Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tanker di Pusaran Senayan

Panitia Khusus Dewan menganggap ada dugaan korupsi dalam penjualan tanker Pertamina. Para petinggi Pertamina terlibat.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari setahun sudah sekelompok anggota Dewan Perwakilan ­Rak­yat berkumpul untuk membica­rakan masalah ini—waktu yang pan­jang. Akhirnya, setelah mulai dilupa­kan orang, 22 anggota Dewan yang ter­kum­pul dalam panitia khusus (pansus) kasus penjualan dua kapal tanker PT Pertamina bisa mengakhiri rapat. La­poran hasil penyelidikan mereka hampir rampung dan segera dibawa ke rapat pa­ri­purna Dewan. Juga ke Presiden Yu­dho­yono dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

”Keputusan bulat, tak ada tarik-ulur antarfraksi,” kata Amir Taher, salah satu anggota pansus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Mereka mendesak agar temuan ini diusut tuntas.

Dalam draf laporan yang diperoleh Tempo, pansus Dewan mencium hal yang sama seperti juga Komisi Peng­awas Persaingan Usaha: ada dugaan korupsi sebesar US$ 20 juta hingga US$ 50 juta dalam transaksi ini. Dalam dugaan korupsi ini disebutkan keterlibatan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi selaku komisaris utama Pertamina, mantan direktur utama Ariffi Nawawi, dan mantan direktur keuangan Alfred H. Rohimone. ”Mereka yang paling bertanggung jawab sebagai penentu dan pelaksana kebijakan,” kata wakil ketua pansus, Gayus T. Lumbuun.

Kasus penjualan kapal tanker ini di­mulai empat tahun lalu ketika Pertamina berencana meremajakan 38 tankernya, di antaranya dua tanker jumbo (Very Large Crude Carrier) untuk mengangkut minyak dari Timur Tengah ke kilang Cilacap, Jawa Tengah. Ini sekaligus memenuhi syarat Organisasi Maritim Internasional bahwa tanker harus berlambung ganda setelah 2010. Jadilah, pada November, tanker dipesan pada Hyundai Heavy Industries Korea Selatan. Harga­nya juga jumbo, US$ 65 juta per unit.

Dua tahun kemudian, belum lagi tanker kelar di galangan, Pertamina malah melegonya. Alasannya, cash flow mereka sudah sangat kritis, di samping tanker itu terancam disita Karaha Bodas Company yang saat itu sengketa dengan Pertamina. Proses penjualan ini melibatkan Goldman Sachs Pte. dan Equinox sebagai penasihat dan pembuat tender penjualan. Keluarlah Frontline Ltd. dari Swedia sebagai pemenang dengan harga pembelian US$ 184 juta.

Kasus ini sebenarnya sudah bersen­tuhan dengan hukum, tapi proses hukum perdata maupun pidana belum ada yang final. Dalam perdata, berkas masih menumpuk di Mahkamah Agung se­telah Pertamina melakukan upaya pe­ninjauan kembali pekan lalu. Upaya ini dilakukan Pertamina setelah mereka dikalahkan Komisi Pengawas Persaing­an Usaha dalam proses kasasi, akhir November lalu. Sedangkan dalam urus­an pidana, kasus terhenti di Komisi Pemberantasan Korupsi. Institusi ini kesulitan mencari bukti, apalagi melibatkan perusahaan di luar negeri, Goldman Sachs Pte. dan Frontline Ltd.

Dewan kemudian ikut melibatkan di­ri da­lam kasus ini dengan membentuk pansus. Setelah mencari keterang­an di berbagai tempat, mengadakan rapat pleno di Hotel Salak, tiga bulan me­nyiap­kan la­poran, jadilah draf laporan. Di sana pan­sus menyebutkan bahwa komisaris utama dan direksi Pertamina diduga mem­perkaya diri sendiri atau orang lain me­lalui korporasi. Dasarnya, penunjuk­an langsung Goldman dan ke­terlibatan Equinox dalam kemenangan Frontline, yang ternyata anak perusaha­an Goldman. Negara rugi US$ 20 juta hingga US$ 50 juta, bila dilihat selisih nilai be­li­ Frontline dengan harga kapal sejenis wak­­tu itu, US$ 200 juta hingga US$ 240 juta.

Pansus menilai tak ada alasan tanker dijual karena keuangan Pertamina merosot, sebab menurut laporan keuang­an 2003 hingga 2005, perusahaan itu untung. Tanker sepanjang 330 meter, le­bar 60 meter, dan berbobot 260 ribu long ton dead weight itu amat dibutuhkan oleh pembeli minyak seperti Indonesia. Penjualan ini juga melanggar larangan praktek monopoli dan persaingan usaha, serta mengabaikan surat Dirjen Anggar­an, karena direksi melepas aset Pertamina tanpa seizin Menteri Keuangan.

Pengacara Pertamina, Juniver G­ir­sang, dan pengacara Goldman, Todung Mulya Lubis, kecewa mendengar putus­an pansus. ”Pansus keliru. Sadar atau tidak sadar, pernyataan seperti itu mencampuri proses pengadilan,” kata Todung kepada Tempo.

Bagi Juniver, penjualan itu sudah se­suai dengan prosedur, apalagi negara­ memang tak butuh tanker besar. De­ngan penjualan itu, negara diuntungkan US$ 57 juta, juga selamat dari Karaha Bodas. Juniver tak melihat alasan untuk menuding kliennya korupsi. Kata dia, ”Saya minta Bapak-Bapak di DPR konsisten menegakkan hukum.”

Laksamana Sukardi dan Alfred Rohi­mone enggan mengomentari tudingan pan­sus. ”Tidak ada dan tidak benar,” be­gitu Laksamana menjawab singkat le­­wat pesan pendek. Alfred mengaku ca­pek, tapi esoknya mengirimi Tempo se­bu­ah buku putih berjudul Keluar dari Ke­melut, sebuah buku yang ditulis Juni­ver Girsang untuk membela Pertamina.

Eduardus Karel Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus