Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Veteran, Bandung. Kalau Anda melintasi jalan ini, akan terlihat sebuah toko furnitur di ruko bernomor 107. Kaca depannya bening sehingga perabot dan mebel jualan di dalamnya bisa terlihat jelas dari trotoar. Dulu, akhir 1970-an, barang siapa melewati toko itu akan menyaksikan sebuah toko dengan kaca gelap bergambar drum serta siluet penggebuknya. Konon, itu siluet Bill Bruford, penabuh drum band rock progresif asal Inggris, Yes dan King Crimson.
Para penggemar musik tahu toko itu dulu markas label rekaman kaset Yess. Dari situlah ribuan kaset Yess dipasarkan ke Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, hingga Denpasar. Label rumahan itu telah tutup pada 1988. Pemilik Yess, A Fung, sekarang memiliki toko di seberangnya. Ia tak lagi berjualan kaset, tapi sepeda.
Tatkala Tempo menyambangi kediamannya pada Maret lalu, sang istri mengatakan A Fung sibuk. Hari berikutnya, istrinya bilang suaminya menolak untuk wawancara tentang kaset Yess. "Itu sudah masa lalu. Saya tidak mau bercerita lagi," kata A Fung melalui telepon pada hari lain.
Yess memang telah menjadi cerita "tempo doeloe". Yess adalah bagian dari "rekaman indie" Bandung pada 1970-1980-an. Saat itu di Bandung muncul label-label kaset produksi rumahan dengan modal cekak. Produksi kaset mereka jauh di bawah raksasa label Jakarta, seperti Aquarius dan Billboard, yang mencetak puluhan ribu kaset setiap bulan dan memiliki gerai di mana-mana. Namun mutu produksi dan kurasi pilihan "kaset Bandung" tak kalah. Awalnya, pada 1960-an, piringan hitam di Bandung menjamur. "Piringan hitam itu kebanyakan masuk dari Singapura lewat Jakarta," kata Yongky Nusantara, penggemar musik di Bandung yang telah sepuh.
Harga piringan hitam itu selangit. Per keping bisa Rp 5.000, padahal harga kaset hanya sekitar Rp 400. Nah, sejumlah toko pun kemudian membuat produksi kaset dengan cara merekam lagu dari piringan hitam. Selain Yess, di Bandung muncul label seperti Mona Lisa, Apple, dan Hidayat. Pada zaman itu "bajak-membajak" lagu bisa dimungkinkan karena Indonesia belum mengikuti Konvensi Bern tentang hak cipta.
Yess boleh dibilang yang paling unik-dari dunia perkasetan rumahan Bandung pada 1980. Ia fenomenal. "Kaset bajakan"-nya lain daripada yang lain. Secara visual tampilan Yess khas. Sampulnya selalu berwarna gradasi biru dan hijau. Di punggungnya terdapat nomor urut. Dan, yang lebih penting, selera Yess gokil. Yess berani segmented, merilis album rock yang aneh-aneh. Pada 1980-an, ketika dunia musik Indonesia dibanjiri rekaman grup musik pop, disko, dan rock 'n' roll, Yess condong merekam album progressive rock, jazz rock, dan electronic rock.
Gentle Giant, Jean Luc Ponty, Van der Graff, Esperanto, PFM, Al Dimeola, Chic Corea, Klaus Schulze, Peter Bauman, Lucifer's Friend, John McLaughlin, Kraftwerk, Eberhard Schoener, dan Isao Tomita adalah sederet band dan musikus yang direkam Yess. Tak pelak, bagi sebagian orang, Yess telah berjasa memberi wawasan musik rock yang berbeda. Yess melatih kuping mendengar komposisi rock yang nyeleneh-nyeleneh. Bahkan Yess berani memproduksi album musikus yang tak dikenal. "Bayangkan, Yess pernah mengeluarkan album Johnny Warman, "Walking Into Mirrors". Ini siapa? Saya tak pernah mendapatkannya di kaset-kaset lain," kata Gatot Widiyanto, kolektor fanatik Yess.
Bagaimana dulu A Fung memilih materi Yess? Tak banyak yang tahu, otak Yess sesungguhnya adalah Ian Arliandy. Ia "kurator" yang ditunjuk A Fung untuk menyeleksi album yang direkam Yess. Ia yang diserahi tugas A Fung membeli piringan hitam. Tempo menemui Ian di sebuah hotel tua di Jalan Pasirkaliki, Bandung. Ia kini menjadi pegawai hotel tersebut. Agak susah mengorek masa lalunya. Toh, pria 64 tahun itu kemudian terpancing ketika Tempo mulai berbicara tentang Pink Floyd, Jethro Tull, dan lain-lain. Darahnya memang darah prog.
Ian mengenang, A Fung mulanya di Jalan Veteran 107 itu memiliki label bernama Diamond Records. Diamond saat itu merekam lagu pop dan rock Barat serta Indonesia yang sudah pasaran, seperti The Beatles, Deep Purple, Rolling Stones, dan Koes Plus. Harga per kaset C-60 dan C-90 Rp 400-600. "Selera Diamond Records kacau, asal-asalan. Disko dan dansa-dansa pun masuk," kata Ian.
Diamond juga melayani rekaman lagu menurut daftar yang dibawa pemesan. Ian ingat itulah sebabnya pada 1972-1973 ia sering bertandang ke studio milik A Fung itu. Di tempat itu ia acap bertemu dengan sesama penggemar musik. Hingga akhirnya Ian ditawari A Fung bekerja di toko kaset tersebut. "Mungkin A Fung menganggap selera musik saya rada aneh, maka saya ditawari bekerja di tokonya," ujar Ian.
Ian mulai bekerja di Diamond pada 1973. Umurnya masih 23 tahun saat itu, lebih muda sedikit daripada A Fung. Dia kemudian mengusulkan kepada A Fung agar merekam album rock progresif selain musik pop dan rock yang sudah berjalan. "Kepada A Fung saya bilang, kita tak mungkin menandingi label besar seperti Aquarius. Kita harus memasarkan musik yang tak direkam mereka."
A Fung setuju. Ian pun mulai mencari piringan hitam album rock progresif. Selain di Bandung, dia mencari ke sejumlah toko piringan hitam di Jakarta, seperti di kawasan Pasar Baru dan Lokasari. Ian bersama A Fung mulai memproduksi album dengan nama label Yess pada 1975. Ian mengakui nama itu terpengaruh dari band progresif Yes yang digemarinya. Makanya logo burung terbang band itu beserta gambar drum setnya melekat pada sampul kaset Yess.
Produksi pertama Yess juga adalah album Yes. Yess bernomor seri 001 adalah album Fragile dari grup Yes. Selanjutnya, seri 002, album pemain keyboard Yes, Rick Wakeman, berjudul Journey to the Center of the Earth. Menurut Ian, penomoran itu sebetulnya untuk memudahkan melayani pesanan. "Toko yang memesan kaset Yess biasanya menyebut nomor serinya, bukan judul albumnya," ujarnya.
Pada awal 1980-an, Yess benar-benar berfokus merekam album rock progresif. "Saya ingin betul-betul khusus progressive. Misi saya ingin menularkan genre musik ini. Progresif itu semakin enggak ngerti semakin enak," katanya. Menurut Ian, selain merekam album grup, dia menyelusuri solo dari para pemain grup rock progresif. "Saya melihat family sebuah band. Misalnya pemain keyboard Yes, Rick Wakeman, atau Patrick Moraz membuat solo album, saya ikuti terus. Juga solo mantan musikus Genesis, seperti Peter Gabriel, Allan Holdsworth, Anthony Philip. Atau solo Peter Hammil dari Van der Graff."
Ian juga membuat album kompilasi seperti Memory Heavy Hits, Heavy Slow, dan Blues in Memory. Lagu yang ada di album kompilasi itu dipilihnya sendiri. "Saya pilih satu per satu dari berbagai piringan hitam, lalu saya gabungkan." Dan seleranya tidak pasaran. Lagu-lagu slow yang ia pilih bukan yang kita kenal dari Scorpions, Black Sabbath, dan Kiss, melainkan dari grup Ursa Major, Moot the Hoople, dan lain-lain. Bahkan, bila memilih blues, ia tak mau memasukkan lagu jawara seperti Eric Clapton. Total jumlah album yang diproduksi Yess sampai Yess "wafat" mencapai 731 kopi.
Ian mengatakan orang yang berjasa membantu mencarikan piringan hitam adalah Roy Hendrix Raider. Pria kelahiran Bandung yang bermukim di Rotterdam, Belanda, ini adalah rekan nongkrong Ian. Ian selalu mengirim pesanan album rock progresif ke Roy untuk mencarikannya di Belanda. Bahkan, jika piringan hitam yang dipesan Ian tak ada di Belanda, Roy pun kerap mencarinya hingga ke Jerman.
Di Belanda, toko pelat langganan Roy lama-kelamaan tahu selera Ian dan menawarkan album grup progresif paling gres. Itulah sebabnya, kalau kita perhatikan, banyak rekaman Yess yang menampilkan grup progresif Belanda, seperti Focus, Jan Akkerman, Thys van Leer, dan Cubby and Blizzard. "Roy tahu lebih dulu album-album terbaru grup progresif. Paketnya biasanya datang sebulan sekali. Jumlahnya bisa mencapai 20 album," kata Ian.
Ian ingat proses rekaman Yess serba manual. Di studio Jalan Veteran, tutur Ian, ia memiliki rak-rak yang penuh dengan peralatan audio. Pertama turntable, pemutar piringan hitam. Lalu open reel (pita magnetik rekaman analog) untuk pembuatan master album rekaman. Proses rekaman dimulai dengan pembuatan master. Piringan hitam diputar, lagunya ditransfer ke open reel.
Selanjutnya dari master itu direkam ke kaset. Ian mengenang, di Jalan Veteran itu, ia memiliki 40 tape recorder merek Teac yang disusun dalam tiga tingkat rak. Sebanyak 40 kaset serentak bisa direkam melalui tape deck itu. Kasetnya memakai merek Maxell. "Saya langsung beli di pabrik Maxell di Jakarta." Ian ingat bagaimana ia bisa sehari penuh menjaga kualitas suara. Dari mengatur bas, treble, sampai balancing. Tapi ia mengerjakan semua itu dengan sepenuh hati. Betapapun demikian, sering ada gangguan. "Kalau 40 tape saya nyalakan semua, listrik sering jeglek…, mati. Kalau gitu harus diulang lagi dari awal," katanya seraya tertawa.
Kemasan sampul Yess pun semua dikerjakan manual. Cover Yess berbeda dengan kaset lain karena berbentuk tempelan foto. Foto itu dipotret dari gambar sampul album piringan hitam yang direkam. Menurut Ian, foto itu ia cetak di Jonas Photo Bandung. Jumlahnya ratusan hingga ribuan lembar. "Foto itu lalu kami potong-potong kecil dan kami tempelkan di sampul kaset yang telah disiapkan. Saya punya pegawai khusus untuk nempel-nempelin foto."
Sampul kaset, menurut Ian, dicetak di bilangan Pagarsih, Bandung. Sampul itu mulanya kosongan, hanya bergradasi warna biru atau hijau. Sampul itu harus diisi dengan judul-judul lagu. "Nah, untuk mengetikkan judul-judul itu, kami pakai mesin offset yang hurufnya bisa timbul. Kami juga punya pegawai sendiri untuk mengawasi," ujarnya. Kekhasan Yess adalah cetakan hurufnya agak timbul.
Menurut Ian, ada saja kesalahan saat mencetak sampul dan mengisikan teks judul lagu. Misalnya warna sampul album yang seharusnya gradasi biru meleset jadi merah. "Karena itu, di pasar sempat beredar kaset produksi Yess sampulnya berwarna merah, bukan biru. Ada yang menganggapnya itu edisi langka, padahal itu salah cetak, ha-ha-ha…." Selain itu, kerap terjadi judul lagu salah. "Anda mungkin pernah mendapati Yess yang di dalamnya ada judul yang salah cetak, itu karena dikerjakan manual satu per satu...."
Tiap album Yess berbeda jumlah produksi rekamannya. Namun, menurut Ian, tidak ada yang lebih dari 2.000. Itu pun tidak sekaligus dicetak semua. Biasanya per album ia cetak dulu 50-200 kaset. "Saya antar kaset itu ke Duta Suara di Jalan Sabang, Jakarta. Para juragan toko kaset dari Yogyakarta, Surabaya, dan Malang juga sering mengambil sendiri di Bandung. Mereka beli putus. Bila stok habis tapi masih banyak yang berminat, saya baru produksi lagi," ujar Ian.
Tony Prabowo, 56 tahun, komponis kontemporer, mengakui kaset Yess sangat mempengaruhi dirinya. "Pengaruhnya gila sekali," tuturnya. Tony, yang terakhir membuat komposisi untuk opera eksperimental Kali dan Tan Malaka karya Goenawan Mohamad, mengumpulkan kaset Yess sejak SMA di Malang, Jawa Timur.
Pada 1977, Tony pindah ke Jakarta untuk studi komposisi di Institut Kesenian Jakarta. "Saya ingin mengetahui bagaimana musikus berlatar belakang akademis membuat rock. Nah, Yess banyak menerbitkan album band seperti Ekseption, yang latar belakangnya akademis." Tony juga suka mengamati komponis seperti Mike Oldfield. "Mike Oldfield itu bikin lagu panjangnya 25 menit. Heran juga saya ada rekaman seperti Yess yang mau memperbanyak lagu seperti itu," katanya.
Semasa kuliah, Tony sempat membuat orkestra beranggotakan 22 orang yang memainkan musik rock progresif, seperti karya Thijs van Leer, Focus, dan Gentle Giant. "Transkrip not balok saya ulik dari koleksi kaset Yess saya. Saya play dan rewind berulang-ulang," katanya. Orkestra Tony bermain di banyak tempat, dari Universitas Indonesia, Trisakti, hingga Institut Teknologi Bandung. Suatu kali, saat main di lapangan terbuka Taman Ismail Marzuki, orkestra itu mengiringi grup Abbhama, yang dipimpin Iwan Madjid, yang juga kuliah di IKJ. "Musik Abbhama dipengaruhi Emerson, Lake & Palmer," ujarnya.
Tony yakin betul grup musik 1970-an terpengaruh grup progresif yang diperkenalkan Yess. Ia juga yakin album seperti Guruh Gipsy dan Badai Pasti Berlalu terpengaruh Yess. "Keenan Nasution dan kawan-kawan itu pasti terpengaruh. Tidak mungkin tidak," katanya. Tony mengakui kegemarannya mendengar progressive rock dari Yess juga membuatnya mudah melakukan studi terhadap komponis avant garde seperti Schoenberg.
Pada zaman kuliah, Tony memantau perkembangan progressive rock dari Muziek Express-majalah musik Belanda. "Saya lihat ada album baru musik progresif di-review. Tidak lama kemudian albumnya sudah dikeluarkan Yess. Enggak telat." Tony kini ingin menggelar suatu pementasan progressive rock. "Saya ingin konser orkestra memainkan karya Frank Zappa, Emerson, Lake & Palmer, dan karya saya sendiri."
Kaset keluaran Yess juga menjadi referensi bagi Harry Sabar, musikus dan komponis. "Dibanding kaset lain, Yess istimewa karena lebih berani memproduksi band yang belum terkenal. Kalau kaset lain, tunggu terkenal dulu baru dibikin kasetnya," kata Harry. Band seperti Gentle Giant dan Gong pertama kali ia ketahui dari Yess.
Menurut Harry, musik dalam kaset Yess terbilang sulit dimainkan. Yang ingin menguasainya harus berusaha keras. "Itulah sebabnya musik pada masa itu terdengar lebih rumit, karena musikusnya benar-benar ngulik," katanya. Sejak kuliah di Institut Kesenian Jakarta pada 1973, Harry rajin mengoleksi kaset Yess. Kaset itu juga menjadi acuan bagi Harry dalam memburu piringan hitam. "Kadang ada band yang kita tahu dari Yess, setelah itu baru beli pelatnya," ujar Harry.
Ian masih ingat, dulu Harry Roesli (almarhum) sering mampir ke Veteran 107. "Dia datang pakai sarung. Kadang-kadang ia membawa pelat." Ian juga ingat Iwan Rollies (almarhum) kerap datang. "Iwan, saya ingat, pernah pinjam piringan hitam grup Colloseum." Suatu kali, menurut Ian, Enteng Tanamal datang. "Dia perlu musik yang suaranya rada aneh-aneh untuk ilustrasi film. Lalu saya pinjamin album Tangerine Dream."
Setelah berproduksi sekitar satu dekade, Yess akhirnya tutup pada 1988. Tahun itu adalah tahun kematian kaset di Indonesia. Masa-masa "keemasan" dunia bajakan memasuki sandyakala. Gara-garanya adalah Bob Geldof. Waktu itu penyanyi I Don't Like Monday ini geram karena kasetnya, Live Aid, yang dimaksudkan untuk amal kelaparan di Afrika, dibajak di Indonesia. Ia datang ke Jakarta mengancam memboikot pariwisata Indonesia. Sejak itulah era kaset dengan mutu bagus tapi tanpa bayar royalti ke perusahaan pemegang lisensi artis selesai. Hanya label rekaman besar yang bisa bertahan. Industri kaset kelas rumahan, seperti Yess, satu per satu ambruk.
Bagaimana perasaan Ian saat Yess tutup? Dia tak menjawab. Ia hanya mengatakan sesungguhnya pada akhir 1980-an itu ia sudah susah mencari album grup progressive rock yang bagus, paling tidak yang sesuai dengan seleranya. Bila kita perhatikan, beberapa album pemusik pop, seperti A-Ha dan Sade, pada 1980-an pernah diterbitkan Yess. "Itu kecelakaan. Dengan amat terpaksa saya kompromi. Bos yang menginginkan," tutur Ian mengeluh. Menurut dia, setelah menunggu lama, akhirnya ada grup musik progresif yang mengena di kupingnya, yaitu Marillion.
Ian lalu memproduksi album-album Marillion. Bahkan, dalam sejarah Yess, album Marillion Fugazi, Script for a Jester Tear, Misplaced Childhood, Clutching at Straw, Brief Encounter, dan Real to Reel paling laku. "Saya memproduksi setiap album Marillion sebanyak 2.000-3.000 kaset," kata Ian.
Ian ingat, walaupun demikian, ia tetap tak untung besar. "Pas-pasan, tidak jadi kaya." Karena itu, ia mafhum bila A Fung kemudian berganti bisnis. Ian juga kemudian meninggalkan bisnis kaset. Dunia kaset selesai baginya. Ia tidak tahu ke mana ribuan piringan hitam koleksi Veteran 107. "Mungkin sudah dijual A Fung."
Ian seakan-akan tak percaya, setelah hampir 25 tahun, kaset Yess masih diburu para penggemar kaset. Sejumlah pedagang kaset bekas, seperti di Blok M Square, Jakarta, dan di Jalan Dipati Ukur, Bandung, masih menjual kaset rekaman Yess garapannya. Harganya Rp 25-50 ribu. Ian, pegawai hotel itu, mungkin tak menyadari bahwa sesungguhnya ia memberi kontribusi luar biasa bagi kuping pendengar musik. "Tanpa Yess, mungkin wawasan musik saya miskin," kata Tony Prabowo.
Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono, Ananda Badudu (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo