Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK tampak ada kelelahan di wajahnya. Baru dua hari tiba di London, Inggris, ia lalu terbang ke Bologna, Italia. “Saya harus mengecek pembuatan stan Indonesia di Italia. Kita menggunakan kontraktor Italia karena biayanya lebih murah,” kata Laura Prinsloo, 36 tahun. “Dari Bologna, saya harus menuju Rimini. Sebab, posisi konstruktor ada di Kota Rimini,” ia menambahkan.
Selaku Ketua Komite Buku Nasional (KBN), bisa dikatakan ia yang paling sibuk mempersiapkan keikutsertaan Indonesia dalam London Book Fair 2019 sebagai Market Focus Country. Setiba di London dari Bologna, ia langsung menangani acara Islands of Imagination: An Indonesian Cultural Late. “Ini sebetulnya seperti konferensi pers bagi wartawan London, tapi kita kemas secara lain.”
Latar belakang pendidikan Laura adalah sarjana matematika dari University of Waikato dan pascasarjana ekonomi dari University of Auckland di Selandia Baru. Namun ia malang-melintang di dunia perbukuan. Ia aktif melakukan perjalanan dari satu pameran buku internasional ke pameran buku internasional lain. Ia berkeyakinan, apabila infrastruktur perbukuan makin dibenahi pemerintah, dunia perbukuan kita akan makin melejit. “Kita memiliki banyak materi buku bagus yang bisa bersaing,” ucapnya. Berikut ini petilan percakapan wartawan Tempo, Seno Joko Suyono, dengan Laura di Hotel Dorsett, tempatnya menginap di London, dua pekan lalu.
Setelah menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015, terlihat Indonesia makin sering mengikuti international book fair. Termasuk London Book Fair, yang menerima Indonesia sebagai Market Focus Country….
Saat terlibat sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair, pemerintah mengeluarkan biaya besar, hampir Rp 140 miliar. Setelah Frankfurt Book Fair 2015, kita berharap buku kita secara bisnis makin banyak diterjemahkan dan diterbitkan di luar. Di Frankfurt waktu itu banyak hak terjemahan buku kita mulai terjual. Potensi bisnis buku kita terbuka. Dengan investasi begitu besar di Frankfurt Book Fair, pemerintah harus memiliki strategi jangka panjang. Tidak mungkin setelah menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair promosi-promosi buku di dunia internasional lalu berhenti dan selesai. Potensi bisnisnya akan hilang. Pemerintah sebaiknya terus mempromosikan buku dan kebudayaan kita di international book fair.
Apakah strategi demikian juga ditempuh negara lain yang pernah menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair?
Kita banyak belajar kepada negara-negara yang pernah menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair, seperti Korea, Turki, Cina. Cina, misalnya, sangat memiliki strategi jangka panjang dalam industri perbukuan. Cina secara agresif malah tiap tahun mengincar posisi tamu kehormatan international book fair di mana-mana. Bahkan Cina bisa menjadi tamu kehormatan dua kali per tahun. Turki juga. Saya bertemu dengan orang Turki yang menjadi direktur paviliun Turki. Dia mengatakan, setelah Turki menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair, pemerintahnya menyiapkan dana penetrasi yang lebih luas ke pasar buku internasional. Nah, London Book Fair bagi kita adalah momen besar lanjutan dari Frankfurt Book Fair untuk mengambil atensi masyarakat perbukuan internasional. Setelah di Frankfurt, di London kita tampil lagi. Menjadi Market Focus lebih mudah memperkenalkan diri. London Book Fair penting karena inilah pusat penjualan hak cipta buku terbesar di dunia.
Ada persiapan khusus menembus pasar buku London?
Dunia perbukuan Indonesia sebenarnya tidak terlalu dikenal di London. Indonesia pertama kali ikut London Book Fair pada 2015. Saat itu sama sekali tak ada hak penerjemahan buku kita yang terjual. Nol. Orang belum tahu buku apa saja dari Indonesia. Tahun 2016, 2017, 2018 kita ikut terus. Tahun 2016 mulai ada beberapa buku terjual. Dan angka penjualan itu naik terus tiap tahun. Yang menarik, secara bersamaan naiknya tidak hanya di London, tapi di semua pameran buku internasional yang kita ikuti. Terpilih sebagai Market Focus di London Book Fair, tentu kita mengadakan persiapan khusus. Tahun lalu, bulan Mei, kita mengundang tujuh penerbit dari London datang ke Indonesia untuk bertemu dengan penulis-penulis. Kita bawa mereka, misalnya, ke Makassar Writers Festival. September kita undang lagi penerbit-penerbit London ke Indonesia Book Fair. Di London Book Fair nanti tentu ada business matchmaking antara kita dan mereka. Komite Buku Nasional akan membawa 450 buku, sementara 20 penerbit Indonesia akan membawa buku sendiri.
Dari rentang Frankfurt Book Fair 2015 sampai London Book Fair 2019 ini, berapa buku Indonesia yang sudah diterjemahkan ke bahasa asing?
Sekarang 1.200 lebih judul buku kita terbit di luar negeri. Bayangkan, dari nol dan tidak dikenal. Implikasinya tidak hanya pada penjualan. Penulis buku kita juga makin banyak yang diundang ke festival penulis mancanegara. Kalau buku sudah diterbitkan dan didistribusikan di Inggris, misalnya, penerbit punya alasan mengundang penulisnya berdiskusi di London. Bahkan lalu bisa dimasukkan ke daftar nominasi penghargaan. Eka Kurniawan berkesempatan masuk nominasi Booker Prize itu karena novelnya sudah ada dalam terjemahan bahasa Inggris.
Menurut Anda, keberadaan agensi penting untuk pemasaran ke luar?
Penting. Di Indonesia cuma ada tiga agensi (Borobudur Agency; Maxima Creative Agency, yang mewakili penerbit Amerika Serikat; dan Tuttle-Mori Agency Co Ltd Indonesia cabang Thailand). Kami tidak keberatan penulis menawarkan buku ke agen dari luar. September tahun lalu, kita, misalnya, mengundang Leslie E. Owen, agen perbukuan terkenal di Inggris, untuk lokakarya hak cipta. Yang penting, buku Indonesia terbit di luar.
Tadi Anda mengatakan Cina sedemikian agresif memenetrasi pasar buku internasional....
Ya, kita masih sangat jauh dibanding Cina, bahkan Turki atau Korea. Cina awalnya tidak ada dalam sepuluh besar industri perbukuan dunia. Kini mereka tiga besar. Cina itu sangat agresif. Mereka berani memberikan grant besar untuk penerjemahan dan pencetakan buku-buku mereka kepada penerbit di luar Cina. Siapa yang tidak tertarik? Sudah dapat uang, tidak rugi pula. Misi Cina adalah conquer the market. Mereka investasi besar-besaran dulu. Baru setelah pasar dibanjiri buku Cina, mereka akan menggenjot penjualan. Itu strategi bisnis yang juga dilakukan Cina saat memasarkan produk teknologi mereka. Turki juga memiliki grant dana penerjemahan dan pencetakan. Bulan depan di Turki ada acara Istanbul Fellowship Program. Mereka mengundang ratusan penerbit dari mancanegara. Korea bahkan berambisi membuat dunia buku mereka sepopuler K-pop. Mereka berancang-ancang membuat K-books.
Menurut Anda, dengan kondisi demikian, kita bisa bersaing?
Masih bisa. Kita punya konten yang sangat bagus dan beragam. Kita itu tidak terpuruk di belakang. Buktinya, begitu kita tampil di Frankfurt, jualan 1.200 hak cipta terjemahan langsung cepat. Apalagi kalau pemerintah benar-benar berfokus. KBN ini masalahnya lembaga yang sifatnya ad hoc. Lembaga yang tidak mengelola dana sendiri. Sebuah komite yang hanya berdasarkan surat keputusan tentu kerjanya terbatas. Semestinya pemerintah membentuk lembaga buku nasional yang independen secara keuangan.
Bagaimana posisi perbukuan kita di Asia Tenggara?
Negara-negara tetangga yang tidak punya banyak materi buku tapi pemerintahnya siap malah belajar kepada kita. Di Singapura ada National Book Council. Di Filipina ada National Book Development Board. Semuanya independen dan mengelola anggaran sendiri. Saya diundang secara resmi ke Filipina, Vietnam, Malaysia. Mereka ingin mengetahui pengalaman kita menjadi tamu kehormatan di Frankfurt. Banyak hal yang harus kita lakukan dengan cepat dan efisien. Sayang sekali apabila kemudian apa yang sudah kita capai ini disalip negara tetangga.
Bagaimana cara Anda meminimalkan biaya acara dalam London Book Fair?
Kita bisa banyak menekan biaya pengeluaran karena sudah punya pengalaman mengikuti Frankfurt Book Fair. Sejak empat tahun lalu kita jadi punya banyak koneksi. Contohnya dalam masalah kontraktor paviliun. Biaya pameran paling besar untuk konstruksi stan. Kita jadi tahu ternyata segala pembayaran kalau dilakukan dari luar negara tempat dilaksanakannya book fair akan bisa menghemat pajak. Di Inggris pajaknya besar, 20 persen. Karena itu, kita menyewa jasa event organizer (EO) dari Italia, yang akan menalangi seluruh pembiayaan paviliun. Biaya untuk EO cuma 4 persen dari pembayaran. Kita berhemat 16 persen. Saat mengikuti Frankfurt Book Fair, segala pembayaran dana dilakukan melalui Kedutaan Besar RI. Akibatnya, kita kena tax. Cara berhemat lain saat mengikuti book fair di Eropa adalah deal dengan kontraktor paviliun agar materi bangunan stan bisa digunakan ulang dalam tiga pameran, misalnya. Jadi materi stan untuk pameran di London nanti bisa dipakai ulang untuk, misalnya, pameran di Bologna atau Frankfurt. Kita bisa efisien karena pengalaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo