IBUKOTA Kabupaten Asahan terpaksa dipindah ke Kisaran. Sebab
ibukota yang lama, Tanjungbalai, dianggap sudah terlalu sempit
dan tak mungkin diperluas lagi. Tapi areal ibukota yang baru,
Kisaran, lebih sempit lagi. Karena ternyata sebagian besar
arealnya milik sebuah perusahaan perkebunan asing.
Sebab itu sengketa yang belum terpecahkan masih berlangsung
hingga sekarang. Padahal ketika secara resmi Kisaran ditetapkan
sebagai ibukota baru, 9 Desember lalu, ditentukan arealnya akan
meliputi 6.000 ha lebih: terdiri dari 11 desa dan penduduk
87.000 jiwa. Namun ketika pihak Pemda Kabupaten Asahan mulai
bersiap-siap membangun Jalan Inpres ke beberapa desa di kawasan
Kota Kisaran, pihak PT Uni Royal Sumatra Plantation (URSP)
menghalang-halanginya. Yaitu dengan cara memasang palang-palang
besi melintangi jalan-jalan yang harus diperbaiki tadi.
Maka terungkaplah sengketa itu. Menurut pihak URSP areal
beberapa desa yang dihubungkan jalan-jalan tadi adalah miliknya,
karena itu perusahaan dengan modal swasta Amerika Serikat itu
menutupnya. Sebaliknya Pemda Asahan berpendapat, areal itu milik
Pemda Asahan dan karena itu petugas-petugas kabupaten memasang
patok-patok sebagai tanda hendak dibangun.
Direktur Pelaksana URSP, D.W. Levinder, tak lupa menambahkan,
dari areal kota yang lebih dari 6.000 ha itu, 2.437 ha di
antaranya terdiri dari kebun karet milik perusahaan itu dan
2.277 ha (meskipun sudah didiami penduduk bertahun-tahun
lamanya) berupa tanah garapan -- yang diklaim URSP sebagai
miliknya sehingga menjadi sengketa berlarut-larut dengan
penduduk. Adapun sisanya, yaitu sekitar 1.329 ha, dianggap
sebagai benar-benar areal Kota Kisaran. Dengan kata lain, 7 dari
11 desa di Kota Kisaran terletak di areal URSP.
Pihak URSP tampaknya tetap mempertahankan tiap meter arealnya,
termasuk yang masih dalam sengketa dengan penduduk, sesuai
dengan HGU (Hak Guna Usaha) yang berakhir tahun 1997 nanti. Tiga
tahun lalu erusahaan ini memang pernah memberikan 43 ha
arealnya kepada Pemda Asahan, yaitu untuk stadion, kantor bupati
dan perumahan pegawai. "Tapi areal itu kami berikan karena waktu
itu Bupati Asahan berjanji akan menyelesaikan areal kami yang
masih jadi sengketa dengan penggarap," kata Levinder. Tapi
rupanya sampai sekarang sengketa itu masih terus berlanjut.
Gulung Tikar
Sikap perusahaan itu berakibat cukup panjang. Misalnya, sebagian
besar desa di Kisaran berada dalam areal URSP, hanya sebagian
kecil saja yang mampu dijamah pembangunan yang dilakukan Pemda
Asahan.
"Tak ada pembangunan jika tidak mengambil areal perkebunan itu,"
tutur Ketua Bappeda Asahan, Drs. W. Lumbanbatu. Kisaran, tambah
Lumbanbatu, memang dikelilingi dan penuh dengan lebun karet.
Kota ini dibangun Belanda awal abad ke-20 untuk pemukiman para
buruh perkebunan karet milik penjajah.
Karena URSP memasang palang besi di tengah jalan menuju Desa
Sidodadi, Gurah Batu, Perhutanan Silau dan Sidomulyo, hampir 100
buah perusahaan batu bata di desa-desa itu terancam gulung
tikar. "Sejak ada palang itu, tidak satu pun truk masuk ke desa
kami," kata Poniran, salah seorang pembuat batu bata.
Desa Sidodadi sendiri terletak tak jauh di belakang kantor DPRD
Asahan. Tapi karena palang palang tadi, penduduk di sana merasa
terpencil. Namun seperti halnya di desa-desa lain yang arealnya
sedang dalam sengketa, penduduk Sidodadi membangun rumah atau
apa saja tanpa izin Pemda. Pihak terakhir ini memang tak mamu
melarang penduduk membangun, karena areal itu sedang diklaim
URSP. Sebaliknya pihak perusahaan membiarkan bangunan-bangunan
liar itu, karena merasa pihak Pemda-lah yang bertanggungjawab.
Melihat sikap perusahaan yang tetap ngotot itu, tak heran jika
pejabat-pejabat Pemda Asahan menjadi jengkel. Bahkan Ketua
Fraksi PDI di DPRD Asahan, Azhari, dalam salah satu sidang
lembaga itu beberapa waktu lalu mengusulkan agar Levinder
dipersona-non-gratakan. "Sikap orang asing itu menghambat
pembangunan," kecam Azhari.
Kurang Dipersiapkan
"Terserah saja," jawab Levinder, "tapi saya kira soalnya bukan
di sini -- sudah di tangan Menteri Pertanian dan Dalam Negeri."
Rupanya memang begitu. Karena itu Bupati Asahan, dr. Bahmid
Mohammad, tak banyak memberi komentar. "Sabar saja, masih terus
kita urus," katanya ketika ditanyai penyelesaian soal itu.
Memang tak mungkin pihak Pemda Asahan bersikap lebih dari
bersabar. Untuk main caplok memang dapat dilakukan, tapi tidak
akan menyelesaikan sengketa. Apalagi, menurut pengacara
terkemuka di Medan, Prof. Ani Abbas Manoppo SH, wewenang untuk
memberi atau mengubah HGU ada di tangan Pemerintah Pusat. "Jika
memang areal HGU itu diperlukan untuk kepentingan umum, dapat
saja diubah oleh Pemerintah Pusat melalui musyawarah dengan
pemegangnya," kata Ani Manoppo.
Khusus tentang URSP, menurut pengacara itu, memang kurang adil
bila sampai sekarang areal sengketa itu masih belum
diselesaikan. Sebab, pajak-pajak tanah itu dibayar URSP setiap
tahun untuk seluruh areal yang disebutkan dalam HGU-nya, meski
hanya sebagian saja yang dapat diusahakannya.
Tapi adil atau tidak, yang pasti Kisaran sebagai ibukota
kabupaten yang baru, kurang dipersiapkan. Setidak-tidaknya yang
menyangkut rencana tata kota. Padahal kota ini dipilih sebagai
ibukota terutama untuk menunjang Proyek Asahan yang terletak tak
jauh dari Kisaran. Karena itu kota ini diharapkan mampu
menampung arus urbanisasi karena daya tarik Proyek Asahan yang
sekarang mulai terasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini