SALAH satu keputusan penting tahun lalu adalah undang-undang perpajakan. Pajak, yang dalam sejarah merupakan unsur dinamika yang sangat besar, juga unsur yang paling sukar dilaksanakan. Ada ilustrasi dari Gabriel Ardant, ahli pajak Eropa paling terkenal (yang antara lain menyusun sistem perpajakan Marokko merdeka). Kalau seorang gubernur di zaman kerajaan absolut di Prancis, setelah abad ke-15 dan sebelum Revolusi, mencium akan ada perlawanan dari daerahnya dalam hal penarikan pajak, ia akan mencari informasi dari mana oposisi ini akan datang. Kalau keempat golongan (bangsawan, kaum borjuis, para tukang, dan para petani) bersama sama akan menentang, maka masalahnya besar. Sang gubernur lalu akan mencari sekutu. Kaum bangsawan pertama-tama akan diberi konsesi dan dinetralisasikan, dan bila perlu juga kaum borjuis besar. Terhadap golongan kelas bawahan kota dan desa, tidak ada kompromi. Pajak dalam sistem tradisional Prancis (Eropa) justru ditarik dari yang ekonomis dan politis lemah. Membicarakan suatu sistem pajak bagi keseluruhan Indonesia zaman lampau adalah sukar: Indonesia terdiri dari kepulauan besar dan tersebar, dan tiap daerah memiliki sistem sendiri. Di Jawa, di sekitar kekuasaan keraton, sejak dulu dikenal upeti. Tapi keraton tidak berhak atas hasil bumi bukan padi, misalnya palawija. Teori tradisional Jawa adalah, semua adalah milik raja, atau milik pejabat yang menerima delegasi kekuasaan mutlak raja. Pada tingkat pedesaaan, kesatuan politis terendah, kepala desa juga berhak atas bagian setiap warga. Jadi, kalau ada pemotongan sapi, kerbau, kambing, bahkan ayam, ada bagian yang harus diserahkan kepada atasan. Dalam praktek, tentu banyak pelanggaran. Pemasukan upeti dan kerja bakti sangat tergantung pada ketat tidaknya pengawasan dan kekuasaan atasan. Petani yang diwajibkan menyerahkan upeti dibagi dalam kesatuan-kesatuan pajak yang disebut cacah. Namun, ada banyak daerah, khususnya yang jauh dari keraton, atau di pegunungan, mempunyai ratusan petani yang mengolah tanah subur dan tetap terdaftar sebagai hanya punya empat atau lima cacah. Kesukaran pengumpulan pajak ini menyebabkan baik raja maupun pejabat tinggi menjual hak mereka dalam memungut pajak. Raffles (1812-1816) adalah penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia. Bukan lagi penyerahan hasil bumi untuk ekspor yang dituju. Sebab Inggris, dengan koloni, menurut dia, harus dibiayai dari pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya. Teori Raffles adalah, karena Inggris menjadi pengganti raja-raja Jawa yang memiliki semua tanah, maka petani yang mengerjakan tanah atau yang memiliknya harus membayar pajak tanah. Konsep ini memang mungkin tidak banyak berbeda dengan hak raja atau VOC sebelumnya akan hasil bumi dan tenaga kerja. Tapi prakteknya lain sama sekali. Pajak tanah Raffles adalah atas petani individual dan bukan atas desa atau wilayah. Dan akan terdiri dari uang. Sayangnya, sistem ini tldak pernah berkembang secara sempurna di bagian terbesar Pulau Jawa, dengan kekecualian beberapa daerah, seperti Madura dan Banten. Raffles sendiri terlalu singkat pemerintahannya untuk melihat pelaksanaan sistem pajaknya. Belanda, yang menerima kembali koloni-koloninya setelah perang Napoleon (1816), sampai tahun 1830 mencoba sistem ini-dan-itu untuk perpajakan, dan pada umumnya mempertahankan pajak tanah Raffles tanpa pelaksanaan betul-betul. Kesukaran timbul, antara lain Perang Diponegoro (1825-1830). Karena itu, pada 1830, J. van den Bosch, gubernur jenderal (1830-1832) dan kemudian menteri jajahan, merasa bahwa pajak saja tidak cukup. Van den Bosch adalah perencana Sistem Tanam Paksa (1830-1870) yang menjadikan Pulau Jawa perkebunan kolonial. Dalam sistem itu, rakyat petani diharuskan menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan ekspor, dan tenaganya untuk produksi itu. Para petani, untuk tenaganya di perkebunan, tidak diupah - tapi tidak perlu membayar pajak tanah. Kelebihan keuntungan akibat sistem itu, yang terkenal sebagai batig-slot, diserahkan kepada Nederland guna pembangunannya setelah menjadl miskin karena perang Napoleon dan perang dengan Belgia. Lebih dari 900 juta gulden diterima Nederland dari koloninya selama Sistem Tanam Paksa. Lalu, dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa (1870), sistem perpajakan Hindia Belanda juga dimodernisasikan: kecuali pajak tanah ada berbagai macam pajak perorangan, pajak usaha, dan lain-lain. Kewajilban penyerahan tenaga bakti atau heerendiensten, misalnya, dapat dibeli - dan disebut pajak perorangan. Dengan sendirinya, tidak semua pajak datang dari penduduk pribumi, tetapi juga dari golongan Eropa dan lain-lain. Malahan salah seorang kawula Hindia Belanda yang membayar pajak terbesar secara pribadi adalah, katanya, "Raja Gula" Oei Tiong Ham. Tapi sampai kira-kira dasawarsa pertama abad ke-20, penduduk pribumi sumber sebagian besar pajak tanah - membayar sekitar 60% penghasilan Hindia Belanda. Persentase itu memang makin menurun pada abad ke-20, dengan makin besarnya sektor perdagangan dan industri Hindia Belanda. Namun, sampai 1930-an, pajak pribumi tetap mendekati 40% dari keseluruhan. Lebih penting lagi, golongan Eropa hanya membayar 7% paJak atas pendapatannya, sedang pribumi membayar sampai 19% pendapatan. Malahan beberapa ahli perpajakan mengatakan petani membayar sampai 25%. Sehingga, didirikanlah berbagai komisi untuk meneliti "apakah beban pajak atas pribumi terlalu berat". Persoalannya: pajak desa diserahkan kepada kepala desa dan dipungut per desa, sehingga persoalan administrasi tidak besar sedangkan pajak di kota, khususnya di kalangan yang berpenghasilan rendah dan menengah, sangat sukar dipungut - memerlukan hampir 15% pembiayaan, dan pada taraf paling rendah jumlah pembiayaan dan hasil pungutan hampir sama. Yang paling mudah ditarik di Hindia Belanda, seperti juga di Indonesia kini, adalah pajak tidak langsung atas barang-barang konsumsi. Pembiayaannya hanya 4% dari hasil. Pajak tanah memang merupakan sebagian besar penghasilan negara kolonial, tapi sebaliknya menumbuhkan banyak pemberontakan petani. Dari 1830 sampai 1908 (Berdirinya Boedi Oetomo) lebih dari 100 pemberontakan petani di Jawa saja - hampir satu kali setiap tahun. Belum di Sumatera - Aceh, misalnya: Kesadaran Politik Moh. Hatta muncul pertama kali dari peristiwa pemberontakan pajak di Sumatera Barat, yang melibatkan sepupunya sendiri. Tapi sering pembangkangan terhadap pajak dilakukan justru oleh kalangan kaya, orang-orang yang dapat membayar pajak jauh lebih banyak dari yang mereka bayar. Orang kaya biasanya lebih sadar: tidak akan menerima bahwa uang pajaknya dihamburkan negara tanpa dia menerima jasa setimpal. Pajak, dalam negara modern, juga berubah fungsinya: dapat menjadi alat pemerataan, alat kesejahteraan keseluruhan penduduk, dengan sistem pajak progresif. Di Indonesia, kini konsep pajak juga berubah: sebagian besar rakyat petani, misalnya, tidak lagi membayar pajak tanah, tetapi Ireda dan Ipeda, yang sangat berbeda dengan konsep upeti. Entah bagaimana dengan undang-undang perpajakan yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini