Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari setahun sudah sekelompok anggota Dewan Perwakilan Rakyat berkumpul untuk membicarakan masalah ini—waktu yang panjang. Akhirnya, setelah mulai dilupakan orang, 22 anggota Dewan yang terkumpul dalam panitia khusus (pansus) kasus penjualan dua kapal tanker PT Pertamina bisa mengakhiri rapat. Laporan hasil penyelidikan mereka hampir rampung dan segera dibawa ke rapat paripurna Dewan. Juga ke Presiden Yudhoyono dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Keputusan bulat, tak ada tarik-ulur antarfraksi,” kata Amir Taher, salah satu anggota pansus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Mereka mendesak agar temuan ini diusut tuntas.
Dalam draf laporan yang diperoleh Tempo, pansus Dewan mencium hal yang sama seperti juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha: ada dugaan korupsi sebesar US$ 20 juta hingga US$ 50 juta dalam transaksi ini. Dalam dugaan korupsi ini disebutkan keterlibatan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi selaku komisaris utama Pertamina, mantan direktur utama Ariffi Nawawi, dan mantan direktur keuangan Alfred H. Rohimone. ”Mereka yang paling bertanggung jawab sebagai penentu dan pelaksana kebijakan,” kata wakil ketua pansus, Gayus T. Lumbuun.
Kasus penjualan kapal tanker ini dimulai empat tahun lalu ketika Pertamina berencana meremajakan 38 tankernya, di antaranya dua tanker jumbo (Very Large Crude Carrier) untuk mengangkut minyak dari Timur Tengah ke kilang Cilacap, Jawa Tengah. Ini sekaligus memenuhi syarat Organisasi Maritim Internasional bahwa tanker harus berlambung ganda setelah 2010. Jadilah, pada November, tanker dipesan pada Hyundai Heavy Industries Korea Selatan. Harganya juga jumbo, US$ 65 juta per unit.
Dua tahun kemudian, belum lagi tanker kelar di galangan, Pertamina malah melegonya. Alasannya, cash flow mereka sudah sangat kritis, di samping tanker itu terancam disita Karaha Bodas Company yang saat itu sengketa dengan Pertamina. Proses penjualan ini melibatkan Goldman Sachs Pte. dan Equinox sebagai penasihat dan pembuat tender penjualan. Keluarlah Frontline Ltd. dari Swedia sebagai pemenang dengan harga pembelian US$ 184 juta.
Kasus ini sebenarnya sudah bersentuhan dengan hukum, tapi proses hukum perdata maupun pidana belum ada yang final. Dalam perdata, berkas masih menumpuk di Mahkamah Agung setelah Pertamina melakukan upaya peninjauan kembali pekan lalu. Upaya ini dilakukan Pertamina setelah mereka dikalahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam proses kasasi, akhir November lalu. Sedangkan dalam urusan pidana, kasus terhenti di Komisi Pemberantasan Korupsi. Institusi ini kesulitan mencari bukti, apalagi melibatkan perusahaan di luar negeri, Goldman Sachs Pte. dan Frontline Ltd.
Dewan kemudian ikut melibatkan diri dalam kasus ini dengan membentuk pansus. Setelah mencari keterangan di berbagai tempat, mengadakan rapat pleno di Hotel Salak, tiga bulan menyiapkan laporan, jadilah draf laporan. Di sana pansus menyebutkan bahwa komisaris utama dan direksi Pertamina diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain melalui korporasi. Dasarnya, penunjukan langsung Goldman dan keterlibatan Equinox dalam kemenangan Frontline, yang ternyata anak perusahaan Goldman. Negara rugi US$ 20 juta hingga US$ 50 juta, bila dilihat selisih nilai beli Frontline dengan harga kapal sejenis waktu itu, US$ 200 juta hingga US$ 240 juta.
Pansus menilai tak ada alasan tanker dijual karena keuangan Pertamina merosot, sebab menurut laporan keuangan 2003 hingga 2005, perusahaan itu untung. Tanker sepanjang 330 meter, lebar 60 meter, dan berbobot 260 ribu long ton dead weight itu amat dibutuhkan oleh pembeli minyak seperti Indonesia. Penjualan ini juga melanggar larangan praktek monopoli dan persaingan usaha, serta mengabaikan surat Dirjen Anggaran, karena direksi melepas aset Pertamina tanpa seizin Menteri Keuangan.
Pengacara Pertamina, Juniver Girsang, dan pengacara Goldman, Todung Mulya Lubis, kecewa mendengar putusan pansus. ”Pansus keliru. Sadar atau tidak sadar, pernyataan seperti itu mencampuri proses pengadilan,” kata Todung kepada Tempo.
Bagi Juniver, penjualan itu sudah sesuai dengan prosedur, apalagi negara memang tak butuh tanker besar. Dengan penjualan itu, negara diuntungkan US$ 57 juta, juga selamat dari Karaha Bodas. Juniver tak melihat alasan untuk menuding kliennya korupsi. Kata dia, ”Saya minta Bapak-Bapak di DPR konsisten menegakkan hukum.”
Laksamana Sukardi dan Alfred Rohimone enggan mengomentari tudingan pansus. ”Tidak ada dan tidak benar,” begitu Laksamana menjawab singkat lewat pesan pendek. Alfred mengaku capek, tapi esoknya mengirimi Tempo sebuah buku putih berjudul Keluar dari Kemelut, sebuah buku yang ditulis Juniver Girsang untuk membela Pertamina.
Eduardus Karel Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo