap pekan. Dalam dua bulan terakhir, ia melatih hampir seribu petugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Santi, 37 tahun, juga diajak bergabung menjadi anggota Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Konsorsium itu diketuai oleh Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti. “Ketika ada kasus terkonfirmasi positif di Indonesia, saya langsung kontak Pak Ali Ghufron, ‘Apa yang bisa saya bantu?’ Beliau mengatakan nama saya dimasukkan ke konsorsium sebagai salah satu diaspora,” katanya.
Tugas Santi di antaranya merumuskan penelitian bersama antara tim dari University of Nottingham dan LIPI perihal metode PCR yang efektif untuk mendeteksi Covid-19. Mereka juga mengembangkan cara sequencing yang lebih mudah untuk mengenali SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Menurut Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London, Endang Aminudin Aziz, Santi yang menjadi motor tim tersebut. Ia sampai mencari reagent sendiri saat timnya kehabisan. “Dia, kalau sudah punya kemauan, keukeuh. Dikejar terus sampai berhasil,” tuturnya.
Santi sudah akrab dengan uji PCR jauh sebelum Covid-19 merebak. Penelitian doktoralnya di University of Nottingham tentang studi genetik pada kanker usus besar alias kolorektal menggunakan cara ini. “Tes PCR itu kegiatan sehari-hari saya,” ujar anggota staf pengajar di Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jawa Tengah, tersebut.
Santi meneliti kanker sejak kuliah S-2 di The John Curtin School of Medical Research, The Australian National University, pada 2009. Kala itu, ia berfokus mendalami angiogenesis, yakni proses pembentukan pembuluh darah baru yang membuat sel kanker dari satu organ meruyak ke organ tubuh lain. Dia menghitung kemungkinan angiogenesis tersebut secara matematis, sampai akhirnya ia lulus pada 2011.
Dua tahun setelah lulus, alumnus Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada itu berniat melanjutkan studi S-3. Rencana tersebut berjalan mulus. Dua aplikasi lamaran beasiswanya di The Australia Prime Ministers Endeavour Postgraduate Award dan Islamic Development Bank (IDB) Merit Scholarship lolos.
Santi cenderung memilih beasiswa di Australia. Duta Besar Australia untuk Indonesia memberikan award tersebut langsung kepadanya pada Desember 2013. “Waktu itu saya merasa karier saya sedang menanjak, saya sudah lulus kuliah S-2, dapat beasiswa untuk S-3,” ucapnya.
Namun, sebelum Santi kembali berangkat ke Australia, suaminya, Ciptoaji, mewanti-wanti untuk memeriksakan diri ke dokter. Beberapa bulan sebelumnya, Santi mengeluh mengalami nyeri pada perut, buang air besarnya berdarah, dan berat badannya menyusut. Santi, yang selama ini tak menghiraukan keluhan tersebut, akhirnya menurut. Diagnosis dokter membalikkan semangat hidupnya.
Januari 2014, dokter memvonis Santi menderita kanker usus stadium III. Santi yang selama ini mempelajari kanker jelas syok. Ia paham betul hanya 50-70 persen penderita yang bisa bertahan hidup sampai lima tahun. Kalaupun pulih, ia juga sadar kemungkinan kambuhnya besar. Makin ia mencari tahu tentang penyakit ganas tersebut, makin ia cemas. “Suami saya meminta saya berhenti membaca jurnal,” katanya.
Santi akhirnya pasrah dengan pengobatan yang diberikan dokter. Selama tiga tahun, ia bolak-balik dioperasi dan menjalani kemoterapi. Sepanjang proses tersebut, Santi menyimpan banyak pertanyaan. Salah satunya tentang mengapa ia bisa menderita kanker usus besar ketika usianya masih awal 30-an tahun.
Dari banyak literatur yang ia baca, kanker usus besar lebih banyak menyerang orang berusia di atas 50 tahun di negara Barat. Penyakit tersebut biasanya tumbuh pada usia yang lebih muda kalau ada riwayat kanker dalam keluarga. Namun Santi tak memiliki dua faktor itu. Ia juga merasa selama ini mengonsumsi makanan sehat. “Saya clean eater, menghindari makanan yang diproses,” ujarnya.
Rupanya, menderita kanker usus besar pada usia muda lebih lumrah terjadi di Indonesia. Satu dari tiga penderitanya berusia di bawah 40 tahun. Pengalaman ini membuat Santi kembali bersemangat melanjutkan studi.
Susanti di Department of Cancer and Stem Cell, School of Medicine, University of Nottingham, UK./Dok. Pribadi
Santi ogah waktunya dihabiskan dengan merasa cemas penyakit itu akan kambuh lagi. Namun kondisi kesehatannya yang menurun akibat pengobatan kanker membuat pengajuan visa ke Australia ditolak. Pada 2017, ia akhirnya bertolak ke Nottingham dengan bekal beasiswa dari IDB.
Santi berfokus meneliti genetika pada kanker kolorektal. Ia kemudian bersama Mohammad Ilyas, supervisornya yang merupakan keturunan Inggris-Pakistan, mendirikan Nottingham-Indonesia Collaboration for Clinical Research and Training (NICCRAT). Ini adalah kolaborasi antara peneliti Indonesia dan Nottingham. Mereka mengembangkan alat uji genetik untuk mengetahui keberadaan gen yang diturunkan dalam keluarga yang bisa menyebabkan kanker.
Awal tahun ini, Santi mendirikan perusahaan rintisan yang terpisah dari NICCRAT, PathGen, sebagai penghubung antara peneliti dan perusahaan. Maka hasil penelitian tak berhenti sebatas jurnal. “Jika tak ada Covid-19, semestinya alat uji genetik kanker itu sudah dalam proses validasi di Indonesia,” tutur Santi.
Menurut salah seorang penasihat di PathGen, Ahmad Utomo, satu dari lima penderita kanker usus besar ada kemungkinan akan menurunkan penyakit tersebut kepada keturunannya. Dengan alat tersebut, bisa diketahui apakah keturunan penderita juga berbakat menderita kanker. Maka, jika dari dini bakat genetika tersebut terdeteksi, pencegahan dan penemuan penyakitnya bisa lebih cepat.
Alat itu, kata dia, dibuat dengan biaya murah sehingga terjangkau masyarakat di negara berkembang, termasuk Indonesia. “Sehingga memungkinkan di-cover oleh BPJS,” ujarnya.
Santi sempat meminta tolong Endang Aminudin Aziz untuk membantunya menghubungkan dengan pihak pemerintah Indonesia terkait dengan NICCRAT dan pengujian alat ini. Ia ingin agar kerja sama di antara peneliti di dua negara tersebut mendapat sokongan, juga agar alat yang mereka kembangkan bisa dimanfaatkan banyak orang.
Menurut Ahmad, Santi terjun langsung menghubungi banyak pihak mengenai penelitian mereka. Sampai saat ini, mereka mendapat dukungan dari Kementerian Riset dan Teknologi, LIPI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kalbe Farma, dan Yayasan Kanker Indonesia. “Untuk ukuran ilmuwan, dia pandai menjelaskan pentingnya penelitian tersebut kepada banyak stakeholder,” katanya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo