Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Mona Lisa, Apple, dan Hidayat Recording

Selain oleh Yess, industri musik rumahan di Bandung pada 1970-1980-an disemarakkan oleh label Mona Lisa, Apple, dan Hidayat Recording. Masing-masing mempunyai keunikan dan pasar sendiri.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara rumah toko yang berderet di Jalan Gardu Jati, Bandung, bangunan bernomor 31 itu tampak mencolok. Bercat merah menyala, bangunan tersebut dipakai usaha jahit pakaian pria. Namanya: Avis Tailor. Pemilik usaha Avis Tailor, Tjio Pwie, mengatakan toko jahitnya dulu adalah toko kaset dan tempat merekam lagu pesanan. Toko kaset itu tutup pada 1988. Tjio menempati bangunan tersebut dalam kondisi sudah kosong.

Tjio ingat pemilik toko kaset itu ia panggil dengan nama Encim. Dia tak asing dengan toko kaset milik Encim karena dulu membeli kaset Koes Plus di situ. Dulu toko kaset itu berpenutup papan kayu, persis dua bangunan lawas seatap di sebelah kanannya yang hingga kini masih ada. "Penjaga tokonya Koh Dede. Orangnya tinggi-besar," kata Tjio saat ditemui Tempo di rukonya, akhir Maret lalu.

Tjio tak sering datang membeli kaset. Namun di kepalanya membekas bahwa toko kaset itu punya interior menarik. Begitu masuk, ada meja kayu seperti di bar. Di meja itu mereka bertransaksi. Ada yang membeli kaset yang dipajang, ada yang minta direkamkan lagu tertentu. Kaset yang dibeli bisa langsung dijajal. Suaranya terdengar keras karena tape langsung tersambung ke pelantang suara (loudspeaker) berukuran cukup besar. "Waktu itu mah belum ada headphone," ujarnya. Tjio juga melihat dan mendengar Koh Dede asyik mengobrol dengan pembeli. Topiknya tentang riwayat musikus, musik, dan albumnya.

Koh Dede yang dimaksud Tjio adalah Dede Zacharias. Lelaki 65 tahun itu kini bermukim di Bali, mengelola toko Bali Gong miliknya di Jalan Sahadewa, Kuta. Dede, yang mengaku hanya lulusan sekolah menengah atas, bisa dibilang pemain penting dalam industri rekaman kaset rumahan di Bandung pada 1970-an. Dia juga berkawan dengan Ian Arliandy. Keduanya punya kesamaan walau berbeda selera musik dan bisnis, yakni sama-sama dipercaya mengelola rekaman kaset oleh bosnya dan berfokus memproduksi album rekaman sesuai dengan keinginan mereka. Ian di Diamond Records dengan label Yess, Dede di label Mona Lisa pada 1972-1973.

Dede pertama kali membuka usaha rekaman bersama sejumlah rekannya pada 1970. Berlabel Fly Records, pendirian usaha rekaman itu ikut didukung anak-anak band, seperti The Rollies. "Kami dulu suka kumpul bareng di Toko Irama Ria, Jalan Alkateri," ucap Dede kepada Tempo. Dede ingat suatu hari Guruh Sukarno Putra menyodorkan piringan hitam Rick Wakeman kepadanya. Kata Guruh kepada Dede, "Album itu musik masa depan." Kuping Dede sendiri masih terasa aneh mendengarkan karya instrumental tersebut.

Fly Records ketika itu memproduksi rekaman album band rock, seperti Led Zeppelin dan Black Sabbath, selain menjual kaset lagu pop Barat dan Indonesia. Tokonya sempat berurusan dengan polisi. Beberapa kali Dede dipanggil petugas gara-gara banyak anak band berkumpul di tokonya. Nama Fly juga dipersoalkan polisi karena dinilai berbau obat-obatan terlarang. Kukuh mempertahankan Fly, Dede mencomot gambar burung dari sampul album Emerson, Lake & Palmer untuk dipasang di tokonya. "Kalau ditanya lagi, gambar itu jadi penjelasan," ujarnya.

Setelah Fly berjalan dua-tiga tahun, mitra usaha Dede yang masih kuliah punya kesibukan lain. Fly Records mandek. Pada akhir 1973, Dede diajak pemilik toko kaset Suara Kenari mendirikan usaha rekaman lain. Toko Suara Kenari sendiri sampai sekarang masih ada di Jalan ABC Nomor 21, Bandung. Pemiliknya tiga bersaudara. Salah satunya bernama A Kian atau Sudarman, yang kini tinggal di Dallas, Amerika Serikat. Pada 1973 itu, Dede memboyong 20 tape rekaman merek Teac ke sana dan mengelola usaha rekaman berlabel Mona Lisa.

Dede ingat para pemilik bersaudara itu sempat bingung fokus rekaman Mona Lisa hendak diarahkan ke mana karena semua jenis lagu di pasar sudah ada. Akhirnya mereka sepakat dengan usul Dede. Dia waktu itu mengusulkan Mona Lisa merekam lagu bercorak southern rock, yang berkembang di wilayah pantai barat Amerika Serikat. "Seperti Jefferson Airplane dan Grateful Dead," katanya.

Pasar kaset Mona Lisa ditujukan ke luar Bandung. Tepatnya ke Bali, menyasar wisatawan asing. Dede menitipkan kaset Mona Lisa kepada rekannya yang punya toko kaset Mahogani di sana, tapi sekarang sudah tutup. Produksi Mona Lisa per album mencapai 2.000-an kaset ke Bali dan terhitung laris. Dia pun ikut membantu distribusi kaset Yess di Mahogani. "Persaingan waktu itu cukup keras. Satu album laris di toko kaset, rekaman lain ikut produksi banyak," ujarnya.

Sambil bekerja di Mona Lisa, Dede diam-diam membuka toko dan berbisnis kaset rekaman sendiri berlabel Apple. Lokasinya di Jalan Gardu Jati 31, Bandung. Apple tidak berfokus ke salah satu corak musik, tapi umum. Namun jumlah produksi per album dibatasi 5-10 kopi supaya cepat laku. Tiga tahun bekerja di Mona Lisa, Dede akhirnya memutuskan berdikari dan membesarkan Apple. Toko Apple makin digarapnya serius sejak 1975.

Menurut Dede, pembeli kaset di toko Apple saat itu sangat ramai. Kaset seharga Rp 1.000 untuk pita C-60 dan C-90 sebesar Rp 1.500 yang suka dicari pembeli misalnya album Rolling Stones, Bee Gees, The Beatles, Led Zeppelin, Genesis, dan Pink Floyd. "Anak-anak SMA juga sering datang, tapi suka ngebon karena duit jajannya enggak cukup," ujarnya.

Beberapa tahun kemudian, Dede menutup toko setelah menyambut tawaran label lain untuk kerja di Bali. Sebelum hijrah, ia sempat membantu label Gold Mount, yang menempati toko kecil di rumah ibu pemiliknya di dekat simpang Jalan Pasirkaliki-Jalan Pajajaran, Bandung, pada 1980-an. Label ini lebih banyak merekam album bercorak pop. Harga kasetnya lebih mahal dengan kemasan segel dan bungkus plastik. "Usia label itu hanya berjalan sekitar setahun," tutur Dede.

1 1 1

DI sudut lain di Bandung, Tempo menelusuri satu lagi jejak label rekaman rumahan yang juga legendaris: Hidayat Recording. Bill Firmansjah, 75 tahun, arsitek label Hidayat, memperlihatkan dua kaset album band The Rollies yang diproduksi perusahaan rekaman itu pada 1970-an. Dua kaset monumental yang direkam Hidayat itu tampak masih gres. Dari cangkang plastik, kertas, sampai kasetnya masih seperti baru dibuat. "Ini kaset lama, tidak pernah diproduksi ulang. Karyawan saja yang pintar menyimpannya," kata Bill di toko dan Galeri Hidayat di Jalan Sulanjana pada 28 Maret lalu.

Kedua kaset itu-album Rollies Live Show dan Tiada Kusangka-direkam sendiri oleh Bill. Rollies Live Show merupakan album konser The Rollies di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2-3 Oktober 1976. Bill dan sejumlah kawannya memprakarsai konser itu. Bill, yang juga berteman dengan para personel The Rollies, kemudian berinisiatif merekam pertunjukan itu secara langsung. "Kebetulan saat itu saya baru membeli mixer 40 trek," ujarnya.

Rollies Live Show berisi delapan lagu, yakni Tiada Kusangka, Free, Gone are the Song of Yesterday, Salam Terakhir, You're Still Young Man, dan drum solo pada side A. Sisi sebaliknya diisi lagu King Arthur, Setangkai Bunga, dan It's a Man's Man's World. Saat itu, personel The Rollies terdiri atas Benny Likumahuwa, T. Iskandar Madian, Didiet Maruto, Delly Joko, Bonnie Nurdaya, Uce F. Tekol, Jimmy Manoppo, dan Bangun Sugito atau populer dengan nama Gito Rollies.

Adapun album Tiada Kusangka direkam di Syah Studio milik musikus jazz Jack Lesmana pada pertengahan November 1976. Album itu berisi tembang Mawar Idaman, The Love of a Woman, Tiada Kusangka, Setangkai Bunga, Gone are the Song of Yesterday, dan Infra Polusi di side A. Di sisi sebaliknya ada Hidupku, Pahlawan Revolusi, No Sad Song, Let's Start Again, dan Lagu Rindu. Sampul albumnya garapan Decenta.

Menurut Bill, dua album The Rollies itu sebenarnya agak menyimpang dari kebiasaan label Hidayat, yang berfokus merekam album jazz. "Bagi saya, The Rollies istimewa dan punya karakter," ujar lulusan arsitektur Institut Teknologi Bandung angkatan 1958 itu. Uniknya, Bill dengan Hidayat-nya hanya merekam album jazz musikus dalam negeri. Tujuannya agar mereka dikenal banyak orang.

Di Jakarta, Bill merekam album penyanyi jazz seperti Margie Segers, Nick Mamahit, dan Rien Djamain. Ia merekam pula album Bubi Chen saat menggelar konser di Amerika Serikat. Jumlah rekaman per album jazz Indonesia itu tak banyak, sekitar 1.000 kopi. "Paling banyak album Rien Djamain, lebih dari 2.000 kopi," katanya. Sepanjang 1973-1990, jumlah total rekaman jazz di bawah label Hidayat mencapai 30 album. Menurut Bill, hanya empat-lima album yang meledak.

Bill mengatakan label Hidayat diambil dari nama mitra bisnisnya pada 1958-1968. Bill dan Hidayat pernah membuka toko peralatan audio di bagian depan toko mebel Hidayat di Jalan Braga. Di toko audio seluas 20 meter persegi, Bill menjual peralatan audio, piringan hitam, dan kaset. "Hidayat orang yang sangat baik dan pengusaha mebel terkenal saat itu. Buatan sendiri dan hasilnya bagus," ucap Bill.

Kini Hidayat telah wafat. Betapapun demikian, nama itu tetap dipakai sebagai merek usaha Bill. Nama sahabatnya itu digunakan sebagai nama galeri: Galeri Hidayat. Selain menjual kaset, Bill berbisnis peralatan lukis top Winsor & Newton asal Inggris. Ia kemudian berbisnis lukisan. Galeri Hidayat-tempat Bill berjual-beli lukisan-kini dikelola sang anak.

Anwar Siswadi (Bandung), Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus