Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANTAI dua Providores, sebuah restoran Meksiko di bilangan Marylebone, London, Inggris. Di tiap meja, terhidang emping melinjo, kerupuk udang, sambal kacang Jawa, sambal hijau Padang, sambal tomat Sunda. Hilir-mudik staf restoran itu kemudian menghidangkan tuna bumbu gohu sebagai kudapan pembuka. Lalu main course: nasi kuning, kari bebek Aceh, ikan goreng bumbu woku Manado, terung balado, lodeh labu, keripik tempe. Dan akhirnya dessert: lapis legit, bubur sumsum, sagu kelapa. Dipungkasi kopi Bajawa Flores.
Pada sore 13 Februari lalu itu, digelar acara Spice Islands Revisited. Dua chef Indonesia, Petty Elliott, penulis buku Papaya Flower: Manadonese Cuisine Provincial Indonesian Food; dan Santhi Serad, penulis buku Leaf It to Tea, adalah duo koki di balik sajian itu. Sebelum para tamu mencamil dan menyantap hidangan, mereka sedikit menerangkan sejarah rempah-rempah. Rempah-rempah dikenal luas di dunia berasal dari Kepulauan Banda, Ternate, Tidore, Halmahera. Kedua chef itu menguraikan, penggunaan unsur rempah dalam makanan baru menguat ketika bahan itu dibawa pedagang ke Aceh dan Palembang karena di sana awalnya rempah diolah untuk makanan bercita rasa selera pedagang Arab dan Cina. “Unsur kuliner di Aceh dan Sumatera Barat, misalnya, kemudian lebih kaya rempah daripada di tempat asalnya, Banda, Ternate,” Santhi menjelaskan.
London Book Fair 2019 akan berlangsung pada 12-14 Maret mendatang. Terpilihnya Indonesia sebagai Market Focus Country agaknya membuat Komite Buku Nasional, yang ditunjuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Ekonomi Kreatif mengorganisasi keikutsertaan Indonesia dalam acara tersebut, melakukan promosi pendahuluan di London. Serangkaian acara digelar pada pertengahan Februari lalu untuk menarik perhatian komunitas-komunitas di London, dari komunitas perbukuan sampai kuliner. Serangkaian pertemuan dengan berbagai institusi kepenulisan dan museum, seperti National Poetry Centre, Asian Literary Review, dan British Library, dilakukan.
Suasana perhelatan IslandS of Imagination: An Indonesian Cultural Late di Asia House, New Cavendish Street, LONDON, 15 Februari lalu. Kris Djajusman
Dalam acara kuliner di restoran Providores yang dihadiri para food blogger, Petty dan Santhi satu per satu menerangkan bumbu masakan. Hadir juga Sri Owen, 74 tahun, yang dikenal sebagai penulis buku Indonesian Food dan telah puluhan tahun menetap di London. “Dia yang di awal 1970-an pertama kali memperkenalkan gado-gado, soto, dan sebagainya di London,” kata Janice Gabriel, produser program makanan di stasiun televisi London. Ia banyak membuat dokumenter seri makanan Asia. Menurut dia, sebagaimana soal penganan Indonesia, masyarakat London awalnya tak begitu tahu soal khazanah makanan Korea. “Tapi pemerintah Korea agresif menyokong kuliner mereka. Sekarang banyak sekali restoran Korea di sini. Indonesia belum.”
Sehari sebelumnya, John McGlynn dari Lontar Foundation, koordinator program Market Focus Country, memberikan ceramah di kedutaan Indonesia mengenai penerjemahan sastra Indonesia. Acara itu diadakan Anglo-Indonesian Society, perhimpunan warga London yang memiliki kecintaan terhadap Indonesia yang didirikan pada Mei 1956. Mereka kebanyakan peneliti tentang Indonesia atau pernah bertugas di Indonesia. Kegiatan perhimpunan ini mengadakan ceramah seputar kebudayaan dan politik Indonesia. Mereka juga kerap melakukan kunjungan ke museum-museum di London yang memiliki koleksi artefak Indonesia. Anglo-Indonesian Society- kini dipimpin Duta Besar Inggris untuk Indonesia pada 2008-2011, Martin Hatfull.
McGlynn banyak menceritakan pengalamannya menerjemahkan karya sastra Indonesia. “Novel Indonesia yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa Inggris adalah Senja di Jakarta (Twilight in Djakarta) karya Mochtar Lubis,” ucapnya. Menurut dia, sangat sedikit penerjemah yang memfokuskan diri pada sastra Indonesia. Itu sebabnya sastra Indonesia kurang dikenal secara global. “Tahun 1970-an hanya tercatat Harry Aveling dan Burton Raffel,” dia menambahkan. McGlynn, yang berasal dari Wisconsin, Amerika Serikat, melalui Lontar Foundation, akhirnya aktif melakukan penerjemahan.
Dalam sesi tanya-jawab, seseorang bertanya, bila menerjemahkan novel mutakhir Azhari—sastrawan asal Aceh—Kura-Kura Berjanggut (2018), yang tebalnya sekitar 960 halaman, apakah dia akan mengeditnya. McGlynn menjawab: “Buku itu sendiri saat diterbitkan Banana Publisher sudah diedit seratus halaman lebih. Kalau tidak, tebalnya bisa seribuan halaman.”
John McGlynn saat BERceramah di kedutaan Indonesia mengenai penerjemahan sastra Indonesia. Kris Djajusman
Acara utama penjajakan London Book Fair dua pekan lalu adalah perhelatan Islands of Imagination: An Indonesian Cultural Late di Asia House, New Cavendish Street, pada 15 Februari. Suara Ubiet meliuk-liuk khas tatkala melantunkan lagu-lagu ciptaan S. Abdullah, tokoh keroncong pada 1920-an. Lagu-lagu itu tidak diiringi dengan ukulele, tapi musik eksperimental dari duet musikus Tesla Manaf, yang memainkan synthesizer, dan Shafur Bachtiar, yang menabuh gendang Melayu. “Saya ingin bereksperimen memadukan dua musisi dari genre berbeda,” ucap Ubiet. Acara yang juga menampilkan peragaan busana karya Didiet Maulana itu terlihat ramai. Penonton sampai lesehan saat Ubiet menyanyikan Mars Persatoean Arab, Gitar Melodi, Kota Bandoeng, Maen Gitar Serta Menjanji, Semanget Baroe, dan Soto Maduroe. “Saya meriset piringan hitam S. Abdullah di Leiden,” tutur Ubiet.
Terpilihnya Indonesia sebagai Market Focus Country di London Book Fair 2019 bisa disebut sebagai momen penting dalam sejarah perbukuan Indonesia. “Ini meneruskan momentum Frankfurt Book Fair 2015, saat kita menjadi Guest of Honor,” kata Laura Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional. Menurut Laura, Frankfurt Book Fair 2015 berdampak besar pada dunia perbukuan Indonesia. “Buku kita mulai dikenal di dunia global. Hingga sekarang, dari Frankfurt 2015 itu sudah lebih dari seribu buku kita dibeli hak terjemahannya.”
Bukan itu saja. Menurut John McGlynn, jumlah wisatawan Jerman yang berpelesir ke Indonesia meningkat setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. “Efeknya bukan hanya pada buku,” ucapnya.
Skala London Book Fair memang tidak sebesar Frankfurt Book Fair. Waktu penyelenggaraannya lebih pendek. London Book Fair hanya tiga hari, sementara Frankfurt Book Fair lima hari. “Tapi London Book Fair sangat penting untuk penjualan hak cipta terjemahan. Ini forum khusus business-to-business,” ujar Laura. Sementara Frankfurt Book Fair terbuka untuk umum, perhelatan London Book Fair terbatas diikuti penerbit dan penulis sehingga lebih spesifik. “Tidak mudah menjadi Market Focus Country London Book Fair. Negara yang terpilih harus memiliki banyak konten buku menarik. Malaysia, misalnya, punya uang untuk membuat stan mewah atau menyelenggarakan perhelatan lebih besar, tapi, karena tidak banyak memiliki buku bagus, tak bisa terpilih,” kata McGlynn.
Direncanakan malam resepsi Indonesia sebagai Market Focus Country akan diadakan di tempat prestisius Design Museum di London. Mereka yang diundang hadir ke museum yang terletak di kawasan Kensington High Street ini para penerbit dari berbagai negara, agen literasi di London, dan banyak penulis. “Ruangan tempat resepsi saya desain dengan bola-bola besar dan kecil,” ujar Fauzia Evanindya, arsitek dari biro konsultan desain bernama unik, FFFAAARRR. Bola-bola besar dibuat dari balon, sementara yang kecil dari plastik. “Awalnya konsep seperti bubble dalam air. Bola-bola digantung. Tapi, karena alasan teknis persiapan hanya boleh satu jam, nanti tak jadi digantung,” tutur Fauzia.
Penampilan Ubiet di Asia House. Kris Djajusman
Ubiet akan kembali menyanyi pada malam resepsi. Selain kombinasi synthesizer dan gendang Melayu, cello akan ikut memberikan iringan. Urusan kuliner juga kembali ditaja oleh duet chef Petty Elliott dan Santhi Serad. “Diperkirakan 450 orang yang hadir. Saya ingin menyajikan makanan seperti perkedel jagung sambal dabu-dabu, sate maranggi, dadar gulung, pisang goreng karamel, salmon sambal matah, bubur ketan, lalu kunyit asam dicampur vodka,” ucap Santhi.
Jantung acara Maret nanti adalah di Olympia, tempat berlangsungnya Book Fair. Stan Indonesia di Olympia akan seluas 600 meter persegi. “Empat ratus meter khusus untuk penjualan buku. Desainnya saya buat dua tingkat. Di tingkat atas melingkar, pengunjung bisa berjalan keliling melihat pajangan buku-buku kita,” kata Fauzia. Adapun 200 meter persegi didesain untuk “Spice Café”. Di sini diskusi dengan para penulis Indonesia disertai suguhan kudapan dan minuman Indonesia akan diadakan tiap hari. Seluruh pengerjaan konstruksi diserahkan kepada konstruktor Italia. “Biayanya jauh lebih murah daripada mengerjakan di London. Bahkan dengan ongkos kirim jauh lebih murah,” tutur Fauzia.
Direncanakan ada 20 penerbit Indonesia yang ikut serta. Di antaranya Afterhours Books, ASTA Ilmu Publishing, Balai Pustaka, Gagas Media, Gema Insani Publisher, Imaji Books, Impian Studio, Indie Collective Publishers, Kesaint Blanc, Lontar Foundation, Mizan, Republika Publisher, Polimedia Publishing, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, re:On Comics, Litara Foundation, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, dan Zikrul Bestari. Sebagian besar penerbit ini juga mengikuti Frankfurt Book Fair 2015.
Diakui oleh Kartini Nurdin, Ketua Yayasan Pustaka Obor Indonesia, keterlibatan penerbit Obor dalam Frankfurt Book Fair 2015 banyak membuka peluang terjualnya hak terjemahan buku mereka di pasar perbukuan global. “Di Frankfurt 2015, saat itu empat buku terbitan Obor, Indeks Kemandirian Desa karya Ivanovich Agusta, Sejarah Konflik Aceh karya S.M. Amin, Konflik Nelayan karya Rilus A. Kinseng, dan Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia karya Zulyani Hidayah, dibeli hak terjemahannya oleh penerbit Jerman, Springer,” kata Kartini.
Sepulang dari Frankfurt, rentetan pembelian hak terjemahan buku terbitan Obor berlangsung terus. “Tahun 2016, novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dibeli hak terjemahannya oleh penerbit Prancis, Les Editions du Sonneur. Novel Harimau! Harimau! juga kemudian dibeli hak penerjemahannya ke bahasa Arab oleh Al-Jawhara Publishing dari Dubai,” ucap Kartini.
Kartini mengungkapkan, novel lain Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, tengah dalam proses tawar-menawar diterjemahkan ke bahasa Turki dengan N.A.R. Publication. “Tapi skemanya mereka minta tukar-tukaran,” tuturnya. Pemerintah Turki, Kartini melanjutkan, kini menyediakan grant atau dana hibah penerjemahan buku-buku Turki ke bahasa asing. Dana itu cukup besar. Hibah diberikan untuk biaya penerjemahan atau pencetakan buku. Penerbit luar Turki yang berminat menerjemahkan buku terbitan Turki boleh memilih. “Nah, N.A.R. Publication meminta kita mengajukan permintaan hibah kepada pemerintah Turki untuk menerjemahkan dua buku anak terbitan mereka berjudul Bird Tree dan Lion Bird ke bahasa Indonesia. Sebagai gantinya, mereka akan membeli hak terjemahan Jalan Tak Ada Ujung ke bahasa Turki,” kata Kartini. Dia mengakui akhirnya mendapat dana hibah US$ 4.500 untuk menerjemahkan kedua buku anak itu.
Untuk London Book Fair pada Maret nanti, Obor sudah mempersiapkan beberapa buku yang akan dijual hak terjemahannya. “Kami akan membawa sekitar sepuluh buku, antara lain novel-novel Mochtar Lubis lagi, novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe, serta tiga buku tentang silat, yaitu Maen Pukulan Betawi (Betawi Martial Arts) karangan G.J. Nawi serta Pencak Silat for Next Generation dan Keyakinan dan Kekuatan: Seni Bela Diri Silat Banten karya Oong Maryono. Semoga buku-buku silat ini menarik penerbit luar,” kata Dian Andriani dari bagian pemasaran internasional Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Lans Bramantyo dari penerbit Afterhours, yang banyak menerbitkan buku-buku berbahasa Inggris luks bertema budaya dan seni Indonesia, juga menyatakan akan membawa banyak buku ke London. “Terutama terbitan-terbitan kami yang baru, seperti Batak Opera, A Village in the Clouds, Tattoo Iban, Indonesian Women Artist: Into the Future, Bobo: The Traveling Hound,” ujar Lans. Buku Bobo: The Traveling Hound—karya kolaborasi Irma Lengkong Mikkonen, yang menetap di London, dan perupa Hanafi—akan didiskusikan khusus.
Kartini Nurdin dari Obor mengaku sama sekali “buta” pasar buku London. “Kita masih meraba-raba. Kita sudah pernah ke Frankfurt Book Fair, Beijing International Book Fair, American Book Expo, Chicago, Taipei Book Fair, Istanbul Book Fair, Sharjah International Book Fair, tapi belum pernah ke London Book Fair. Pasar London harus dibuka,” katanya. Untuk itu, sejak jauh hari Obor sudah membuat janji bertemu dengan beberapa penerbit luar. “Sudah ada lima penerbit yang berjanji bertemu dengan saya di London Book Fair, Maret nanti, Lisie, Amsterdam; Gita Publishing House, India; Red Rock Agency, London; Seibunka Japan; Ebook London,” ujar Dian Andriani.
Selain membawa buku-buku “serius”, Obor akan mengusung buku anak-anak. “Kami akan membawa buku Siti karya Rahmah Asa yang terinspirasi buku Die Sterntaler karya Wilhelm dan Jacob Grim serta Timun Mas yang dinarasikan ulang Rahmah Asa. Kedua buku itu sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Atifah, putri Rahmah Asa yang tinggal di Amerika,” kata Dian. Ilustrasi dalam buku itu, Dian menambahkan, dibuat oleh ilustrator Bandung, Ella Elviana. “Keren sekali.”
Memang, buku anak Indonesia bergambar menjadi favorit penjualan. Dalam Frankfurt Book Fair, yang paling laku adalah hak terjemahan buku anak bergambar. “Ilustrator-ilustrator buku anak kita luar biasa memikat,” ucap Laura Prinsloo. “Kami bekerja sama dengan UK Publishers Association akan menghadirkan sesi diskusi tentang buku anak dan dunia ilustrasi,” tutur John McGlynn. Direncanakan Clara Ng dan Reda Gaudiamo akan membahas moralitas dalam fiksi anak-anak. Lalu ada sesi diskusi tentang ilustrasi Indonesia oleh Evelyn Ghozali dan Mayumi Haryoto.
Bekerja sama dengan British Council, London Book Fair juga akan menghadirkan sastrawan Indonesia untuk terlibat dalam percakapan dengan kritikus serta pengamat sastra dari Inggris yang dipilih British Council. Di paviliun PEN Literary- Salon, misalnya, akan digelar “Dee Lestari in Conversation with Matthew Janney”, “Leila Chudori in Conversation with Ellah Wakatama Allfrey”, “Seno Gumira Ajidarma in Conversation with Sian Cain”, dan “Nirwan Dewanto in Conversation with Boyd Tonkin”.
Lalu akan diadakan beragam diskusi dengan tema sastra dan keindonesiaan. Norman Erikson Pasaribu dan Intan Paramaditha, misalnya, akan membahas tema “Resistance: Literary as Activism”. Intan dan Clara Ng juga akan terlibat diskusi “Feminist Fairy Tales”. Adapun Laksmi Pamuntjak, Norman Erikson, dan Paul McVeigh akan membicarakan masalah tabu dalam sastra Indonesia. Norman juga akan menyoal “Democracy in Indonesia: Cultural Perspectives” bersama Djenar Maesa Ayu, Leila S. Chudori, dan Ben Murtagh. “Diskusi tidak melulu masalah sastra, tapi juga soal agama dan kebudayaan,” kata Laura Prinsloo. Haidar Bagir, tokoh intelektual Islam pemilik Mizan, dijadwalkan ikut dalam diskusi bertema “Faith in Translation: Islamic Books Crossing Cultural Frontiers”. Lalu sebuah diskusi bertajuk “Islam, Indonesia and The Global Muslim Market” akan diisi oleh Triyana Rahmawati dan cendekiawan muslim Inggris, Ziauddin Sardar.
Beberapa sastrawan pun akan membacakan puisinya. Avianti Armand dan Laksmi Pamuntjak dijadwalkan membacakan sajak-sajak mereka di National Poetry Library. “Nirwan Dewanto akan membaca di London Review Bookstore di kawasan Bloomsbury,” kata John McGlynn. Pembacaan puisi itu sekaligus menandai peluncuran majalah sastra Stern edisi terbaru, yang akan memuat sajak-sajak Nirwan dan Avianti. Stern adalah majalah sastra terkenal Inggris yang didirikan pada 1952. Bloomsbury pada awal abad ke-20 dikenal sebagai kawasan kediaman para penulis, penyair, filsuf, dan seniman yang tergabung dalam Bloomsbury Group, seperti Virginia Woolf, E.M. Forster, dan J.M. Keynes.
“Memang, di Indonesia ada banyak pertanyaan kepada saya mengapa sastrawan ini yang dipilih, bukan yang itu,” ujar McGlynn. “Selain karyanya bagus, pertama-tama yang kita pilih adalah kemampuan bahasa Inggris dan pergaulannya. Di Frankfurt Book Fair ada sastrawan yang kita undang untuk diskusi, tapi lebih banyak diam dan menunduk. Itu kan memalukan.”
Petty Elliott (kiri), penulis buku Papaya Flower, dan Santhi Serad di Asia House, New Cavendish Street. TEMPO/Seno Joko Suyono
Tapi bukan hanya buku yang disajikan di stan Indonesia nanti. Komik Indonesia, novel grafis, animasi, dan game juga mendapat porsi besar. Dunia komik Indonesia kini selalu dilibatkan dalam promosi-promosi kebudayaan di mancanegara. Dalam Frankfurt Book Fair, display komik Indonesia mendapat tempat utama di Paviliun Indonesia. Di Belgia, dalam acara Europalia, dunia komik kita juga dipamerkan tersendiri. Dalam London Book Fair, serangkaian diskusi tentang komik dan animasi dijadwalkan. Bahkan bakal ada pemutaran film animasi Battle of Surabaya dan cuplikan film karya Joko Anwar, Gundala, yang sebenarnya baru akan dirilis pada Juli 2019.
“Setelah London Book Fair selesai, rangkaian promosi dunia perbukuan Indonesia akan diteruskan sampai Agustus. Ada 30 acara di seluruh London. Kita bekerja sama dengan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia),” tutur McGlynn. “Kita memberikan semacam grant kepada komunitas-komunitas Inggris untuk terlibat dalam acara ini,” Laura Prinsloo menambahkan. Menurut Laura, dalam soal hibah untuk memajukan industri buku, Indonesia masih belum apa-apa dibanding Cina.
Hal itu diakui Kartini Nurdin dari penerbit Obor. “Cina gila-gilaan memberikan hibah untuk penerjemahan ataupun pencetakan buku-buku mereka,” katanya. Dua buku terbitan Obor, Reformasi Ekonomi Tiongkok dan Kebangkitan Renminbi karya Chen Yulu serta China Dream karya Zhou Tianyong, ia akui sebagai hasil dari hibah dana Cina yang sangat besar. “Saya sendiri heran mengapa Cina mau memberikan uang cuma-cuma sebegitu banyak untuk para penerbit. Apakah ada motivasi politik tertentu?”
Yang menarik: British Library juga ikut ambil bagian meramaikan terpilihnya Indonesia sebagai Market Focus Country. British Library adalah perpustakaan terbesar di dunia yang menyimpan banyak buku dan manuskrip tua dari berbagai belahan dunia. Perpustakaan itu akan memamerkan beberapa manuskrip dari Yogyakarta koleksi mereka yang jarang sekali dikeluarkan. Naskah-naskah itu didapatkan dari anak buah Thomas Stamford Raffles saat mereka menyerang dan menjarah Keraton Yogyakarta pada 1812.
“Koleksi naskah Nusantara yang kami miliki cukup banyak, sekitar 600 naskah Melayu Nusantara dan 300 naskah Jawa. Khusus yang dari Jawa terdapat 75 manuskrip dari Keraton Yogyakarta yang berasal dari jarahan saat Raffles menyerbu keraton,” kata Annabel Teh Gallop, ketua seksi dan kurator Asia Tenggara. Betapapun demikian, untuk keperluan pameran, British Library cuma akan menyajikan lima naskah jarahan tersebut, yakni dua pakuwon, satu babad, Serat Jaya Lengkara Wulan, dan Serat Menak Amir Hamzah. “Yang Serat Menak Amir Hamzah tebal sekali, lebih dari 1.500 halaman. Kalau satu bagian dianggap dua halaman, hitungannya lebih dari 3.000 halaman,” ujar Gallop.
Semua naskah itu telah diidentifikasi oleh M.C. Ricklefs, sejarawan yang memverifikasi manuskrip asal Yogyakarta. “Kondisi manuskrip masih baik. Semua 75 manuskrip itu milik John Crawfurd, bawahan Raffles yang tinggal di Yogyakarta dan kemudian menjadi residen Singapura; serta Colin Mackenzie, ahli militer sahabat Raffles,” tutur Gallop. Menurut Gallop, manuskrip Jawa yang diambil dari istana dan kemudian dibawa Raffles sendiri sesungguhnya hanya dua. “Dan itu kemudian tidak disimpan di British Library, tapi di Royal Asian Society,” ucapnya.
Gallop menjelaskan, tatkala Raffles menyerbu keraton, harta yang dijarah dibagi-bagikan kepada para serdadu. “Waktu itu ada peraturan perang bahwa harta yang dijarah tidak boleh menjadi milik pemerintah, melainkan harus didistribusikan kepada para prajurit.” Menurut Gallop, para prajurit bawahan cenderung mengingini perhiasan emas dan perak. “Para serdadu itu tidak tertarik mengambil manuskrip,” katanya. Sebagian besar manuskrip kemudian diambil John Crawfurd dan Colin Mackenzie. “Raffles hanya mengambil Serat Sri Rama dan Babad Mataram. Dua kitab itu mungkin paling bagus karena terdapat banyak ilustrasi.”
Demikianlah, di London, Maret nanti, dunia buku Indonesia akan berpesta.
SENO JOKO SUYONO (LONDON)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo