Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kitab Baru Sang Teroris

Polisi menggelar siaga tinggi untuk mencegah siklus tahunan bom, sejak pekan lalu. Azahari tewas. Noor Din M. Top lenyap. Tapi ancaman tetap subur. Kini beredar ”buku panduan” baru terorisme mandiri. Manual itu bisa memandu siapa pun untuk melahirkan teror sekelas bom Bali II. Inilah laporan Tempo.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0929.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

+ Apakah komputer jinjing yang dipakai Imam Samudra untuk chatting sudah menjadi barang bukti?

- Tidak ada (komputer jinjing).

+ Jadi dia memakai apa?

- Komputer meja, komputer jinjing. Entahlah. Kan sama saja.

+ Komputer meja di dalam penjara?

- Justru itu yang menarik. Penyidik juga berpikir boleh jadi dia tidak chatting di selnya. Bisa di ruang sipir.

+ Anda sudah membaca isi chatting?

- Maaf, itu harga mati. Kami tidak akan mengumumkannya.

v v v

INI petikan percakapan Tempo de­ngan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Purwoko di kan­tornya, Jumat petang pekan la­lu. Polisi sudah mencokok dua lawan bicara Imam via Internet, Agung Setya­di dan Agung Prabowo. Tapi misteri chatting Imam Samudra di penjara Kerobokan, Denpasar—yang ramai diberitakan media sejak tiga pekan lalu—belum terkuak. Satu buron masih gentayangan. ”Sebut saja Mr X,” ujar Kepala Polri Jenderal Sutanto.

Purwoko memilih tutup mulut. Sutan­to cuma memberikan kode nama. Ya, Imam Samudra hanya satu titik dari gudang besar terorisme yang harus di­si­­sir polisi. Mereka memilih bersikap eks­­tra ­hati-hati. Sumber di kepolisian yang pernah melongok rekaman chatting Imam menuturkan, sebagian besar isinya hanya obrolan perintang waktu. ”Kata-katanya jorok menjurus porno,” ujar­nya kepada Tempo.

Lalu dia menambahkan dengan wajah muram, kata-kata jorok itu diduga­ ber­isi petunjuk operasi bom Bali II yang meng­empaskan Bali pada 1 Oktober 2005.

Agustus hingga November boleh dikata menjadi ­”jad­wal rutin” aksi teror di Indonesia, setidaknya dalam lima tahun ter­akhir. Maka sejak pekan lalu, polisi menggelar s­iaga tinggi terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyambut ”bulan-bulan bom”.

Kepolisian Daerah Jawa Timur me­la­kukan operasi kendaraan bermotor saban hari. Di kawasan protokol Jalan Di­ponegoro, Surabaya, seseorang dita­han gara-gara membawa lima keping ca­kram digital pada Selasa pekan lalu. Dia dilepas setelah cakram dipastikan hanya berisi data pekerjaan kantor.

Kepolisian Daerah Jawa Tengah me­la­kukan operasi serupa. Kepala Polda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Dody Sumantyawan bahkan mengundang se­mua kepala desa untuk berkumpul pada pekan depan.

Semua desa diminta meng­hidupkan lagi buku tamu desa. ”Setiap tamu iden­­titasnya harus dicatat,” kata Dody. ”Gerak­an­ teroris seperti balon air, dipencet ka­nan lari ke kiri, dipencet kiri lari ke kanan,” dia menambahkan.

Sidney Jones, peneliti jaringan tero­ris di Indonesia dari International Crisis Group, berpendapat gerakan kelompok Noor Din sebetulnya telah me­nyempit. ”Dukungan personel dan da­na jauh ber­kurang,” katanya. Tetapi potensi bahaya masih kuat.

Jones mencontohkan, Noor Din tidak­ pernah lelah mencetak kader-kader s­iap­-jihad selama dalam persembunyi­an. Adapun Azahari selalu dikitari murid yang cergas belajar merangkai bom.

Toh, seorang pengurus wilayah or­ganisasi­ Jamaah Islamiyah Jawa Te­ngah meng­ang­gap operasi polisi di ke­dua provinsi itu ber­le­bihan. ”Bisa apa, Mas, orangnya (ke­lompok teroris) sudah habis,” kata­nya kepada Tempo. Boleh jadi demikian. Namun ancaman teror tetap bisa datang dari pintu yang lain.

Beberapa bulan terakhir misalnya, telah beredar satu buku manual baru di antara beberapa kelompok jihad. Manual itu berisi resep membuat sel atau kelompok jihad mandiri. Seorang sumber yang memiliki salinan buku itu meng­izinkan Tempo membacanya.

Setebal 82 halaman, buku itu disusun dalam bahasa Indonesia yang mudah dipahami. Jika buku itu jatuh di tengah jalan dan ditemukan si Fulan, dia bisa membuat sebuah sel jihad tanpa banyak kesulitan. Syarat mutlak hanya satu. Dia harus bisa memimpin.

Tiada keterangan nama pengarang ­bu­ku. Inilah kalimat pembukanya:

+ Setiap hari jumlah orang yang ber­jihad semakin banyak. Alhamdulillah!

Selanjutnya, buku itu menerangkan ideo­logi dan mengutip ayat-ayat suci pem­benaran jihad dengan cara teror. Bab-bab selanjutnya menuliskan de­ngan rinci cara penggalangan dana, rekrutmen anggota sel, pembagian tugas tiap anggota, cara pelatihan, hingga syarat-syarat menentukan tempat pertemuan.

Disebutkan di situ, hanya butuh waktu enam bulan untuk membentuk sel kom­plet. Rekrutmen menjadi babak amat penting. Setiap calon anggota dikeker­ dengan ketat latar belakangnya. Apa ca­tatan hidupnya saat usia 12 hingga 18 tahun. Usia itu dianggap masa pembentukan karakter.

Nah, setiap calon anggota diberi ujian dengan tingkat kesulitan bertahap.­ Tugas bisa bermula sebagai kurir su­rat.­ Jika lulus, derajatnya naik. Dia di­izinkan­ mengirimkan dokumen—sembari dibuat simulasi seolah-olah ada operasi penangkapan oleh polisi. Setelah bakat dan kemampuan si calon lolos ”uji kelayakan”, spesialisasi tugas mulai diperkenalkan.

Di antaranya, spesialisasi dakwah, in­­telijen dan keamanan, kemampuan ber­komputer dan Internet. Seorang ang­gota yang mempunyai latar belakang tek­nik bisa dilatih merancang bom.

Dari mana dana untuk semua kegiatan ini? Ada infak, tentu saja. Para anggo­ta didorong membuat bisnis kelompok.­ Anggota sel juga diwajibkan terlibat da­lam kegiatan masyarakat sekitar. Salah satu kalimat di buku manual itu ber­bunyi:

+ Upayakan selalu hadir dalam acara perkawinan atau selamatan yang di­adakan di lingkungan.

Keamanan dokumen adalah soal mahapenting. Sebotol bensin dan korek api wajib disiapkan di samping komputer.­ Beberapa alamat situs yang menyedia­kan program penghancur dokumen da­lam sekejap direkomendasikan untuk di­­unduh. ­Pada bagian akhir buku terpampang pesan:

+ Kami berharap kalian menyempurnakan tulisan ini berdasarkan pengalam­an khusus yang kalian miliki. Semoga dilindungi Allah, juga Syeik Abu Abdil­lah Osamah bin Ladin, mujahid jaman ini penakluk pasukan komunis dan Amerika Serikat.

Pemilik buku itu maupun beberapa sumber relevan yang dihubungi Tempo­ tidak bisa memastikan kapan manual itu terbit dan seberapa luas peredarannya.­ Jika sudah terpegang oleh banyak ta­ngan, kemunculan kelompok jihad baru akan kian sulit dilacak. Sebab, mereka bisa melakukan operasi penyerangan tan­pa harus dikomando oleh Noor Din M. Top, misalnya.

Langkah-langkah yang diterangkan­ dalam buku itu serupa benar dengan be­berapa sel yang membantu pelarian­ Noor Din dan Azahari saat mereka menyiapkan bom Bali II. Salah satunya Su­bur Sugiyarto, buruh bangunan di Semarang yang pernah membentuk tiga sel. Tiap sel memiliki spesialisasi ma­sing-masing (lihat Pertalian Empat Sel).

Bentuk sel lain bisa kita lihat di Tomini, sekitar 300 kilometer dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Terdiri dari sepuluh orang, kelompok ini dipimpin Ustad Aan alias Opo. Mereka diburu po­lisi gara-gara mengumpulkan dana atau fa’i dengan cara merampok pada Februa­ri lalu.

Fenny Tanriono, pedagang co­ke­lat setempat, menjadi korban. Dia mengalami­ kerugian uang Rp 3 juta, dua telepon geng­gam, dan dua jam tangan. Tubuh Fredy, sopir Fenny, tertembus peluru oleh para pelaku fa’i. Namun nyawanya masih terselamatkan.

Polisi menangkap kelompok Opo dua bulan kemudian. Para pelaku menyebut Aan dengan panggilan amir. Artinya, pe­mimpin. Hingga pekan lalu, delapan dari sepuluh anggota komplotan sudah tertangkap. Kasus perampokan itu masih disi­dangkan di Pengadilan Negeri Palu.

Sumber Tempo di kelompok Muja­hi­din Poso menjelaskan, Opo bukan ang­go­ta inti mereka. Dia baru tiga bulan meng­ikuti pengajian yang membahas so­al fa’i. ”Belum matang ilmunya, dia ne­kat beroperasi,” kata si sumber. Apa­kah me­­reka membaca manual pemben­tukan sel? Hal itu tidak terjawab di peng­­adilan.

Pelaku teror di Indonesia sebagian besar berasal dari organisasi Jamaah Islamiyah. Mereka memulai serangan pa­da 1 Agustus 2000 dengan menghantam Kedutaan Besar Filipina di Menteng, Jakarta Pusat. Tapi polisi baru memperhitungkan bahaya kelompok ini setelah bom Bali 12 Oktober 2002, yang mene­waskan 202 korban dan melukai lebih dari 300 orang.

Setelah itu, teror praktis menjadi aca­ra­ tahunan. Terakhir, bom Bali II me­ngoyak Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005 (lihat infografik). Sejak bom Bali I, po­lisi­ menangkap sekitar 350 orang yang di­duga terlibat aksi teror, hidup atau ma­ti.

Para tersangka umumnya menyebut­ duet warga Malaysia, Noor Din dan Aza­hari, sebagai kreator semua serangan. Salah satunya datang dari Mohamad Cholily, murid Azahari yang diringkus pada November 2005 di Semarang. Dia divonis 18 tahun penjara pada Kamis pekan lalu oleh majelis hakim Pengadil­an Negeri Denpasar.

Dalam dokumen pemeriksaannya yang diperoleh Tempo, Cholily meng­aku pernah mendengar pesan sang guru yang berkata:

+ ”Serangan bom harus dilakukan setahun sekali.”

Tempo mencatat ada sejumlah nama yang diduga terlibat aksi teror masih­ buron sampai sekarang. Sebagian adalah alumni Perang Afganistan tahun 1990-an (lihat Para Lelaki di Sekitar Mami). Amat dikhawatirkan, manual teror­isme­ mandiri bakal dengan cepat memper­kuat jaringan mereka.

Gagasan membuat sel yang mandiri dan terdesentralisasi dipelopori Mustafa Setmariam Nasar, 48 tahun. Pria kelahir­an Suriah ini menyebarkan modul pembuatan sel melalui Internet sekitar tiga tahun lalu. Terdiri dari 1.600 halaman, modul itu diberi judul The Call for a Global Islamic Resistance.

Nasar memakai nama pena Abu Mu­sab al-Suri. Dia menulis, antara lain:

+ ”Lawan begitu kuat dan berkuasa. Kita lemah dan miskin. Perang bakal berlangsung lama. Cara terbaik untuk me­lawan adalah melalui jihad revolu­sioner.”

Sejumlah pengamat teroris dunia me­lihat dari cara membentuk sel, rekrutmen anggota, serta teknik menyiapkan­ serang­an, modul Nasar diterapkan oleh pa­ra te­roris yang menyerang Casablanca­ (2003), Madrid (2004), dan London (2005).

Pada November 2004, Amerika Serikat sempat menyayembarakan ke­pala Nasar seharga US$ 5 juta (setara Rp 45 miliar lebih). Nama Nasar muncul lagi di harian The Washington Post pada Mei 2005. Di situ disebutkan dia telah ditangkap polisi Pakis­tan di perbatasan Kota Quetta.

Bisa jadi. Yang tak bisa ditangkap ada­lah manualnya, yang telah menera­bas hingga Indonesia. Ringkas dan mudah dipahami, manual versi Indone­sia ini dilengkapi muatan lokal yang ”men­dekatkan” pembaca dengan materi. Iba­rat resep, menu telah dicocokkan de­ngan lidah lokal.

Li­ma tahun terakhir me­nu itu dilepas pada rentang Agustus-November.

Seorang polisi mengaku kepada Tempo: ”Kami me­mang bersiaga menyambut ’bulan jihad’ para tero­ris.”

Agung Rulianto, Kurie Suditomo, Eduardus Karel Dewanto (Jakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Rofiuddin (Semarang), Darlis Muhammad (Palu), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus