Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tanah milik tujuh warga Suku Balik di kawasan IKN sudah berpindah kepemilikan secara sepihak.
Ratusan konsesi berada di kawasan IKN Nusantara.
Ada potensi tumpang-tindih lahan milik masyarakat adat, konsesi korporasi, serta wilayah ibu kota negara.
JAKARTA — Yati Dahlia, warga Suku Balik—suku asli masyarakat Kalimantan Timur—kelimpungan ketika mengetahui tanah adat mereka seluas lebih-kurang 4 hektare telah terjual tanpa sepengetahuannya. Tanah adat yang sudah digarap turun-temurun itu berada di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, atau tepat di dalam kawasan ibu kota negara (IKN) Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah milik Dahlia dijual beserta sertifikat hak milik atas nama orang lain yang diterbitkan pada tahun lalu. Padahal orang tua Dahlia sudah menggarap tanah itu sejak 1995, meski tanpa alas hak. "Di tempat itu tidak ada pemilik lain selain kami," kata Dahlia, Kamis, 20 Januari 2022.
Dahlia memprotes penjualan tanah warisan orang tuanya itu ke kepala Desa Bumi Harapan. Tapi perangkat desa justru tak mengetahui penjualan kebun milik keluarga Dahlia tersebut. Alasan perangkat desa inilah yang membuat Dahlia melaporkan kasus ini ke Kepolisian Resor Penajam Utara dan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, tahun lalu. Hingga saat ini, Dahlia tak mendapat kabar perkembangan penanganan polisi atas laporan tersebut.
Dahlia merupakan satu dari tujuh warga Suku Balik di Desa Bumi Harapan yang kehilangan tanah ulayat setelah rencana pembangunan ibu kota negara di Penajam Paser Utara menggelinding. Secara hukum, tanah adat Suku Balik belum diakui oleh negara. Mereka hanya mendiami tanah adat di Penajam Paser Utara berpuluh tahun lalu.
Menurut Dahlia, sejak bergulirnya pemindahan ibu kota negara di Penajam Paser Utara pada 2019, banyak makelar tanah yang bergerak cepat dengan membeli tanah-tanah di lokasi IKN ataupun di sekitarnya. Praktik ini dipastikan akan semakin marak setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara pada Selasa, 18 Januari 2022. Pengesahan ini memastikan ibu kota berpindah dari Jakarta ke Nusantara.
Kantor Pertanahan Kabupaten Penajam Paser Utara menggelar sosialisasi pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) tahun 2022 kepada warga di gedung serbaguna Desa Argo Mulyo, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 19 Januari 2022. Atrbpn.go.id
Wilayah IKN Nusantara di Penajam Paser Utara seluas 256 ribu hektare atau empat kali lebih luas dari DKI Jakarta. Dari luasan itu, kawasan inti ibu kota seluas 56 ribu hektare. Kawasan ini meliputi empat kecamatan di Penajam Paser Utara, yaitu Sepaku, Samboja, Muara Jawa, dan Loa Kulu. Penduduk di empat kecamatan ini mencapai 185 ribu jiwa.
Sesuai dengan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat 162 konsesi yang berada di kawasan ibu kota negara, baik pertambangan, kehutanan, maupun perkebunan sawit. Sebagian besar konsesi itu merupakan tambang batu bara.
Dinamisator Jatam, Pradarma Rupang, mengatakan ada sejumlah korporasi raksasa yang menjadi pemegang konsesi di kawasan IKN. Sebagian konsesi itu terafiliasi dengan pejabat pemerintah, pengurus partai politik, dan pengusaha di lingkaran kekuasaan.
"Bukan tidak mungkin perusahaan pemegang izin konsesi bakal menerima kompensasi dari pemerintah. Sangat memungkinkan terjadi tukar guling izin di tempat lain," kata Rupang, kemarin.
Yustinus Seno, peneliti data spasial Auriga Nusantara—organisasi nirlaba di bidang lingkungan—mendapat informasi bahwa peruntukan lahan IKN seluas 256 ribu hektare akan dibagi menjadi dua, yaitu kawasan inti IKN seluas 56 ribu hektare dan kawasan pengembangan ibu kota seluas 199 ribu hektare. "Di dalamnya terdapat 79 izin konsesi berupa perkebunan sawit, hak penguasaan hutan, hutan tanaman industri, dan izin pertambangan," kata Yustinus.
Auriga mencatat hampir separuh kawasan IKN atau 134,5 ribu hektare merupakan izin konsesi korporasi. Luasan itu terbagi atas izin kebun sawit seluas 17,4 ribu hektare, HPH seluas 11,3 ribu hektare, HTI seluas 37,1 ribu hektare, dan izin pertambangan mencapai 65,5 ribu hektare.
Ahli hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati, khawatir rencana pembangunan IKN ini akan memperumit peruntukan lahan di Kalimantan Timur. Selain itu, ada potensi tumpang-tindih lahan milik masyarakat adat, konsesi korporasi, serta wilayah ibu kota. "Apalagi melihat isi Undang-Undang IKN, sangat terlihat akan terjadi persoalan hukum dan pasti masyarakat adat menjadi korban," katanya.
Di samping itu, kata Haris, pembangunan IKN berpotensi merusak lahan, hutan, dan kerusakan mangrove di wilayah pesisir Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Ia mengingat ketika DPR menggelar diskusi publik soal Rancangan UU IKN beberapa pekan lalu, pemerintah dan DPR terkesan tak menampung aspirasi masyarakat. Pemerintah dan DPR hanya menyampaikan rumusan mereka.
"Kami justru kaget ketika ada pembahasan RUU IKN, tapi proses penyusunan draf secara substantif tidak melibatkan masyarakat dan akademikus," ujarnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, mengatakan pembangunan IKN dijamin akan benar-benar memperhitungkan pembiayaan dan perencanaan sesuai dengan ketentuan. "Kami tidak dengan serta-merta akan merugikan anak cucu kita ke depan," kata Suharso di DPR, Selasa lalu.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo