Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Forum itu digelar pada akhir Agustus lalu. Sebanyak 284 pengurus anak cabang dan ranting Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkumpul di Nganjuk, Jawa Timur. Mereka bersepakat membuat aturan baru untuk mengikat bakal calon alias ”balon” kepala daerah yang maju dari partai berlambang banteng tersebut pada pemilihan berikutnya. ”Siapa pun yang maju, harus mau meneken kontrak politik,” Soesilo Muslim, Ketua PDIP Nganjuk, menuturkan keputusan rapat kepada Tempo.
Kontrak politik sejatinya soal lumrah untuk politisi. Tapi, di Nganjuk, ”kontrak” itu punya nuansa berbeda. Isinya, ”Bakal calon bupati harus mau membayar Rp 1 miliar untuk pembangunan 50 kantor pengurus anak cabang, Rp 10 miliar untuk operasional mereka selama lima tahun, dan Rp 1 miliar untuk menyelesaikan pembangunan gedung dewan pimpinan cabang yang mangkrak.”
Total, fulus yang harus disetor kandidat Rp 12 miliar. ”Supaya kewajiban menghidupi partai tidak diabaikan,” kata Soesilo dengan enteng. Uang sebanyak itu, kata dia, bisa dibayar belakangan setelah si calon sukses jadi bupati.
Model ikat-mengikat kandidat dengan fulus jelas melanggar hukum. Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, kandidat tidak boleh menjanjikan uang atau materi untuk mempengaruhi pemilih. Sanksinya berat, diskualifikasi.
Segera saja Ketua PDIP Jawa Timur, Sirmaji, blingsatan mendengar ”inovasi” ala Nganjuk. Dia langsung bersurat kepada Soesilo meminta penjelasan. ”Partai kami tidak pernah meminta duit kepada calon kepala daerah,” kata Sirmaji.
Dari pihak Soesilo, dia mengaku punya alasan menggerakkan ”inovasi”. Begini ceritanya. Pembangunan gedung baru Dewan Pengurus Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kabupaten Nganjuk sudah satu tahun ini tersendat. Alasannya klasik, kekurangan dana. ”Butuh Rp 100 juta lagi untuk menyelesaikannya,” kata Soesilo Muslim, 72 tahun, kepada Tempo dengan nada geram, pekan lalu.
Ketua PDIP Cabang Nganjuk ini merasa geregetan karena Nganjuk termasuk daerah basis partai ini dalam dua pemilu terakhir. Bahkan sejak 2001, kader PDIP selalu sukses menjadi Bupati atau Wakil Bupati Nganjuk, Jawa Timur.
Justru dari situ persoalan muncul. ”Bupati yang dulu kami usung tidak pernah membayar kontribusi bulanan Rp 1 juta untuk partai,” tutur Soesilo dalam nada geram. Kas partai jadi seret.
Kabar miring soal ”jual-beli” kursi kepala daerah sesungguhnya bukan monopoli Nganjuk. Hampir setiap pemilihan kepala daerah diterpa isu serupa. Judulnya macam-macam. Uang mahar, uang perahu, sampai uang bendera.
Nasir Djamil, anggota parlemen dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, misalnya. Dia tak menyangkal pemilihan Gubernur Aceh selama ini tak luput dari jebakan politik uang. Nasir tahu betul karena dia bekas anggota DPRD Aceh.
”Uang bendera adalah uang yang dibayar kandidat supaya partai mengajukan nama mereka,” dia mencontohkan. Nah, ”uang tarik bendera” lain lagi. Jenis setoran ini, kata Nasir, dibayarkan calon gubernur supaya partai benar-benar ”mengerek” nama si kandidat dalam pemilihan.
Meski anti terhadap ”uang bendera”, Nasir—calon Wakil Gubernur Aceh dalam pemilihan Desember 2006—mengaku tak keberatan jika kandidat dan partai politik saling mengurun dana kampanye.
Juni lalu Nasir sempat meminta calon gubernur yang ”meminang”-nya kelak siap-siap menyediakan dana sekitar Rp 15 miliar. ”Untuk kampanye, bukan kebutuhan partai di luar itu,” ujarnya.
Uang mahar? Nasir membantah. Pembagian beban dana, kata Nasir, baru dibicarakan setelah dia sah berpasangan dengan Azwar Abubakar, Ketua Partai Amanat Nasional Aceh. ”Sebelum ’akad’, tak boleh bicara uang. ”Kami justru gentleman, karena terbuka soal dana,” dia menambahkan.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah—yang melarang model Nganjuk tadi—memang tidak tegas mengatur sumber dana kampanye. Pasal 83 peraturan itu memperbolehkan calon kepala daerah menyediakan sendiri dana kampanye.
Walhasil, calon berkantong tebal pasti punya kans lebih. Sebab, baru jadi calon saja, tuntutan fulus sudah mengepung mereka.
Wahyu Dhyatmika, Jalil Hakim, Dwidjo U. Maksum (Nganjuk)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo