Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan wajah murung dan tubuh gemetar, Oscar Arias, mantan Presiden Kosta Rika, keluar dari Kantor Kejaksaan Urusan Gender di San Jose, Rabu pagi dua pekan lalu. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian itu baru selesai diperiksa atas tuduhan melakukan perundungan seksual.
Sejumlah wartawan yang telah menunggu di depan gedung langsung mengerubunginya. Namun politikus 78 tahun itu enggan berkomentar. “Saya berharap kalian mengerti bahwa saya tak akan memberikan pernyataan,” katanya, seperti dikutip Q Costa Rica.
Eric Ramos, pengacara yang mendampingi Arias, menyatakan bahwa mereka menyadari seriusnya kasus yang dihadapi. “Don Oscar datang untuk memenuhi panggilan kejaksaan terkait dengan penyelidikan ini. Karena alasan yang jelas, kami tidak akan menyebutkannya,” ucapnya. Jaksa Emilia Navas mengatakan Arias akan diperiksa layaknya dalam kasus perundungan seksual lain.
Oscar Arias menjadi Presiden Kosta Rika dalam dua periode, yakni 1986-1990 dan 2006-2010. Dia dinilai sebagai salah satu tokoh paling kuat dan berpengaruh di Amerika Latin. Upayanya mengakhiri perang sipil di beberapa negara di Amerika Latin telah mengantarnya mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 1987. Dia terus berperan dalam politik di kawasan itu sebagai Presiden Arias Foundation, lembaga nirlaba besutannya yang mempromosikan demokrasi, pelucutan senjata, dan hak-hak asasi manusia.
Setelah Arias berlalu, dari gedung itu keluar pula Yazmin Morales, Miss Costa Rica 1995, salah satu perempuan yang mengaku menjadi korban perundungan seksual pada 2015, ketika Arias mengundang dia ke rumahnya dengan alasan akan memberinya buku. Dia telah mengajukan gugatan hukum resmi. Dua hari sebelumnya, Morales mengajukan permohonan ke Kantor Perlindungan Saksi dan Korban karena merasa mendapat ancaman setelah membuat aduan.
Yazmin Morales/REUTER/Juan Carlos Ulate
“Mereka memberikan beberapa rekomendasi dan indikasi yang harus saya ikuti jika masalah serius muncul,” ucapnya. Perempuan 48 tahun itu mengaku tetap menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa, tapi khawatir akan komentar di media sosial dan terlebih serangan langsung.
Kasus ini bermula ketika Semanario Universidad, surat kabar kampus Universidad de Costa Rica, melansir berita tentang -Alexandra Arce von Herold, dokter dan aktivis antinuklir yang mengajukan gugatan pidana kasus perundungan seksual terhadap Arias pada 5 Februari lalu. Aduan berikutnya datang dari Morales. Lalu sejumlah perempuan lain berturut-turut membuat pengakuan serupa. Total, hingga pekan lalu, sembilan perempuan telah mengaku menjadi korban Arias.
Alexandra menuduh Arias menyerangnya secara seksual pada 2014. Saat itu dia datang ke rumah Arias untuk membahas kampanye pelucutan senjata nuklir. Dia berharap Arias akan mendukung lembaga swadaya masyarakat bentukannya.
Setelah pertemuan itu, Arias menghampirinya dari belakang, menyentuh dadanya, dan menyibak pakaiannya. “Saya diam membeku, tak tahu apa yang harus dilakukan,” tutur aktivis 34 tahun itu kepada The New York Times. “Saya begitu kaget. Itu tak pernah terjadi pada saya sebelumnya.”
Alexandra mengakui bahwa gerakan #MeToo di Amerika Serikat, khususnya dakwaan pemerkosaan dan kekerasan seksual yang dilakukan Larry Nassar, dokter tim nasional gimnastik perempuan Amerika Serikat, telah mengilhaminya untuk membuat pengakuan tersebut. Dia sebelumnya merasa tertekan oleh gagasan menuduh seseorang yang begitu berkuasa. Dia pernah menulis tentang perundungan yang menimpanya itu di media sosial tahun lalu, tapi kemudian menghapusnya setelah seorang jurnalis lokal mengingatkan bahwa dia bisa menghadapi dampak negatif.
Melalui pengacaranya, Arias membantah tuduhan Alexandra. “Saya membantah mentah-mentah tuduhan kepada saya,” katanya. “Dalam kehidupan publik saya, saya telah mempromosikan kesetaraan gender karena saya percaya bahwa ini cara yang sangat diperlukan untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua orang.”
Arias tidak mengomentari tuduhan lain. Eric Ramos mengatakan tuduhan-tuduhan baru yang muncul bukan bagian dari kasus di pengadilan sehingga Arias dan tim hukumnya tak akan berkomentar.
Adapun Yazmin Morales menuduh Arias menyentuh dadanya dan menciumnya secara paksa dalam sebuah pertemuan di rumah Arias pada 2015. Tapi, ketika dia mencoba mencari bantuan hukum, tiga pengacara menasihatinya agar tidak mengadukan Arias, orang yang paling berpengaruh di negeri itu.
Setelah berita tentang Alexandra muncul, Morales kembali dicegah dua pengacara mengangkat kasusnya hingga akhirnya dia menemukan advokat yang bersedia mendampinginya. “Ketika saya melihat apa yang terjadi pada para perempuan lain dan gerakan #MeToo, saya pikir saya harus berani karena ini telah menjadi kebiasaan,” ujarnya.
Orang ketiga yang membuat pengakuan adalah Emma Daly, Direktur Komunikasi Human Rights Watch. Dia mengaku dirundung pada 1990. Daly menceritakan kasusnya kepada The Washington Post setelah kisah Alexandra mencuat.
Saat itu Daly adalah wartawan The Tico Times yang berbasis di Kosta Rika. Dia mendekati Arias, yang kala itu menjabat presiden dan akan mengikuti pemilihan umum berikutnya, di lobi Intercontinental Hotel di Managua, Nikaragua, untuk wawancara. Bukannya menjawab pertanyaan, Arias malah meraba dadanya dan berkomentar: “Kamu tidak memakai bra,” kata Daly, menirukan ucapan Arias.
Menurut Daly, saat itu tak terlintas di kepalanya untuk membuat laporan formal karena kasus semacam itu sering terjadi di Amerika Latin. “Kami menerimanya begitu saja,” ucapnya. “Tampaknya kelakuan seperti itu biasa dan tak banyak yang dapat saya lakukan.”
Pengakuan juga muncul antara lain dari Carina A. Black, ilmuwan politik di University of Nevada, Amerika Serikat; Eleonora Antillón, bekas pengasuh acara bincang-bincang televisi di Kosta Rika; dan editor buku Marta Araya Marroni.
Tuduhan mutakhir datang dari Patricia Volio García, perempuan kesembilan yang membuat pengakuan tentang perundungan seksual yang dilakukan Oscar Arias. Dalam wawancara dengan La Nacion, Kamis dua pekan lalu, perempuan 60 tahun itu menuturkan kisahnya ketika menjadi pelatih olahraga pribadi Arias 15 tahun silam.
Saat itu, kata dia, Arias bermukim di kawasan Rohrmoser, San Jose, dan di sanalah García memberikan latihan tiga kali sepekan. “Pertama kali dia mengundang saya makan siang di rumahnya setelah sesi latihan. Saya setuju dan dia sangatlah baik,” tuturnya.
Namun kemudian sikap Arias berubah. Menurut García, pada sesi-sesi latihan berikutnya, Arias biasa menggunakan kata-kata tak langsung untuk mengungkapkan gairah seksualnya. Dia meminta Arias berhenti bicara demikian dan mengancam akan berhenti memberikan latihan. Tapi pria itu tak berhenti dan terus meneleponnya ketika dia memutus komunikasi.
García mengaku tak nyaman dengan keadaan itu dan cemas akan nasib keluarganya. Tiga sahabatnya membenarkan bahwa beberapa tahun lalu García telah menceritakan kasus ini kepada mereka.
Laura Chinchilla Miranda, mantan Presiden Kosta Rika dan wakil presiden ketika Arias berkuasa, menggarisbawahi tuduhan terhadap Arias. “Pengalaman menunjukkan, bagi perempuan korban perundungan seksual, sangatlah susah melaporkan insiden yang terjadi karena hubungan kuasa yang bekerja melawan mereka dan mengintimidasi mereka serta karena stigma yang bisa mereka terima,” tulisnya di Facebook. Dia menyatakan masyarakat berkewajiban membantu para korban sehingga mereka dapat “memecah kebisuan”.
IWAN KURNIAWAN (Q COSTA RICA, THE NEW YORK TIMES, THE WASHINGTON POST, LA NACION, HUFFINGTON POST)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo