KALI ini Bank Tabungan Negara (BTN) tersandung jurusnya sendiri. Gara-gara menggertak seorang debitur, Yohanes Panggalo, yang kebetulan hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo, Jawa Tengah, agar melunasi tunggakan angsuran KPR (kredit pemilikan rumah), cabang bank pemerintah itu di Semarang dihukum membayar ganti rugi Rp 50 juta kepada si debitur. Majelis hakim yang diketuai Richard Saragih di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat dua pekan lalu, menganggap BTN telah mencemarkan nama baik Panggalo. Sebab, "Panggalo terbukti tidak memiliki tunggakan angsuran KPR," kata Hakim Saragih. Majelis juga menyalahkan tindakan BTN, yang mengirimkan surat tagihan penunggakan itu ke berbagai pihak, termasuk Wali Kota Salatiga dan Gubernur Jawa Tengah. Vonis itu terhitung pertama kalinya terjadi, sejak BTN melancarkan gebrakan terhadap para penunggak cicilan KPR, awal tahun ini. Waktu itu pula, persisnya 11 Januari 1989, Panggalo, 49 tahun, menerima surat teguran dari BTN Semarang, yang tembusannya disampaikan ke beberapa pejabat tadi. Isinya: ia masih mempunyai tunggakan KPR selama 4 bulan, sebesar Rp 126.560. Panggalo, yang mengambil rumah BTN tipe 70 di Salatiga pada 1980, merasa tak punya tunggakan kredit. Itu sebabnya, 16 Februari 1989, ia menjawab surat teguran tadi. Tapi surat teguran kedua dan ketiga dari BTN muncul lagi. Anehnya, dalam surat ketiga, tertanggal 28 April 1989, BTN menyebutkan bahwa Panggalo menunggak dua bulan, pada Juni dan September 1986. Panggalo rupanya tak sabar. Melalui Pengacara Hari Adiwijaya, ia menuntut ganti rugi Rp 100 juta dari BTN. "Sebagai penegak hukum, saya malu, dong, dituduh punya tunggakan kredit," ucapnya. Lagi pula, kenapa BTN mengirim tembusan surat itu ke wali kota dan gubernur. Selain itu, kata Panggalo, sebetulnya BTN cabang Semarang tak berhak menegurnya. Sebab, ia melakukan akad KPR itu dengan BTN Yogyakarta. Pembayaran angsuran dilakukannya melalui BRI cabang Sukoharjo. Belakangan, pada 1 November 1986, BTN membuka cabang di Semarang. Tapi, katanya, ia tak pernah diberi tahu bahwa angsuran kreditnya harus dibayarkan ke BTN Semarang. Di persidangan, kuasa hukum BTN, Subandi dan Sutarno, menganggap gugatan itu tak berdasar dan salah alamat. Seharusnya, kata mereka, pihak BRI Sukoharjo juga ditarik sebagai tergugat. Ternyata, majelis hakim menganggap BTN terbukti telah mencemarkan nama baik penggugat. "Kalaupun ada tunggakan, mestinya BTN bisa menagih dengan cara yang lebih baik, tidak perlu mengirim tembusan surat teguran itu ke berbagai instansi lain," kata majelis, yang juga memerintahkan BTN agar mencabut surat teguran itu. Atas putusan itu, BTN menyatakan naik banding. "Biar dihukum ganti rugi seribu rupiah pun, kami tak akan membayarnya. Kami tidak bersalah, kok," kata salah seorang kuasa hukumnya, Sutarno. Surat itu, katanya, sebetulnya bukan teguran tapi konfirmasi. Maksudnya tak lain untuk memberi tahu debitur agar mencocokkan jumlah sisa kreditnya. Sebab itu, mereka menganggap majelis hakim kurang jeli dalam mengulas unsur pencemaran nama baik, yang dianggap perbuatan melawan hukum itu. "Itu kan surat konfirmasi. Sama sekali tidak merugikan debitur, apalagi membuatnya malu," tutur Sutarno lagi. Direktur Utama BTN, Mahfud Jakile malah menganggap perkara itu biasa-biasa saja. "Semua nasabah BTN dikirimi data komputer seperti itu untuk pencocokan. Kalau memang ada kesalahan, ya, justru untuk memperbaiki data yang ada di BTN," kata Jack -- panggilan akrab Jakile -- kepada Bachtiar Abdullah dari TEMPO. Laporan Heddy Lugito (Semarang), dan G. Sugrahetty Dyan K. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini