Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akal Fulus Mengikat Balon

Butuh Rp 12 miliar untuk jadi calon Bupati Nganjuk. Kandidat diwajibkan menandatangani kontrak politik dengan partai.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Forum itu digelar pada akhir Agus­tus lalu. Sebanyak 284 pengurus anak cabang dan ranting Partai De­mo­kra­si Indonesia Perjuangan berkumpul di Nganjuk, Jawa Timur. Mere­ka ber­sepakat membuat aturan baru un­tuk meng­ikat bakal calon alias ”balon” kepa­la daerah yang maju dari par­tai berlambang banteng tersebut pa­da pemilihan be­ri­kutnya. ”Siapa pun yang maju, harus mau meneken kontrak po­­litik,” Soesilo Muslim, Ketua PDIP Ngan­­juk, menuturkan keputusan rapat ke­pada Tempo.

Kontrak politik sejatinya soal lumrah untuk politisi. Tapi, di Nganjuk, ”kontrak” itu punya nuansa berbeda. Isinya, ”Bakal calon bupati harus mau membayar Rp 1 miliar untuk pembangunan 50 kantor pengurus anak cabang, Rp 10 miliar untuk operasional mereka selama lima tahun, dan Rp 1 miliar untuk menyelesaikan pembangunan gedung dewan pimpinan cabang yang mangkrak.”

Total, fulus yang harus disetor kandi­dat Rp 12 miliar. ”Supaya kewajiban menghidupi partai tidak diabaikan,” kata Soesilo dengan enteng. Uang sebanyak itu, kata dia, bisa dibayar bela­kang­an setelah si calon sukses jadi bupati.

Model ikat-mengikat kan­di­dat dengan fulus jelas me­lang­gar hukum. ­Undang-Un­dang Pemerintahan Dae­rah Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, kan­didat ti­dak boleh menjanjikan uang atau ma­teri untuk mempengaruhi pe­milih. Sanksinya berat, diskua­lifi­kasi.

Segera saja Ketua PDIP Jawa Timur, Sir­­maji, blingsatan mendengar ”inovasi” ala Nganjuk. Dia langsung bersurat kepada Soesilo meminta penjelasan. ”Partai kami tidak pernah meminta duit kepada calon kepala daerah,” kata Sir­­maji.

Dari pihak Soesilo, dia mengaku punya alasan menggerakkan ”inovasi”. Begini ceritanya. Pembangunan gedung baru Dewan Pengurus Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kabupaten Nganjuk sudah satu ta­hun ini tersendat. Alasannya klasik, ke­kurangan dana. ”Butuh Rp 100 juta lagi un­tuk menyelesaikannya,” kata Soe­silo Muslim, 72 tahun, kepada Tempo ­de­ngan nada geram, pekan lalu.

Ketua PDIP Cabang Nganjuk ini me­rasa geregetan karena Nganjuk termasuk daerah basis partai ini dalam dua pemilu terakhir. Bahkan sejak 2001, kader PDIP selalu sukses menjadi Bupati atau Wakil Bupati Nganjuk, Jawa Timur.

Justru dari situ persoal­an muncul. ”Bupati yang dulu kami usung tidak pernah mem­bayar kontribusi bu­lan­an Rp 1 juta untuk partai,” tutur Soesilo dalam nada ge­ram. Kas partai jadi seret.

Kabar miring soal ”jual-beli” kursi ke­pala daerah se­sungguhnya bukan mono­­poli Nganjuk. Hampir se­tiap pe­milihan kepala daerah ­di­terpa isu serupa. Judulnya macam-macam. Uang mahar, uang perahu, sampai uang bendera.

Nasir Djamil, anggota parlemen dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, misalnya. Dia tak me­nyangkal pemilihan Gubernur Aceh selama ini tak luput dari jebakan politik uang. Nasir tahu betul karena dia bekas anggota DPRD Aceh.

”Uang bendera adalah uang yang di­­bayar kandidat supaya partai mengajukan nama mereka,” dia mencontohkan. Nah, ”uang tarik bendera” lain lagi. Jenis setoran ini, kata Nasir, dibayarkan ­ca­lon gubernur supaya partai benar-benar ”mengerek” nama si kandidat da­lam pemilihan.

Meski anti terhadap ”uang bendera”, Nasir—calon Wakil Gubernur Aceh da­lam pemilihan Desember 2006—meng­aku tak keberatan jika kandidat dan par­tai politik saling mengurun dana kam­pa­nye.

Juni lalu Nasir sempat meminta calon gubernur yang ”meminang”-nya kelak siap-siap menyediakan dana sekitar Rp 15 miliar. ”Untuk kampanye, bukan kebutuhan partai di luar itu,” ujarnya.

Uang mahar? Nasir membantah. Pembagian beban dana, kata Nasir, baru dibicarakan setelah dia sah berpasang­an dengan Azwar Abubakar, Ketua Partai Amanat Nasional Aceh. ”Sebelum ’akad’, tak boleh bicara uang. ”Kami justru gentleman, karena terbuka soal dana,” dia menambahkan.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah—yang melarang model Nganjuk ta­di—memang tidak tegas mengatur sum­ber dana kampanye. Pasal 83 peraturan itu memperbolehkan calon kepala daerah menyediakan sendiri dana kampanye.

Walhasil, calon berkantong tebal pasti pu­nya kans lebih. Sebab, baru jadi calon saja, tuntutan fulus sudah mengepung mereka.

Wahyu Dhyatmika, Jalil Hakim, Dwidjo U. Maksum (Nganjuk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus