Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ayatullah dari pulogadung

Dia bukan ayatullah eks pimpinan lembaga legislatif ibukota, pernah tinggal di irak, yang ditolak kuwait kedatangannya, kembali ke teheran dengan kawalan ketat, tapi ayatullah pulogadung yang mengolah sampah.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELIRU besar menduga sebutan "Ayatullah" itu hanya ada di negeri Persi. Padahal, dia ada di mana-mana seperti kereta api, transistor, atau jarum pentul. Yang beda cuma penampilannya. Jika Ayatullah di sana berjenggot sarat, sorban besar dan jubah gombrong, tidak demikian halnya Ayatullah asal Pulogadung. Biasa-biasa saja, tidak menggemparkan. Busana normal, seperti umumnya anggota Korpri. Air muka tidak seram, tapi lugu bagaiikan petani bawang. Dari sudut keturunan, katakanlah 100 lapis ke atas, tak ada yang istimewa, met of zonder Hukum Mendell. Pokoknya, berasal dari manusia-manusia kebanyakan sekitar-sekitar situ, paling jauh Cikampek. Berbeda misalnya dengan Ayatullah asal Qum yang kakeknya sebetulnya orang kelahiran Kashmir, tanah di mana kebun-kebun bunga berciuman dengan salju. Ayatullah dari Pulogadung ini tidak beri petuah baik sambil berdiri, bersila, maupun berlari. Bahkan, dia tidak merasa perlu bikin petuah seumur hidupnya. Dia menjauhi mikropon seperti orang menjauhi cacing tambang. Ini bukan berarti dia anti "revolusi elektronik" melainkan sekedar tidak suka hiruk-pikuk dan hingar-bingar. Contohnya, dia mengangguk-angguk sambil senyum saja ketika dengar rencana Telkom "Tilpun masuk desa liwat satelit." Dia cuma suka tenang seperti akuarium yang gelembungnya berkejaran dan pecah di permukaan. Dia pemuja SARA-nya Kopkamtib dan proyek Atlas-nya Kotamadya Bandung: Aman, tertib, lancar, sehat. Pokoknya tenang, sekali lagi tenang. Orang mau ganti enerji asal minyak dengan "oil shales" atau pasir tar atau karang minyak, kek. Orang mau kembangkan sel-sel "photovoltaic" penyimpan listrik, kek. Masa bodoh. Pokoknya tenang. Bahkan dia melirik dengan sebelah mata orang-orang gila nuklir yang bermimpi bikin substitusi enerji kendati takutnya setengah mati kena radiasi, peras otak hingga ngos-ngosan bikin "reaktor breeder" sambil hitung-hitung pengawasan siklusnya. Masa bodo teuing, terserah di situlah. Berhubung Ayatullah penduduk asli Pulogadung, dia lebih suka naik bis daripada digotong-gotong orang, karena menurut hematnya sebagai awam hanya penderita polio dan yang tergencet pintu yang dibegitukan orang. Dia pilih salaman daripada diciumi tangannya seperti ulah lelaki Prancis yang gatal. Lebih suka bikin dan jual mebel daripada tunggu bagian setoran "khoms" dari penduduk. Tidak paham maksud "sandera" sama sekali, dikiranya sandera itu sama saja dengan Titik Sandora. Akibat kangen yang tak tertanggungkan, suatu hari saya mampir di rumahnya, orang yang memang betul-betul bernama Ayatullah dari Pulogadung, bekas pimpinan lembaga legislatif ibukota, pistonnya demokrasi. Dia bukan lagi mendiktekan "Valayat-Faghih" atau "Kashfal-Asrar" atau "Tawzihal-Masail" seperti orang yang punya panggilan serupa yang pernah tinggal di kota An Najaf di Irak -- dan dilindungi baik-baik -- selama 14 tahun, lantas dengan kemauannya sendiri pergi ke Kuwait tapi karena negeri ini menolak, kembali lagi ia ke Baghdad lantas langsung berangkat ke kota kecil Neauphle le Chateau tanpa maksud yang jelas. Dan kembali ke Teheran tanggal 31 Januari 1979 naik pesawat istimewa "Air France" dengan kawalan ketat pasukan keamanan Prancis. Ayatullah dari Pulogadung lagi menggodok sampah jadi bubur, diolah jadi kertas, memenuhi anjuran Gubernur Tjokropranolo. Ampasnya digoreng jadi krupuk, dilego ke pasar induk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus