USAHA untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Korps Pegawai
Negeri Republik Indonesia (Korpri) didasarkan pada Landasan
Dasar Etika yang disebut Sapta Prasetya. "Sapta Prasetya adalah
janji luhur Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan pengabdiannya selaku unsur Aparatur
Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat . . . " Begitu
tercantum dengan manis dalam keputusan Musyawarah Nasional
Pertama Korps Pegawai Republik Indonesia tahun 1978.
"Kami Anggota Korpri dalam melaksanakan tugas bekerja dengan
jujur, berdisiplin, bersemangat, bertanggungjawab, dan penuh
pengabdian. Kami Anggota Korpri adalah Abdi Masyarakat yang
dalam melaksanakan tugas senantiasa memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat." Demikian dua butir dalam
Sapta Prasetya.
Pada musyawarah yang sama digariskan pula Doktrin Korps Pegawai
Republik Indonesia, disebut Bhinneka Karya Abdi Negara. Itulah
yang dijadikan "pedoman serta bimbingan bagi segenap anggota
dalam melaksanakan asas dan mencapai tujuan Korps Pegawai
Republik Indonesia."
Landasan formalnya sudah begitu kukuh. Malah juga sudah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri, di mana diatur segala
persoalan menyangkut kewajiban, larangan, pelanggaran dan
hukuman, dan soal keberatan.
Ketika peraturan itu keluar dan disebar-luaskan media massa pada
bulan Oktober 1980, dua persoalan diungkit-ungkit.
Pertama, nasib Hari Krida alias Hari Olahraga yang jatuh pada
hari Sabtu, menjadi berantakan. Bagi pegawai negeri memang ideal
sekali kalau satu dari enam hari kerja itu dibikin jadi hari
olahraga, tapi sayangnya jam kerja yang sudah pendek karena
tidak dipatuhi itu menjadi sangat terlalu pendek dan memalukan
bangsa. Nah, penggemar krida silakan berkrida di kantor sejauh
itu tidak menggerogoti prinsip jam kerja 37,5 jam seminggu.
Begitu ditegaskan Menpan J.B. Sumarlin.
Kedua, pegawai negeri diingatkan lagi jangan melanggar jam kerja
seenaknya berdasarkan Keppres No. 58 tahun 1964, pegawai negeri
mempunyai jam kerja 37,5 jam seminggu. Jadwal waktu kerja: jam
7.00 - 14.00 dari Senin sampai Kamis, jam 7.00 - 11.00 hari
Jumat dan jam 7.00 - 12.30 hari Sabtu. Khusus untuk DKI Jakarta,
berdasarkan Keppres No. 24 tahun 1972 jadwal kerja jam 8.00 -
15.00 untuk Senin sampai Kamis, jam 8.00 - 11.30 untuk Jumat
lan jam 8.00 14.00 untuk Sabtu. Departemen Keuangan dilimpahi
jam kerja yang lebih panjang, 44 jam.
Tidak ayal lagi, berbagai koran menghimbau supaya pejabat eselon
atas memberikan teladan, supaya contoh yang gemerlapan itu bisa
menetes ke bawah. Berita Buana (10-10-1980) dengan tandas
menekankan: "Kebodohan, kemiskinan serta keterbelakangan yang
menjadi musuh kita dewasa ini hanya dapat kita lawan apabila
KERJA KERAS dapat menjadi kultur bangsa kita, menjadi doktrin
hidup sehari-hari."
Kepada seorang senior yang kaya pengalaman, saya tanyakan
bagaimana kira-kira dampak peraturan ini.
"Kita tunggulah. Mudah-mudahan ada perbaikan sikap kerja aparat
kita dari atas sampai bawah. Kalau mau maju, produktivitas
secara menyeluruh perlu ditingkatkan. Tapi yang jelas, saya
belum melihat kakus universitas negeri yang beres. Bau. Ah,
kakus universitas itu . . "
Kakus, menurut dia, merupakan indikator yang penting bagi
kemajuan bukan cuma proyek jamban di pelosok tapi jamban elite
tidak kalah pentingnya. Perlu diperhatikan bagaimana para elite
mengatur dan merawat kamar kecil. Jangan diukur dengan kamar
besar yang rapat berkaitan dengan simbol segala macam. Jangan
diukur dengan jumlah vandel yang dipajangkan.
"Sekali saya ketemu universitas yang kakusnya bersih. Sungguh
kagum saya. Kok bisa ada kakus bersih di universitas. Tapi itu
universitas swasta."
"Bagaimana kalau kakus universitas negeri diswastakan?
Pembersihannya dikontrakkan pada swasta, seperti yang dilakukan
pada berbagai perusahaan yang maju."
"Tidak ada dana untuk itu. Tidak ada alokasi. Dana untuk
pemeliharaan tidak diperhatikan di Indonesia. Yang bisa
diprjuangkan ialah tambahan pegawai negeri menjadi tukang sapu.
Tapi yang bau tetap bau juga."
"Kan bisa diatasi dengan meningkatkan disiplin."
"Mereka ada di situ. Bukan mbolos. Menyapu sebentar, lalu
nongkrong di sudut bangunan. Begitu tampang pegawai negeri. Di
samping itu elite juga belum tentu mampu memakai kakus dengan
benar. Masih perlu ditatar. Nah, mari kita tunggu saja. Kakus
universitas negeri kita jadikan pedoman."
***
Seorang ahli sosiologi asing, dengan penuh kesungguhan, bilang
begini.
"Kemampuan orang Indonesia membikin upacara, menyemarakkan
upacara, mengagumkan. Saya belum pernah melihat kemampuan
seperti itu di negeri lain. Indah, warna-warni, spanduk selamat
datang yang manis, hiasan janur yang indah, wanita cantik
berpakaian anggun membawa pukulan gong di atas baki berukir,
gong yang artistik bergema tiga kali diiringi tepuk tangan,
makanan yang lezat, alunan musik tradisional yang memikat. Dan
di atas segalanya itu, orang Indonesia begitu ramah --
membungkuk-bungkuk dan senyum tiada putusnya. Seperti di
kayangan."
Mendengar itu saya teringat ucapan seorang pejabat luar negeri
yang pernah ikut rombongan tamu agung negerinya ke Indonesia.
"Fantastik. Kemampuan Indonesia menghormati tamu dan menciptakan
suasana agung, luar biasa. Pengalaman yang paling mengesankan."
Serta merta saya teringat ungkapan Niels Mulder dalam bukunya
Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional: "Kehidupan orang Jawa
seremonial. Orang selalu asyik meresmikan keadaan melalui
upacara selalu asyik mengorganisir suatu keadaan supaya keadaan
itu menjadi nyata, menjadi resmi, supaya perhubungan-perhubungan
baru diformalkan. Cap, tanda tangan, bintang, statuta dan
anggaran rumah tangga beserta macam-macam pralambang lain
memainkan peranan yang maha besar. Kehidupan harus diformalkan .
. ."
Ketika saya tanya ahli sosiologi asing itu tentang kemampuan
orang Indonesia menunaikan tugasnya pada umumnya, dia tersenyum.
Dia lama tersenyum dan menggaruk kuduknya tidak sengaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini