Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebanyakan literatur tidak banyak berbicara tentang wali sebagai penyebar Islam dan pemersatu Nusantara.
Historiografi lokal, seperti hikayat, tambo, dan babad, sering ditolak sejarawan dan Eropa.
Islamisasi bermula dari kedatangan “guru pengembara” asal Arab dengan nama Arab yang sering disebut sebagai “syekh”.
Azyumardi Azra
Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERAN wali dalam islamisasi kepulauan Nusantara, wilayah Asia Tenggara masa pra-kolonialisme, tidak terlalu sering diungkap. Kebanyakan literatur tentang subyek ini sampai sekarang tidak banyak berbicara tentang wali sebagai penyebar Islam dan pemersatu Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak lebih dari 30 tahun lalu, saya telah melakukan kajian ulang atas berbagai teori islamisasi yang diajukan sejumlah sejarawan dan ahli nasional atau asing. Bermacam teori dan perdebatan tentang islamisasi lazimnya mencakup “5W1H” (what, who, when, where, why, dan how) seperti prinsip dalam jurnalistik: apa itu islamisasi, siapa pelakunya, kapan terjadinya, di mana berlangsung, mengapa, dan bagaimana prosesnya.
Dari sekitar sembilan atau sepuluh teori tentang islamisasi kepulauan Nusantara untuk menjawab 5W1H itu, pandangan yang masih hegemonik dalam masyarakat Indonesia, baik di kalangan sarjana maupun orang awam, adalah “teori pedagang Gujarat”. Menurut teori yang dikembangkan sarjana Belanda seperti C. Snouck Hurgronje ini, islamisasi dilakukan para pedagang dari Gujarat di pesisir pantai tenggara India sekarang.
Tapi penelitian beberapa sarjana lain, seperti G.E. Morrison, menemukan Gujarat yang dianggap sebagai sumber para penyiar Islam datang ke Samudra Pasai ketika masih berupa kerajaan Hindu hingga tahun 1298 yang memusuhi muslim. Pada saat yang hampir sama, Kesultanan Samudra Pasai sudah berdiri dengan raja pertama Mirah Silu, yang lebih dikenal sebagai Malikus Salih (berkuasa 1297-1326). Karena itu, teori “pedagang Gujarat” sebagai agen islamisasi harus ditolak. Teori ini tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Masih ada teori-teori lain tentang sumber asal Islam, seperti teori Hijaz, teori Mesir, teori Irak, teori Persia, teori Bengali, teori Kelantan, teori Campa, dan teori Cina. Semua atau setiap teori ini memiliki kelemahan, walau dalam batas tertentu bisa mengandung kebenaran.
Mempertimbangkan sembilan teori di atas, saya mengajukan teori “mata air” islamisasi kepulauan Nusantara. Teori mata air pertama berargumen bahwa Islam di Nusantara menjadi titik temu dan titik silang (cross road atau carrefour) lintas samudra dan lintas benua. Dia menjadi lokus besar pertukaran agama, sosial-budaya, ekonomi dan perdagangan, serta ilmu pengetahuan. Mengikuti argumen ini, Islam bisa datang dari berbagai “mata air”. Tapi, di antara banyak mata air itu, ada yang besar, ada yang kecil, dan ada pula yang hanya tetesan.
Mata air terbesar adalah Arab, persisnya Hijaz, Mesir, dan Irak. Dari sinilah sumber utama Islam kepulauan Nusantara. Teori ini didukung bukan hanya fakta kesamaan ortodoksi Islam di kedua wilayah besar ini, tapi juga disokong historiografi lokal kepulauan Nusantara sendiri, yakni Persia dan Arab.
Historiografi lokal, seperti hikayat, sejarah, tambo, babad, dan semacamnya, sering diabaikan sejarawan serta ahli Belanda dan negeri Eropa lain. Mereka menolak menggunakan historiografi lokal karena mengandung mitos dan legenda yang sulit dibuktikan historisitasnya. Mereka hanya mau menggunakan sumber Belanda atau negara Eropa lain sehingga terjerumus ke dalam Netherlando-centrism atau Euro-centrism.
Tapi Jan Vansina (1965) menyatakan historiografi lokal tak bisa diabaikan begitu saja karena mengandung “pesan substantif” dalam mentalitas (mentalite) yang berlangsung dalam masa panjang (longe duree). Awalnya, historiografi ini didasari fakta historis yang disampaikan secara lisan turun-temurun yang dalam perjalanan sejarah antargenerasi bertambah dengan mitos dan legenda. Karena itu, orang tidak boleh mengambil historiografi lokal itu secara face-value, tapi sebaliknya, menukik ke dalam mentalite-nya.
Dalam konteks itu, secara hampir seragam, historiografi lokal bercerita tentang proses islamisasi di tempat tertentu di kepulauan Nusantara, seperti Samudra Pasai. Islamisasi bermula dari kedatangan “guru pengembara” asal Arab dengan nama Arab yang sering disebut sebagai “syekh”.
Secara tipikal, guru pengembara itu adalah syekh sufi atau “wali”. Secara tipikal pula, guru pengembara sufi yang wali ini mengajak penguasa lokal masuk Islam dan sering melalui pertarungan kekuatan gaib. Para guru pengembara ini, seperti karakter sufisme atau tasawuf, bersikap inklusif dan akomodatif.
Bagi wali-wali pengembara ini, yang paling penting adalah masuk Islam dulu, cukup dengan membaca dua kalimah syahadat. Historiografi lokal juga menuturkan tentang penguasa dan penduduk lokal yang sudah masuk Islam tapi masih minum arak, berjudi, atau makan babi.
Karena itulah Islam kepulauan Nusantara di masa awal islamisasi secara masif sejak paruh kedua atau seperempat terakhir abad ke-13 menampilkan sinkretisme yang kental. Islam bercampur-aduk dengan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal pra-Islam. Tapi, dalam perjalanan sejarah, sinkretisme ini mendapat tantangan dari ulama-ulama, yang melalui berbagai bentuk pembaruan membawa Islam lebih dekat dengan ortodoksi.
Para guru sufi pengembara ini dapat ditemukan dalam proses islamisasi di banyak tempat di kepulauan Nusantara. Di Pulau Jawa, pada abad ke-13 hingga ke-14 sudah ada guru sufi pengembara semacam Syekh Datuk Kahfi, Syekh Maulana Akbar, Syekh Jumadil Kubro, dan Syekh Quro.
Islamisasi di Jawa sejak abad ke-15 dilanjutkan “wali pengembara” yang secara kolektif disebut Wali Songo walau jumlahnya lebih dari sembilan. Semua penyiar Islam ini dipercayai datang dari berbagai negeri lain sebelum datang menyiarkan Islam di berbagai tempat di Jawa. Wali Songo juga mengembara ke tempat-tempat lain di kepulauan Nusantara untuk menyebarkan Islam. Sunan Giri, misalnya, dipercayai juga menyiarkan Islam di Lombok.
Contoh lain adalah tiga guru pengembara asal Minangkabau, Datuk Ri Bandang (nama asli Abdul Makmur, gelar Khatib Tunggal atau Datuk Rajo Lelo) bersama dua saudaranya, Datuk Patimang (Sulaiman, gelar Khatib Sulung) dan Datuk Ri Tiro (Nurdin Aryani, gelar Khatib Bungsu), serta kawan mereka, Tuan Tunggang Parangan.
Dalam “sejarah resmi” islamisasi Sulawesi Selatan, ketiga datuk itu dinyatakan sebagai penyiar Islam di kawasan ini. Sebelum sampai di Sulawesi Selatan, ketiganya menyebarkan Islam di Mataram, Lombok, dan Bima serta Kutai, Kalimantan Timur. Adapun di Palu dan banyak wilayah lain di Sulawesi Tengah, penyiar Islam pada abad ke-17 adalah Datuk Karomah atau Datuk Karama (Abdullah Raqie), guru pengembara yang juga berasal dari Minangkabau.
Pengembaraan wali-wali dari satu tempat ke tempat lain di kepulauan Nusantara memberikan kontribusi penting pada unifikasi dan integrasi pulau-pulau yang ada di benua maritim terbesar di dunia ini. Berkat fluiditas atau kecairan dunia maritim kepulauan Nusantara yang kaya sungai, selat, dan lautan, wali-wali dapat pergi berlayar dari satu tempat ke tempat lain di antara pulau-pulau atau di antara tempat-tempat di satu pulau. Mereka mengembangkan Islam kosmopolitan.
Selain menyebarkan Islam kosmopolitan yang toleran pada budaya global dan lokal, wali-wali ini menjadi jembatan yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain di kepulauan Nusantara. Mereka juga menjadi penghubung antara satu suku dan suku lain yang memiliki adat, tradisi, dan bahasa yang berbeda satu sama lain. Islam yang mereka bawa menjadi supra-identity di atas keberagaman lokal.
Seiring dengan islamisasi, para wali pengembara dengan Islam membangun solidaritas sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) kepulauan Nusantara. Selanjutnya, ukhuwah Islamiyah juga berkembang mencakup solidaritas sebangsa setanah air Indonesia (ukhuwah wathaniyah) seiring dengan kebangkitan nasional sejak awal abad ke-20. Para wali pengembara menjadikan Islam sebagai faktor unifikasi dan pemersatu kepulauan Nusantara. Negara-bangsa Indonesia, entitas politik di bagian terbesar wilayah kepulauan Nusantara dulu, adalah warisan para wali pengembara ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo