Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kakus lain, upacara lain ...

Kakus merupakan indikator penting bagi kemajuan, belum ada kakus universitas negeri yang beres. kemampuan orang indonesia membikin upacara & menyemarakan, mengagumkan. kemampuan menunaikan tugas kurang.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) didasarkan pada Landasan Dasar Etika yang disebut Sapta Prasetya. "Sapta Prasetya adalah janji luhur Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan pengabdiannya selaku unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat . . . " Begitu tercantum dengan manis dalam keputusan Musyawarah Nasional Pertama Korps Pegawai Republik Indonesia tahun 1978. "Kami Anggota Korpri dalam melaksanakan tugas bekerja dengan jujur, berdisiplin, bersemangat, bertanggungjawab, dan penuh pengabdian. Kami Anggota Korpri adalah Abdi Masyarakat yang dalam melaksanakan tugas senantiasa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat." Demikian dua butir dalam Sapta Prasetya. Pada musyawarah yang sama digariskan pula Doktrin Korps Pegawai Republik Indonesia, disebut Bhinneka Karya Abdi Negara. Itulah yang dijadikan "pedoman serta bimbingan bagi segenap anggota dalam melaksanakan asas dan mencapai tujuan Korps Pegawai Republik Indonesia." Landasan formalnya sudah begitu kukuh. Malah juga sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri, di mana diatur segala persoalan menyangkut kewajiban, larangan, pelanggaran dan hukuman, dan soal keberatan. Ketika peraturan itu keluar dan disebar-luaskan media massa pada bulan Oktober 1980, dua persoalan diungkit-ungkit. Pertama, nasib Hari Krida alias Hari Olahraga yang jatuh pada hari Sabtu, menjadi berantakan. Bagi pegawai negeri memang ideal sekali kalau satu dari enam hari kerja itu dibikin jadi hari olahraga, tapi sayangnya jam kerja yang sudah pendek karena tidak dipatuhi itu menjadi sangat terlalu pendek dan memalukan bangsa. Nah, penggemar krida silakan berkrida di kantor sejauh itu tidak menggerogoti prinsip jam kerja 37,5 jam seminggu. Begitu ditegaskan Menpan J.B. Sumarlin. Kedua, pegawai negeri diingatkan lagi jangan melanggar jam kerja seenaknya berdasarkan Keppres No. 58 tahun 1964, pegawai negeri mempunyai jam kerja 37,5 jam seminggu. Jadwal waktu kerja: jam 7.00 - 14.00 dari Senin sampai Kamis, jam 7.00 - 11.00 hari Jumat dan jam 7.00 - 12.30 hari Sabtu. Khusus untuk DKI Jakarta, berdasarkan Keppres No. 24 tahun 1972 jadwal kerja jam 8.00 - 15.00 untuk Senin sampai Kamis, jam 8.00 - 11.30 untuk Jumat lan jam 8.00 14.00 untuk Sabtu. Departemen Keuangan dilimpahi jam kerja yang lebih panjang, 44 jam. Tidak ayal lagi, berbagai koran menghimbau supaya pejabat eselon atas memberikan teladan, supaya contoh yang gemerlapan itu bisa menetes ke bawah. Berita Buana (10-10-1980) dengan tandas menekankan: "Kebodohan, kemiskinan serta keterbelakangan yang menjadi musuh kita dewasa ini hanya dapat kita lawan apabila KERJA KERAS dapat menjadi kultur bangsa kita, menjadi doktrin hidup sehari-hari." Kepada seorang senior yang kaya pengalaman, saya tanyakan bagaimana kira-kira dampak peraturan ini. "Kita tunggulah. Mudah-mudahan ada perbaikan sikap kerja aparat kita dari atas sampai bawah. Kalau mau maju, produktivitas secara menyeluruh perlu ditingkatkan. Tapi yang jelas, saya belum melihat kakus universitas negeri yang beres. Bau. Ah, kakus universitas itu . . " Kakus, menurut dia, merupakan indikator yang penting bagi kemajuan bukan cuma proyek jamban di pelosok tapi jamban elite tidak kalah pentingnya. Perlu diperhatikan bagaimana para elite mengatur dan merawat kamar kecil. Jangan diukur dengan kamar besar yang rapat berkaitan dengan simbol segala macam. Jangan diukur dengan jumlah vandel yang dipajangkan. "Sekali saya ketemu universitas yang kakusnya bersih. Sungguh kagum saya. Kok bisa ada kakus bersih di universitas. Tapi itu universitas swasta." "Bagaimana kalau kakus universitas negeri diswastakan? Pembersihannya dikontrakkan pada swasta, seperti yang dilakukan pada berbagai perusahaan yang maju." "Tidak ada dana untuk itu. Tidak ada alokasi. Dana untuk pemeliharaan tidak diperhatikan di Indonesia. Yang bisa diprjuangkan ialah tambahan pegawai negeri menjadi tukang sapu. Tapi yang bau tetap bau juga." "Kan bisa diatasi dengan meningkatkan disiplin." "Mereka ada di situ. Bukan mbolos. Menyapu sebentar, lalu nongkrong di sudut bangunan. Begitu tampang pegawai negeri. Di samping itu elite juga belum tentu mampu memakai kakus dengan benar. Masih perlu ditatar. Nah, mari kita tunggu saja. Kakus universitas negeri kita jadikan pedoman." *** Seorang ahli sosiologi asing, dengan penuh kesungguhan, bilang begini. "Kemampuan orang Indonesia membikin upacara, menyemarakkan upacara, mengagumkan. Saya belum pernah melihat kemampuan seperti itu di negeri lain. Indah, warna-warni, spanduk selamat datang yang manis, hiasan janur yang indah, wanita cantik berpakaian anggun membawa pukulan gong di atas baki berukir, gong yang artistik bergema tiga kali diiringi tepuk tangan, makanan yang lezat, alunan musik tradisional yang memikat. Dan di atas segalanya itu, orang Indonesia begitu ramah -- membungkuk-bungkuk dan senyum tiada putusnya. Seperti di kayangan." Mendengar itu saya teringat ucapan seorang pejabat luar negeri yang pernah ikut rombongan tamu agung negerinya ke Indonesia. "Fantastik. Kemampuan Indonesia menghormati tamu dan menciptakan suasana agung, luar biasa. Pengalaman yang paling mengesankan." Serta merta saya teringat ungkapan Niels Mulder dalam bukunya Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional: "Kehidupan orang Jawa seremonial. Orang selalu asyik meresmikan keadaan melalui upacara selalu asyik mengorganisir suatu keadaan supaya keadaan itu menjadi nyata, menjadi resmi, supaya perhubungan-perhubungan baru diformalkan. Cap, tanda tangan, bintang, statuta dan anggaran rumah tangga beserta macam-macam pralambang lain memainkan peranan yang maha besar. Kehidupan harus diformalkan . . ." Ketika saya tanya ahli sosiologi asing itu tentang kemampuan orang Indonesia menunaikan tugasnya pada umumnya, dia tersenyum. Dia lama tersenyum dan menggaruk kuduknya tidak sengaja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus