Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK tiga tahun lalu Otorita Batam mengeruk pasir dan mengekspornya ke Singapura. Tapi badan yang sebenarnya untuk mengembangkan Pulau Batam itu juga mengutip royalti ekspor sebanyak S$1/m3.
Menurut anggota FPP di DPRD Riau, H. Dun Usul, kegiatan Otorita Batam (OB) seperti itu berarti "menggerogoti hak dan wewenang Pemda." Apalagi sekarang kutipan royalti itu juga meliputi semua hasil tambang yang diekspor--meskipun sumbernya jauh di luar wilayah OB. Misalnya dari Pulau Karimun, Loban (Bintan Utara), Pekujan (Bintan Selatan) dan sekitarnya.
"Ini yang membuat kami mencak-mencak, seolah-olah wewenang OB meliputi Kabupaten Kepulauan Riau," ujar Ketua FKP di DPRD Riau, Thamrin Nasution. Pulau Batam, 20 km di selatan Singapura, masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Riau (Riau). Luasnya sekitar 500 km persegi, dihuni lebih kurang 8.000 jiwa penduduk.
Pulau ini dikembangkan sebagai kawasan industri dan wisata dengan SK Presiden No. 41/1973. Enam tahun kemudian dinyatakan sebagai daerah perdagangan bebas, dikelola oleh Otorita Batam. Pada mulanya memang OB yang mengikat perjanjian penyediaan pasir guna penimbunan pantai selatan Singapura. Yang dibutuhkan lebih dari 10 juta m3--termasuk pasir untuk keperluan bangunan.
Dari Pulau Karimun saja setiap bulan tak kurang dari 10-15 ribu m3 pasir diangkut ke Singapura. Yang dikeruk bukan hanya pasir laut tapi juga pasir daratan. Harganya S$16/m3 sedang ongkos keruknya hanya S$3/m3. Yang dilakukan OB bukan tanpa dasar. Badan ini mengantungi SK Menteri Penertiban Aparatur Negara J.B. Sumarlin No. 5271Pan/8/1978 tanggal 15 Mei 1978 yang memberi wewenang kepada OB mengeruk hasil tambang golongan C (kerikil, batu granit, pasir dan sejenisnya) di Batam dan sekitarnya.
Ketika itu Sumarlin masih merangkap sebagai Ketua OB, sebelum digantikan oleh Menteri Ristek Habibie. Di tangan OB, wewenang itu diartikan lebih jauh: bisa menerbitkan surat izin penambangan, sertifikat kelayakan ekspor bagi perusahaan-perusahaan yang menjadi sub-kontraktor dan mengutip royalti. "Itulah rupanya yang dipegang oleh OB selama ini," kata Asisten I Bidang Pemerintahan Kantor Gubernur Riau, Drs. Baharuddin Yusuf.
Pemda Riau sudah melakukan beberapa kali pendekatan kepada OB. Pjs. Gubernur Prapto Prajitno misalnya pernah berunding di Batam. Hasilnya, Pemda dijanjikan sebagian royalti, tanpa menyebut jumlahnya. Tapi janji itu tak kunjung dipenuhi. Pemda juga sudah melaporkannya ke Departemen Dalam Negeri dan departemen-departemen lain yang ada kaitannya dengan pengembangan Batam. Mengada-ada Laporan itu ada hasilnya.
Ketika melantik Imam Munandar sebagai Gubernur Riau menggantikan almarhum Subrantas, Oktober 1980 lalu, Mendagri Amirmachmud mengingatkan, "bagaimana pun OB tetap merupakan bagian dari Pemda Riau." Jadi OB bukan merupakan badan yang berdiri sendiri
Sebulan kemudian gubernur menerima surat tembusan dari Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, yang aslinya ditujukan kepada Sumarlin. Isinya antara lain, pengerukan hasil tambang golongan C itu merupakan hak dan wewenang Pemda Tingkat I Riau. Karena itu para pengusaha juga tidak perlu memiliki surat kelayakan ekspor yang dikeluarkan oleh OB dan tidak perlu pula dikenai pungutan royalti.
Selama ini Pemda tidak mempunyai peraturan daerah (Perda) yang khusus mengatur SIPD (Surat Izin Penambangan Daerah), pungutan-pungutan serta lain-lain hak dan kewajiban bagi para pemegang kuasa penambangan. Selama ini Pemda memang pernah mengeluarkan 51 lembar SIPD, yaitu 23 untuk batu granit dan 28 untuk pasir bangunan. Tapi dasar hukumnya hanya bertolak pada UU Pertambangan No. 11/1973.
Karena itu pertengahan Desember lalu DPRD Riau mengesahkan Perda mengenai izin usaha penambangan golongan C. Isinya yang terpenting: prosedur penerbitan SIPD merupakan wewenang Pemda kewajiban membayar pajak tahunan Rp 2.500 untuk setiap hektare tanah yang ditambang retribusi hasil tambang Rp 250/m3 juga keharusan memelihara kelestarian lingkungan.
Namun dengan senjata Perda itu, nampaknya Pemda Riau tidak bakal menang dalam perebutan rezeki pasir ini. Urusannya masih harus diselesaikan di tingkat pusat. Menurut Ketua OB, Habibie, minggu ini ia akan membicarakannya dengan Menpan dan Mendagri. "Sebenarnya tidak ada persoalan. Tapi kalau ada uang, biasanya lantas jadi rebutan," kata Habibie akhir pekan lalu.
Menurut dia, royalti yang dipungut OB digunakan untuk pembangunan dan pengembangan Batam. "Kita harus berpikir dengan pola nasional, bukan pola daerah. Batam dibangun bukan untuk kepentingan daerah tapi untuk seluruh bangsa Indonesia," ujarnya lagi. Kalau ada yang mempersoalkan, tambahnya, "itu cuma orang yang mengada-ada saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo