Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Manuskrip-Manuskrip Kita di British Library

Maret nanti, menyambut London Book Fair, Annabel Teh Gallop, kurator British Library, akan menyampaikan ceramah berjudul “Beauty and History: Javanese Manuscripts from Yogyakarta”.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu manuskrip Jawa di British Library, London. TEMPO/Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANTAI tiga British Library, London. Di sebuah ruang kerja, bersampingan dengan ruang baca koleksi manuskrip Asia dan Afrika (Asian & African Studies Reading Room), Annabel Teh Gallop, 56 tahun, kurator utama seksi Asia Tenggara, menggelar beberapa manuskrip kuno asal Nusantara di sebuah meja panjang.  “Manuskrip-manuskrip ini contoh koleksi Melayu dan Jawa yang kami miliki. Semua disimpan di empat lantai bawah tanah,” kata perempuan yang telah 36 tahun bekerja meneliti naskah-naskah Nusantara di British Library itu.    

Terlihat sebuah Al-Quran tua dari Aceh. Dari keterangan yang disiapkan Gallop, Al-Quran kuno itu bertarikh 1819. Lalu dia juga mengeluarkan kitab-kitab beraksara Arab pegon, antara lain  Hikayat Raja Pasai keluaran 1797, Sejarah Melayu yang  dikopi di Malaka pada 1873, Hikayat Raja Babi yang ditulis pada 1778, Kitab Tajus Salattin yang disalin di Penang pada 1824, dan Hikayat Nabi Yusuf dari Perlis yang bertitimangsa 1802.

Gallop menerangkan satu per satu asal-usul kitab-kitab tersebut. Ia mampu membaca aksara Arab pegon dengan fasih. “Manuskrip Hikayat Raja Pasai yang dikoleksi Inggris termasuk yang tertua. Inggris memiliki dua manuskrip Hikayat Raja Pasai. Satu disimpan di sini. Yang lain di Royal Asian Society,” ujarnya. Yang unik, menurut Gallop, adalah manuskrip Hikayat Raja Babi. Isinya sebuah cerita mengenai pangeran dalam kelahirannya kembali menjadi seekor babi. Dia menjelaskan, ceritanya penuh adegan silat. “Kisah ini ditulis seorang pedagang asal Semarang bernama Usup Abdul Kadir di Palembang. Dagangannya tidak laku. Untuk menghibur diri, dia menulis kisah Raja Babi ini,” ucapnya.

Gallop juga seorang pakar langka yang menggeluti sisi art of book dari kitab-kitab yang diproduksi di Nusantara pada abad ke-18 hingga ke-19. Ia tertarik meneliti aspek penjilidan (binding), jenis kertas yang dipakai, dan bagaimana secara artistik halaman buku-buku itu didesain. “Mushaf Al-Quran yang diproduksi di Nusantara pada abad ke-18 hingga ke-19 banyak dilengkapi dengan flat envelope (sampul penutup dari kulit yang berbentuk seperti amplop besar). Sampul demikian memang lazim dari Turki sampai Persia. Tapi yang istimewa sampul Aceh, ada hiasan dekorasinya,” tutur Gallop.

Ia lalu menunjuk halaman-halaman Al-Quran tua dari Aceh itu. Setiap permulaan juz baru secara desain diberi warna berbeda sehingga pembaca mengetahui perpindahan juz. Menurut Gallop, hiasan mushaf Al-Quran Aceh berbeda dengan Al-Quran Kelantan, Pattani, Terengganu. “Al-Quran terbitan Terengganu menurut saya desainnya bagus. Quran edisi Terengganu sangat terkenal sehingga pada akhir abad ke-18 banyak didistribusikan di Pontianak, Kalimantan; dan di Jawa,” Gallop menerangkan.

Fundamen dasar manuskrip koleksi British Library adalah warisan Sir Hans Sloane (1660-1753). Sloane adalah dokter dan kolektor. “Saat dia meninggal pada 1753, seluruh koleksinya, sekitar 4.000 manuskrip dari seluruh dunia, dihibahkan kepada British Library. Beberapa di antaranya dari Asia Tenggara,” kata Annabel Teh Gallop.

Di lantai tiga British Library dekat Asian & African Studies Reading Room, ada sebuah lemari kaca. Lemari itu memajang beberapa koleksi warisan Sloane dari Asia Tenggara. Di antaranya ada bagian lontar Arjunawijaya asal Bali dari abad ke-17.  Lalu ada sebuah manuskrip berbahasa Arab pegon yang ditulis di Jawa pada 1545 oleh seseorang bernama Abd. al-Qadîm.  Tulisan itu merupakan salinan ulang atas kitab hukum mazhab Syafii karya penulis Yaman dari abad ke-16, Abd. Allâh bin ‘Abd. al-Rahmân Bâ Fadl. “Lihat. Yang menarik, naskah ini ditulis di atas kertas Jawa yang disebut jeluang,” ucap Gallop. Manuskrip Asia Tenggara milik British Library kemudian bertambah banyak. Mereka mendapat manuskrip dari mana saja, termasuk manuskrip asal Keraton Yogyakarta yang diperoleh dari John Crawfurd dan Colin Mackenzie.

“Dua naskah ini contoh yang dirampok Stamford Raffles, John Crawfurd, dan Colin Mackenzie dari Keraton Yogyakarta pada 1812,“ tutur Gallop, menunjuk dua kitab di meja. “Ini Serat Panji Angronagung dari Pakualaman dan pakuwon atau almanak Jawa. Lihat, keduanya memiliki hiasan bagus.”

Pada 20 Juni 1812, sekitar 1.200 tentara Inggris—separuh orang Eropa dan separuh lagi Sepoy (India-Inggris)—di bawah komando Kolonel R.R. Gillespie membombardir tembok Keraton Yogyakarta. Tim Hannigan, penulis Inggris, dalam bukunya, Raffles and the British Invasion of Java, menulis bahwa harta keraton disita. Kolonel Gillespie secara pribadi mengambil perhiasan emas yang bila ditakar semua bisa senilai 15 ribu pound sterling (setara dengan 500 ribu pound sterling saat ini). Peti-peti harta diangkut ke Benteng Vredeburg. Sultan dan pendampingnya dipaksa menyerahkan keris dan perhiasan emas mereka. Pedang dan belati Sultan kemudian dikirim Raffles kepada Lord Minto di Kolkata, India, sebagai lambang “penyerahan total” Keraton Yogyakarta. Bahkan kancing-kancing berlian pada jas Sultan dicopot oleh serdadu Sepoy, yang bertugas mengawalnya, tatkala ia tertidur di tahanan.

Saat itu barang jarahan merupakan imbalan besar bagi perwira dan tentara Inggris yang berhasil dalam suatu penyerbuan. Kepada Lord Minto, atasannya, Raffles menjelaskan penyerbuan Keraton Yogyakarta itu dalam sebuah surat: “Semua barang berharga milik Yogyakarta dibagi-bagi. Tapi, dalam pembagian langsung di tempat, para serdadu mengambil untuk diri sendiri lebih banyak dari yang sepatutnya. Saya tidak mengira mereka akan bertindak begitu cepat dan buru-buru. Tapi, karena itu sudah terjadi, percuma melarang atau menghukumnya.”

Koleksi naskah jatuh paling banyak ke tangan Kolonel Colin Mackenzie. Sebagian besar koleksi ini dibawa pulang ke Benggala pada Juli 1813 dan kemudian dikenal sebagai The Mac-kenzie Private Collection. “Sekarang 75 manuskrip Yogya dari koleksi Crawfurd dan Mackenzie disimpan di British- Museum,” kata Gallop. Menurut Gallop, harta jarahan lain seperti emas dan perak sangat sulit terlacak. “Di Singapura sekarang sedang ada pameran koleksi Raffles. Mereka juga meminjam benda-benda dari British Museum. Tapi saya lihat tidak ada arca besar. Yang ada hanya patung perunggu kecil-kecil. Memang, setahu saya arca-arca jarahan Raffles yang disimpan di British Museum hanya ada dua atau tiga kepala Buddha dari Borobudur.” 

Annabel Teh Gallop di British Library. TEMPO/Seno Joko Suyono

Selain membawa patung kepala Buddha Borobudur, Raffles banyak menggondol ke London koleksi wayang seperti wayang klithik, wayang kulit, dan wayang golek. Tapi, menurut Gallop, koleksi topeng dan wayang milik Raffles bukan jarahan. “Memang, saat di Yogya, Raffles mengumpulkan dan meminta dibuatkan wayang untuk melengkapi koleksinya.”

Gallop sendiri secara khusus tertarik meneliti aspek desain dari manuskrip Yogyakarta yang ada di British Library. Itulah yang akan diterangkan dalam ceramahnya pada 12 Maret mendatang di British Library. “Lihat, naskah Panji yang diambil dari keraton ini memiliki dua halaman depan dengan hiasan berbentuk gapura. Tapi saya menduga halaman dengan gambar ini ditambahkan atas permintaan John Crawfurd ,” tutur Gallop.

Secara teliti Gallop memperlihatkan perbedaan jenis kertas antara halaman yang ada ilustrasinya dan tidak dalam naskah Panji itu. Halaman yang ada ilustrasinya, menurut dia, menggunakan kertas yang diimpor dari Eropa. “Kalau kertas dari Inggris saat itu, pasti ada tanda tahunnya. Nah, saya lihat di dua halaman pertama itu terdapat tanda kertas dibuat pada 1814. Padahal manuskrip dijarah pada 1812. Jelas dua halaman itu ditambahkan kemudian,” ucapnya. Gallop menduga John Crawfurd meminta Pakualaman memberikan tambahan agar naskah yang dimilikinya menjadi bagus. 

Akan halnya koleksi pakuwon, Gallop melanjutkan, setahu dia, merupakan koleksi pakuwon tertua. “Pawukon itu dibuat pada 1728. Setiap wuku atau kelahiran ada gambar tokoh wayang berbeda,” dia menjelaskan. Banyak manuskrip jarahan dari Keraton Yogyakarta berupa teks tembang yang dinyanyikan dalang dari akhir abad ke- 18. “Ada 20 lebih manuskrip seperti itu. Yang menarik, di manuskrip-manuskrip tersebut ada tempelan kertas lain dengan kalimat lain,” tuturnya. Gallop menduga tempelan kata-kata itu merupakan koreksi. “Tapi, bagi saya, yang luar biasa adalah tempelan kertas tersebut dijahit di atas ke kertas lama.”

Pada 28 Maret 2018, Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X berkunjung ke British Library untuk meresmikan proyek digitalisasi The Javanese Manuscript from Yogyakarta. “Proyek digitalisasi ini sekarang hampir selesai. Maret sekalian kami luncurkan,” kata Gallop. Digitalisasi manuskrip yang dijarah dari Keraton Yogyakarta ini, dia menerangkan, didanai dengan biaya besar oleh Sri Prakash Lohia, pengusaha yang berminat pada naskah-naskah lama.

Pengusaha keturunan India-Indonesia itu adalah pendiri dan Chairman PT Indorama Corporation, yang bergerak dalam bisnis tekstil dan petrokimia. Dia dikenal sebagai kolektor tingkat dunia untuk litografi. Menurut Gallop, ada beberapa kesulitan dalam digitalisasi, misalnya terhadap naskah yang memiliki jahitan kertas. “Kami tidak boleh terlalu membuka jahitannya. Bisa rusak semua. Untuk melihat bagian yang tertutup, kami memotret dari tiga sisi,” ujarnya. Kini, Gallop menerangkan, untuk mempelajari manuskrip dari Yogyakarta yang dijarah Raffles, tidak perlu datang ke British Library. “Anda tinggal klik Internet,” kata Gallop, yang pernah membuat buku Indonesian Manuscripts in Great Britain bersama sejarawan M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve.

SENO JOKO SUYONO (LONDON)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus