Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ketika Film Fantasi Ditafsir Religi

Lembaga Sensor Film tidak meloloskan Noah dengan dasar fatwa Majelis Ulama Indonesia. Padahal ini bukan film agama. Ini film fiksi yang terinspirasi kisah Nuh dalam Kitab Kejadian.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Noah
Sutradara: Darren Aronofsky
Skenario: Darren Aronofsky, Ari Handel
Pemain: Russell Crowe, Jennifer Connelly

Sebutir benih dari Methuselah, sang kakek, ditanam Nuh di tanah kering tandus tepat di depan kemahnya. Tak berselang lama, muncul sebuah mata air yang menyembur dari dalam tanah secara tiba-tiba. Air mulai mengalir ke lima penjuru membentuk sungai-sungai kecil. Daratan tandus yang teraliri air itu berubah menjadi padang rumput. Kemudian, muncul satu per satu pepohonan, tumbuh mulai dari tunas lalu meninggi dan membesar sampai menjadi pohon dewasa. Ada puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan batang pohon memagari kemah Nuh. Dalam hitungan menit, Nuh telah berada di bawah naungan hutan lebat tanpa beranjak sejengkal pun dari tempatnya berdiri.

Begitulah penggambaran mukjizat Nuh dengan bantuan aplikasi computer generated imagery (CGI) yang dibuat oleh Industrial Light & Magic. Perusahaan ini juga pernah membuat efek khusus untuk banyak film, dari Star Wars (1977), Pirates of the Caribbean (2003), Transformers (2007), Avatar (2009), hingga Captain America (2014). Bukan hanya itu peran efek khusus dalam film produksi Paramount Pictures ini. Salah satunya, yang bisa jadi membuat film ini dikritik menyimpang dari kisah Nuh seperti yang diceritakan dalam kitab-kitab suci agama langit, adalah keberadaan sosok Watcher.

Darren Aronofsky, sutradara sekaligus penulis skenario Noah (bersama Ari Handel), menghadirkan para Watcher yang dipimpin oleh Samyaza (Nick Nolte) itu sebagai penolong dan pelindung bagi Nuh dan keluarganya. Watcher merupakan raksasa berbadan batu dan memiliki enam tungkai. Perawakannya sekilas mirip robot Decepticon dalam Transformers tapi dalam versi batu. Pada mulanya, Watcher adalah malaikat yang diturunkan Sang Pencipta untuk membantu manusia di bumi. Mereka jatuh dari langit seperti meteor. Begitu menghunjam bumi, tubuh malaikat bersayap yang berwujud cahaya yang panas itu akhirnya terbungkus oleh batu yang meleleh sehingga bentuknya jadi tak simetris alias berantakan.

Dengan bantuan Watcher inilah Nuh, yang diperankan Russell Crowe, membangun bahtera sesuai dengan perintah Tuhannya agar terhindar dari bencana banjir superdahsyat. Watcher menebangi pohon, menyiangi dahan dan rantingnya, menyusunnya menjadi lambung dan geladak kapal berbentuk seperti peti kemas itu. Watcher juga yang melindungi Nuh, keluarga, dan kapalnya dari serbuan kelompok yang dipimpin Tubal-Cain (Ray Winstone). Mereka rela binasa begitu senjata anak buah Tubal-Cain merobek batu pembungkus tubuh mereka. Tapi pengorbanan itu pula yang membebaskan mereka dari kutukan Tuhan sehingga bisa kembali lagi ke langit.

Dari sini tampak jelas bahwa Noah bukanlah film religi, melainkan fantasi yang memamerkan segi artistik dan efek komputer yang menakjubkan. Kekayaan visualisasi ini serupa dengan film Aronofsky sebelumnya, The Fountain (2006), yang memadukan elemen fantasi, sejarah, agama, dan fiksi sains. Bahkan, untuk menegaskan itu, Paramount Pictures membuat iklan pengakuan: "Film ini terinspirasi dari kisah Nuh. Kami percaya bahwa film ini benar pada esensi, nilai-nilai, dan integritas cerita yang merupakan landasan iman bagi jutaan orang di seluruh dunia."

Jadi, sangat mengherankan respons yang diambil Lembaga Sensor Film terhadap film Noah ini. Lembaga penggunting adegan itu dalam keputusannya pada 21 Maret lalu menyatakan Noah tidak lolos sensor sehingga tidak dapat diedarkan di Indonesia. Keputusan LSF ini serupa dengan kebijakan Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, yang melarang pemutaran film berbiaya produksi sekitar US$ 125 juta itu.

Djamalul Abiddin Ass, Ketua Komisi B LSF-membidangi pemantauan, evaluasi, dan sosialisasi-mengatakan penolakan LSF ini didasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. "Karena film itu bisa menimbulkan kontroversi dan gesekan antar-umat," ujarnya ketika dihubungi pada Selasa pekan lalu. Menurut Djamalul, pihaknya menerima keberatan dari perwakilan umat Islam seperti Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah. Menurut dia, film itu jauh berbeda dengan kisah Nabi Nuh dalam Al-Quran.

Djamalul lalu memberi contoh beberapa adegan kontroversial: Naameh, istri Nuh, adalah orang yang beriman dan ikut naik ke bahtera serta Nuh yang digambarkan mudah marah dan melakukan pembunuhan (sebetulnya lebih karena upaya Nuh bertahan dari serangan musuh). "Padahal, di Al-Quran, Nabi Nuh itu lemah lembut dan tidak melakukan kekerasan. Sedangkan Naamel itu masih kafir," kata Djamalul membandingkan.

Adapun Wakil Ketua LSF Nunus Supardi menjelaskan dasar utama dari keputusan tidak meloloskan Noah karena tidak sesuai dengan fatwa MUI. Lembaga sensor ini berpegang pada fatwa tertanggal 2 Juni 1988, yang berisi: para nabi/rasul dan keluarganya haram divisualisasikan dalam film. "Ini yang menjadi pegangan kami. Daripada timbul masalah, maka tidak diloloskan," ujar Nunus.

Noah diajukan oleh PT Omega Film untuk disensor lembaga ini pada 13 Maret lalu. Sehari setelahnya, lima anggota LSF melakukan sensor pertama. Tim penilai itu tidak memberikan keputusan karena ini menyangkut masalah agama, sedangkan mereka tidak ada yang mewakili unsur agama. Pada 15 Maret, tujuh anggota LSF, termasuk perwakilan dari Muhammadiyah, MUI, dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melakukan rapat sensor tahap kedua.

"Rapat bulat menolak film ini diloloskan," ujar Djamalul. Sebenarnya suara perwakilan umat Kristen dari KWI, kata Djamalul, tidak mempersoalkan film itu. Menurut dia, KWI menilai film ini hanyalah hiburan semata dan bukan film yang menggambarkan hal-hal nyata. "Tapi mereka sepakat untuk ikut menolak atas pertimbangan kerukunan umat beragama."

LSF terkesan tidak konsisten jika fatwa MUI itu yang dijadikan alasan utama tidak lolosnya Noah. Pasalnya, film yang juga jelas-jelas menampilkan sosok nabi dan rasul ,seperti Son of God, justru dengan mulus bisa beredar. Dalam Son of God banyak ditampilkan sosok Ibrahim, Isa, Musa, dan Adam. Bahkan, sejak awal pekan ini, jaringan bioskop Blitz Megaplex serentak memutarnya. Anehnya, baik Nunus maupun Djamalul mengaku tidak mengetahui adanya film yang berdasarkan Kitab Perjanjian Baru besutan Christopher Spencer ini. Nunus juga lupa The Ten Commandments, yang menggambarkan Musa, atau The Last Temptation of Christ, yang menggambarkan Isa, pernah ditayangkan di sini. Dan sama sekali tak ada protes dari penonton.

Keputusan lembaga yang kini dipimpin Mukhlis Paeni ini terkesan melecehkan kecerdasan penonton. Sutradara Hanung Bramantyo pun menganggap keputusan tersebut tidak konsisten mengingat alasan yang dipakai LSF adalah bahwa film itu bisa merusak akidah. "Kalau dikatakan merusak, mengapa malah meloloskan film hantu dan seks? Itu justru yang merusak akidah. Ini kan lucu," ujarnya.

Dody Hidayat, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus