Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persimpangan Genuk, Semarang, Jawa Tengah, November 2005.
Seorang pemuda celingukan. Teman yang berjanji menjemputnya baru akan datang lima menit lagi. Telepon genggamnya berdering. Si teman menelepon: ”Kamu makan-makan dululah.” Pemuda itu lantas bergegas ke warung di seberang jalan. Ekor matanya menangkap gerak-gerik seseorang di atas motor yang mengawasinya lama. Dia gelisah. Lalu melompat ke atas bus arah ke Demak setelah membayar teh manis yang baru separuh diteguk.
Tujuh menit berlalu, pemuda itu merasa tak ada lagi yang menguntitnya. Dia turun, menyelinap ke belakang satu rumah. Tiba-tiba, dari arah belakang beberapa orang meringkus dan menghelanya ke sebuah sedan. Para peringkus adalah anggota polisi Detasemen 88 Antiteror. Kepada polisi, pemuda itu mengaku bernama Mohamad Cholily.
Nasib Cholily, 28 tahun, kini sudah jelas. Dalam persidangan yang dihadiri Tempo pada Kamis pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjebloskan dia ke penjara selama 18 tahun. Uff... cukup lama. Dia diputus bersalah membantu pelarian duet penebar teror bom, Noor Din Mohamad Top dan almarhum Dr Azahari bin Husin.
Tertangkapnya Cholily membawa efek domino. Polisi menyerbu persembunyian Azahari di Batu, Jawa Timur, pada November 2005. Baku tembak tak terhindarkan. Dari dalam rumah terdengar ledakan bom. Polisi menemukan tubuh Arman dan Azahari keesokan harinya.
Penyerbuan di Batu hanya satu dari serangkaian episode penangkapan besar-besaran. Polisi menguak konspirasi aksi bom di Jimbaran dan Kuta sebulan sebelumnya. Sekitar 20 orang yang terlibat dalam proyek bom Bali II diciduk. Mereka berasal dari empat kelompok atau sel.
Di Jawa Tengah terbongkar sel Wonosobo, Semarang, dan Pekalongan. Misi mereka menyediakan tempat persembunyian, pendanaan, komunikasi, dan transportasi. Sel Jawa Timur mendapat tugas menyiapkan bom.
Cholily mewakili sel Jawa Timur. Keterlibatan mahasiswa teknik Universitas Negeri Malang ini karena ajakan Ahmad Basir, wakalah (pemimpin wilayah) Jemaah Islamiyah wilayah Jawa Timur. Basir—tertangkap dalam penggerebekan polisi, Februari lalu—mengirim dia ke Pekalongan untuk menemui Tedy pada Mei 2005.
Di sana sudah menunggu Tedy dan Noor Din. Tedy lantas membawa Cholily ke Solo untuk bergabung dengan Arman dan Azahari. Setiap hari Azahari mengajarkan cara merakit rangkaian elektronik bom. Pada hari keenam ”kursus bom”, Tedy muncul, mengabarkan operasi penangkapan oleh polisi. Sang guru lantas mengirim Cholily kembali ke Basir di Surabaya.
Tiga pekan berlalu. Basir memerintahkan Cholily ke Malang, mencari rumah kontrakan. Tedy datang seminggu kemudian. Mereka mendapatkan rumah kontrakan di Vila Flamboyan, Batu. Tedy kemudian pergi dan baru muncul lagi bersama Azahari dan Arman sepekan kemudian. Kursus meramu bom dilanjutkan.
Noor Din menyusul ke Batu, diantar Tedy. Saat itu sudah awal September. Selama di Batu, Noor Din rajin memberikan ceramah jihad. Namun, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Azahari. Tedy dan Noor Din meninggalkan Batu setelah tiga pekan berkumpul. Rumah kontrakan kembali sepi.
Malam 1 Oktober 2005. Azahari khusyuk menyimak siaran radio BBC London (di rumah itu tak ada televisi). Sekitar pukul delapan malam, penyiar menyampaikan kabar buruk. Bom merobek Cafe Nyoman dan Cafe Menega di Jimbaran, serta meluluhlantakkan R.Ajas Restaurant & Bar di Kuta Square, Bali.
”Proyek kita berhasil!” kata Azahari dengan riang, seperti yang tercantum dalam dokumen pengakuan Cholily kepada tim polisi antiteror yang memeriksanya. Dalam dokumen pemeriksaan yang diperoleh Tempo, Cholily mengaku saat itu dia baru sadar bahwa kesibukan duet Noor Din dan Azahari di Batu adalah untuk menyiapkan operasi bom.
Sepekan setelah insiden bom Bali, Tedy memberi perintah kepada Cholily melalui chatting internet: ”Bawa kotak kosmetik milik mamiku dan baju-baju, lalu bawa ke warung sate hari Selasa.” Perintah itu diterjemahkan Azahari menjadi: bawa paket bom untuk Noor Din ke tempat persembunyian di Semarang hari Rabu (bukan Selasa).
Dalam dokumen pengakuannya, Cholily menuturkan, ia membawa paket itu ke Semarang. Sial, ketika ia menunggu Tedy, polisi menangkapnya. Pada saat yang bersamaan, Tedy muncul diantar Anif Solchanudin. Polisi mengejar. Anif pun diringkus, tapi Tedy lolos. Anif memutuskan ”bernyanyi”. Maka, polisi berhasil membongkar sel Semarang.
Keterlibatan Anif bermula dari pengajian Subur Sugiyarto alias Abu Mujahid. Subur yang bekerja sebagai buruh bangunan merupakan amir atau pemimpin tiga sel yang dibentuknya pada Februari 2005. Selain kelompok Anif, Subur juga mengasuh kelompok Joko Suroso dan kelompok Dwi Widiyanto alias Wiwid.
Subur mempersiapkan ketiga selnya dengan rapi sesuai dengan keahlian masing-masing anggota. Mulai dari bidang intelijen, dakwah, propaganda, transportasi, pencari dana, hingga laskar perang. Kelompok Wiwid, misalnya, diproyeksikan sebagai laskar perang.
Di setiap pertemuan, mereka dikenalkan dengan senjata. Subur memakai senjata mainan M-16 dari plastik dan pistol revolver asli untuk peragaan. Bersama Sobri, adiknya, dia memberi latihan kemiliteran merayap, berguling, jalan kera, jalan anak kucing, lompat harimau, dan bersembunyi di balik pohon. Latihan itu dilakukan selama sehari di pebukitan Ungaran, Kendal, Agustus tahun lalu.
Hubungan Subur dengan duet teroris bermula dari pertemuannya dengan Abdul Hadi dari sel Wonosobo pada Mei 2005. ”Apakah Antum (Anda) siap beramal?” tanya Abdul Hadi. Subur mengangguk. Dua bulan berlalu. Abdul Hadi meminta Subur menyiapkan mobil dan menjemput Noor Din dan Tedy di daerah Batang. Dia mengantar sampai Purbalingga. Di sana mobil lain sudah menanti.
Pertemuan kedua Subur dengan Noor Din terjadi pada pertengahan Agustus. Subur menjemput Noor Din dan Tedy di Batang dan menitipkannya di Rumah Makan Padang Selera milik Joko Suroso di Semarang. Dua malam Noor Din tinggal di sana, lalu dipindahkan ke rumah Harry Setya dari kelompok Wiwid.
Noor Din menyampaikan kebutuhannya mencari orang yang siap melakukan amaliyah fa’i (pencarian dana). Subur menyodorkan nama Wawan Supriyatin (kelompok Wiwid). Wawan menjalankan fa’i bersama Tom, Jek, dan Andi. Operasi diatur Tom, anggota sel Pekalongan. Mereka merampok toko yang menjual telepon genggam. Hasil rampokan itu dijual senilai Rp 5,9 juta.
Kepada Subur, Noor Din meminta dicarikan motor pinjaman selama sebulan. Motor itu ternyata dipakai Noor Din dan Tedy ke Batu untuk menyiapkan operasi bom Bali II. Kedua orang itu balik ke Semarang dan langsung menuju Rumah Makan Padang Selera.
Dengan bantuan peralatan dari kelompok Wiwid, Noor Din dengan wajah tertutup topeng membuat rekaman pidato ancaman kepada Amerika Serikat dan sekutunya pada 30 September 2005. Seusai pengambilan gambar, film itu ditransfer ke cakram video. ”Besok, sekitar jam delapan malam akan terjadi suatu peristiwa,” kata Noor Din kepada Subur dan Wiwid yang tidak tahu maksud perkataan itu. Esok harinya Noor Din pergi bersama Tedy.
Noor Din lenyap. Hanya Tedy yang tiba-tiba datang ke rumah Anif di Semarang, awal November. Tedy meminta Anif mengantar dia ke persimpangan Genuk untuk menjemput seorang teman. Belum sempat mereka bertemu, Tedy lari. Polisi menangkap Anif yang masih kebingungan. Anif dijebloskan ke dalam mobil polisi. Di dalamnya sudah ada Cholily.
Polisi nyaris menemukan jejak Noor Din di Wonosobo, April lalu, tapi yang terpegang hanya Mustafirin dan Sholahudin. Adapun Abdul Hadi dan Jabir, keduanya mati tertembak.
Sebagian besar anggota jaringan besar penyokong teror itu kini harus menghadapi pengadilan. Di Pengadilan Negeri Denpasar, selain Cholily, disidangkan pula tersangka Anif Solchanudin, Wiwid, dan Abdul Azis. Pengadilan Negeri Semarang mengadili delapan tersangka kaki tangan Subur Sugiyarto.
Anis Prijo dari Tim Pembela Muslim membantah bahwa Subur, kliennya, sengaja membuat sel-sel tersebut untuk membantu operasi bom Bali II. Kepada Tempo yang mewawancarainya pekan lalu, Anis berkata, ”Subur hanya mengasuh kelompok-kelompok pengajian.”
Subur, menurut Anis, bahkan mengaku hanya mengenal pria bernama Farhan, yang ternyata Noor Din M. Top.
Agung Rulianto, Imron Rosyid (Solo), Rofiuddin (Semarang).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo